Jumat, 11 November 2016

SIKAP INKONSISTEN ABDURRAHMAN WAHID

SIKAP INKONSISTEN ABDURRAHMAN WAHID TERHADAP KHITTAH NAHDLATUL ULAMA (ASPEK POLITIK)
Oleh:
Sebastian Wisnu Aji, G000140137 Kelas B,  Hp. 085726302871, sebastianwisnuaji@gmail.com
ABSTRAK
Perjalanan hidup seorang Abdurrahman Wahid (Gusdur)  memang tidak dapat dipisahkan dari organisasi Nahdhatul Ulama (NU). Darah yang mengalir ditubuh Gusdur adalah darah NU, karena orang tua dan kakeknya adalah para tokoh terkemuka organisasi tersebuta. Pada tahun 1984, ia terpilih menjadi ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada Muktamar NU ke 27 di Situbondo. Hal yang menarik dari Muktamar itu adalah ketika para Muktamirin memutuskan sepakat untuk kembali ke Khittah 1926 dengan duet pemimpin Ahmad Siddiq sebagai Ketua Syuriah dan Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Tanfidziyah. Abdurrahman Wahid selalu terpilih menjadi ketua PBNU atau ketua Tanfidziyah hingga tiga periode dan memimpin selama 15 tahun
Sejak Muktamar di Situbondo tahun 1984 hingga tahun 1999 awal, para pemimpin NU tak pernah lagi terlibat dalam kancah politik praktis. Hingga akhirnya pada saat  jatuhnya pemerintahan orde baru, Gusdur lantas mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Hal ini memicu pro dan kontra dikalangan Nahdliyyin. Mereka ada yang mengecam Gusdur karena tidak konsisten terhadap keputusan untuk kembali ke Khittah 1926 pada Muktamar 1984, tetapi ada pula yang mendukung langkanya. Gusdur berpendapat bahwa PKB didirikan untuk menampung aspirasi warga NU secara resmi. Ia juga berpendapat bahwa NU tidak pernah dan tidak menjadi partai politik. Menurutnya agama bukan menjadi pijakan bagi PKB, tapi berpijak demokrasi dan nasionalisme demi mengutamakan kepentingan nasional.
Kata kunci: Abdurrahman Wahid, Khittah, Demokrasi
PENDAHULUAN
Nahdhatul Ulama (NU) merupakan organisasi islam terbesar di Indonesia bahkan dunia hingga saat ini. Sejak berdiri pada 31 Januari 1926 dengan pendirinya KH. Hasyim Asy’ari, organisasi ini telah memberikan pengabdian dan sumbangsih yang besar kepada Indonesia. Salah satu hal yang menarik dari perjalanan NU adalah tentang sikapnya dalam kancah perpolitikan di negara ini. Keterlibatan elite NU dalam perpolitikan nasional membuat Muktamar NU di Situbondo akhir tahun 1984 mencetuskan untuk kembali kepada Khittah 1926 yang merupakan landasan berdirinya organisasi tersebut.
Selama  lebih dari 90 tahun, organisasi ini telah berganti pemimpin beberapa kali. Dari beberapa pemimpin tentunya memiliki sikap yang berbeda mengenai Khittah organisasi. Yang menarik dari perjalanan NU adalah ketika KH Abdurrahman Wahid memimpin sejak tahun 1984. Setelah menyatakan bahwa Nahdhatul Ulama kembali kepada Khittah 1926, kemudian seiring dengan berjalanya waktu justru KH Abdurrahman Wahid mendirikan Partai politik islam yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Dengan memakai PKB sebagai kendaraan politiknya, ia dapat menduduki kursi nomor satu di negeri ini setelah mengalahkan Megawati Soekarno Putri, salah satu tokoh reformasi lainya selain Amien Rais.
Hal itu membuat pro-kontra diantara warga Nahdhiyyin tentang sikap KH Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gusdur itu. Sebagian ada yang sependapat bahkan mendukung perjuanganya, tetapi ada pula yang menghujat dan menganggapnya tidak konsisten. Dari pemaparan tersebut didapat permasalahan, mengapa Abdurrahman Wahid tidak konsisten terhadap khittah nahdhatul ulama? Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui alasan inkonsistensi sikap Abdurrahman Wahid terhadap khittah nahdhatul ulama.
METODE PENELITIAN
Penulis dalam karya tulis ini menggunakan metode kajian pustaka atau library research untuk memperoleh data dan informasi. Metode penulisan dengan kajian pustaka adalah melakukan penulisan dengan obyek penelitian yang terfokus pada pustaka-pustaka. Penulis mencari referensi buku seputar Abdurrahman Wahid maupun Nahdlatul Ulama. Untuk menambah informasi mengenai obyek penelitian, penulis mencari informasi dari media internet yang valid dan dapat dipertanggung jawabkan serta relevan atau saling berhubungan dengan obyek penelitian.
Setelah data yang diperlukan terkumpul, dilakukan pengolahan data dengan menyusun secara sistematis dan logis. Pengolahan data dilakukan dengan memadukan beberapa informasi dan pendapat para ahli untuk dijadikan satu argumen dan cara pandang suatu masalah. Sehingga dapat dikatakan teknik pengolahan data dan informasi dilakukan dengan deskriptif argumentatif, dengan tulisan yang bersifat deskriptif yang menguraikan tentang latar belakang Abdurrahman Wahid beserta khittah Nahdlatul Ulama. Serta menguraikan tentang ketidak konsistenan Abdurrahman Wahid terhadap Khittah Nahdlatul Ulama.
PEMBAHASAN
Latar belakang biografis Abdurrahman Wahid
            Abdurrahman wahid merupakan cucu dari KH Hasyim Asy’ari, salah seorang pendiri Nahdhatul Ulama dan putra dari KH Wahid Hasyim, menteri agama Republik Indonesia yang pertama.[1] Lahir di Jombang pada 4 Agustus 1940, Abdurrahman Wahid (Gusdur) menjalani masa kecilnya di lingkungan santri. Pada saat ayahnya menjabat sebagai menteri agama, ia ikut tinggal di Jakarta. Semasa kecil ia sering bertemu dengan tokoh-tokoh NU dan para politisi yang berkunjung ke rumahnya, baik ketika ayahnya masih hidup maupun ketika sudah meninggal. Pada tahun 1953, saat usianya baru  13 tahun, ia bersama KH Wahid Hasyim mengalami kecelekaan yang mengakibatkan ayahnya itu meninggal dengan usia relatif muda, yakni 38 tahun. Setelah kematian ayahnya ia mengalami traumatik karena menyaksikan kematian ayahnya secara langsung. Setelah itu ia dititipkan kepada teman baik ayahnya, seorang warga jerman yang telah memeluk islam.
            Walaupun terlahir dari keluarga intelektual yang kental dengan nilai islam, gusdur menempuh pendidikan di sekolah-sekolah sekuler. Ia lulus dari Sekolah Rakyat (SR) pada tahun 1953 di Jakarta. Setelah itu ia menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Yogyakarta pada tahun 1953 hingga 1957. Selama periode menempuh pendidikan di SMEP, ia tinggal dirumah KH Junaidi, salah seorang anggota majelis Tarjih Muhammadiyah.[2] Kemudian, pada tahun 1957 sampai 1959, ia menempuh pendidikan di pondok pesantren (Ponpes) Tegalrejo, Magelang. Setelah itu, melanjutkan pendidikanya di ponpes Mu’allimat Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang hingga tahun 1963. Tak sampai disitu, ia kemudian belajar di Pondok pesantren Al Munawwir, Krapyak, Yogyakarta. Disana ia tinggal dirumah KH. Ali Ma’sum, salah seorang tokoh NU.[3]
            Pada tahun 1964, Abdurrahman Wahid pergi ke Mesir untuk melanjutkan studinya. Ia belajar di Ma’had Ali Dimsat al Islamiyyah, di lingkunganUniversitas Al Azhar, Kairo. Sempat kecewa dengan metode hafalan yang diterapkan di Universitas tersebut, lantas tidak membuatnya pasif dalam belajar. Gusdur banyak menghabiskan waktunya untuk membaca di perpustakaan  American University Library. Dari mesir, kemudian ia pergi ke Bagdad untuk menempuh pendidikan selama 4 tahun di Universitas Bagdad mengambil jurusan sastra. Disana ia belajar sastra dan kebudayaan Arab, teori sosial dan filsafat eropa. Dikota ini, ia merasa lebih senang dengan metode pengajaran yang lebih mirip eropa dari pada di Universitas Al Azhar. Pada tahun 1964 hingga 1970 ketika belajar di Mesir maupun bagdad, Abdurrahman Wahid menjadi ketua Perhimpunan Mahasiswa Indonesia Timur Tengah.
            Setelah pulang dari Bagdad, sebenarnya ia ingin melanjutkan pendidikanya ke eropa, akan tetapi karena kurang diakui pendidikanya, ia memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Pada tahun 1972 sampai 1974, gusdur menjadi dosen dan dekan fakultas ushuluddin, Universitas Hasyim Asy’ari di Jombang. Setelah itu ia menjabat sebagai sekretaris Umum di pondok pesantren Tebuireng, Jombang dari tahun 1974 hingga 1980. Ketika menjadi sekretaris umum di pesantren Tebuireng, gusdur mulai aktif dalam kepemimpinan organisasi nahdhatul Ulama. Semenjak pindah ke Jakarta tahun 1978, ia menjadi pengasuh pondok pesantren Ciganjur di Jakarta Selatan.
Tidak hanya terlibat dalam masalah dunia keislaman, Abdurrahman Wahid juga menyukai musik klasik eropa dan mengetahui tentang sepakbola. Pada tahun 1980 hingga 1984, ia dipilih untuk menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Di periode yang sama juga terpilih dua kali sebagai Juri di Festival Film Indonesia. Di bidang sosial ia pernah menjadi figur penting organisasi internasional, yakni salah seorang presiden WCRP (WORLD Council for religion and peace), dewan pembina dan pendiri pusat Simon Perez untuk perdamaian (Simon Perez peace center) dan sebagainya.[4]
Pada acara Muktamar Nahdhatul Ulama yang ke 27 tahun 1984 di Situbondo, Abdurrahman Wahid terpilih menjadi ketua Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU). Pada saat itu ia menjadi harapan para Nahdiyyin untuk membela rakyat biasa atas kediktatoran pemerintah saat itu. Di dalam perjalanya sebagai ketua PBNU, ia juga berkhidmat sebagai anggota Majelis Ulama Indonesia (Tahun 1985 hingga 1990). Akhir abad ke 20, sosok Abdurrahman Wahid menghiasi media massa bersama Amien Rais dan Megawati Soekarno Putri. Ketiganya menjadi tokoh tumbangnya pemerintahan orde baru dan memasuki era reformasi. Pada saat itu Abdurrahman Wahid terpilih sebagai presiden Republik Indonesia yang ke empat, mengalahkan Megawati. Akan tetapi kekuasaanya hanya berlangsung tidak sampai 2 tahun, ia jatuh dari kepemimpinanya sebagai presiden pada 23 Juli 2001. Setelah itu Gusdur masih aktif di acara sosial maupun aktif menulis, hingga akhirnya tutup usia pada 30 Desember 2009 karena sakit yang dideritanya. Perjalanan hidup serta pemikiran Abdurrahman Wahid dapat terlihat pada karya-karyanya. Sejak 1970-an, Gusdur aktif menulis buku maupun artikel yang dimuat di media cetak, diantara karyanya adalah Bunga Rampai Pesantren, Muslim Di Tengah Pergumulan, Kepemimpinan Dalam Pengembangan Pesantren, Dinamisasi Dan Modernisasi Pesantren, Kiai Nyentrik Membela Pemerintah dan lain sebagainya.
Pengertian Khittah Nahdhatul Ulama
Nahdlatul ulama merupakan organisasi yang berdiri sejak 31 Januari 1926. Organisasi ini awalnya bergerak pada bidang kemasyarakatan dan keagamaan. Tujuan Nahdlatul ulama pada awal didirikanya adalah  untuk menghimpun para ulama yang mengikuti ajaran imam mahzab, mempromosikan agama islam menurut 4 imam mazhab ahlus sunnah wal Jama’ah. Selain itu, organisasi ini juga bertujuan memperbanyak madrasah islam, memelihara hal-hal yang berhubungan dengan masjid, yatim, dan miskin serta membentuk badan-badan untuk meningkatkan pertanian dan perdagangan sesuai hukum islam.[5] Dalam ajaran islam, NU mencanangkan untuk mengikuti para imam sunni. Dalam hal Fikih mengikuti salah satu dari 4 imam yaitu Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal. Dalam permasalahan akidah mengikuti Abu hasan al Asy’ari dan Abu manshur al Maturidi, dan dalam tasawuf mengikuti imam Ghazali dan Junaid al Bagdadi.[6]
Khittah menurut bahasa berasal dari kata khaththa, yang berarti menulis dan merencanakan. Kata khiththah kemudian bermakna garis dan thariqah (jalan)”. Khittah NU adalah landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga NU yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perorangan maupun organisasi serta dalam setiap proses pengambilan keputusan. Sebenarnya landasan ataupun ideologi NU sudah tertuang dalam Qanun Asasi dan atau aturan dasar Nahdlatul Ulama yang disusun KH Hasyim Asy’ari sejak berdirinya organisasi tersebut.[7]
Istilah Khittah baru muncul ke permukaan dan dikenal masyarakat, khususnya Nahdliyyin ketika Muktamar ke 27 di Situbondo tahun 1984. Sebenarnya ajakan untuk kembali ke Khittah sudah ada pada tahun 1959 yang  diserukan oleh KH Achyat Chalimi pada muktamar ke 22 di Jakarta dan sempat menyeruak pada Muktamar tahun 1979 di Semarang. Akan tetapi dalam masaitu, banyak elite yang terlibat dalam politik praktis. Banyak para anggota NU menjadi pemimpin partai politik, baik ketika masih tergabung dengan partai Masyumi, membentuk partai sendiri (Partai NU) maupun ketika berfusi dengan Partai Persatuan Pembangunan. Ajakan untuk kembali ke Khittah 1926 mulai terealisasi ketika Muktamar 1984 di Situbondo menghasilkan beberapa keputusan, diantaranya adalah kembali ke Khittah perjuangan 1926, mengakui pancasila sebagai falsafah negara, dan meyakini pancasila yang pertama adalah bentuk tauhid dalam ajaran islam.[8]
Sikap Inkonsisten Abdurrahman Wahid terhadap Khittah Nahdhatul Ulama (Aspek Politik)
Abdurrahman Wahid adalah ketua umum PBNU pertama yang terpilih sejak putusan kembali ke Khittah 1926 di Situbondo. Sampai 3 periode berturut-turut ia memimpin NU. Sejak memimpin NU pada akhir 1984, NU tak lagi terlibat aktif dalam politik praktis, walaupun saat itu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) masih ikut dalam pemilu. Sempat muncul wacana yang meminta Gusdur untuk menjadi ketua umum partai, tapi tak pernah terjadi. Hingga di tahun 1998 nama Gusdur muncul ke permukaan bersama Amien Rais dan Megawati Soekarno Putri dalam proses jatuhnya presiden Soeharto.
Setelah pemerintahan Soeharto lengser, maka kepemimpinan di pegang oleh B.J Habibie. Dalam masa itu kalangan Nahdliyyin mengusulkan agar PBNU agar mendirikan partai politik sebagai aspirasi masyarakat, Khususnya masyarakat NU. Sontak hal itu menimbulkan pro dan kontra, karena bertentangan dengan Khittah 1926. Desakan para warga NU kepada NU untuk memberikan fasilitas berdirinya NU membuat ketua PBNU pada waktu itu yaitu Abdurrahman Wahid mendirikan Partai Kabangsaan Bangsa (PKB) pada tanggal 23 Juli 1998.
Dalam sidang pleno, PBNU membuat pernyataan bahwa warga NU harus mendukung Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Gusdur sendiri selaku ketua PBNU menyatakan bahwa satu-satunya partai yang di legitimasi Nahdlatul Ulama adalah PKB. Hal ini memicu perdebatan kedua pihak yang berbeda pendapat. Pihak pertama menyatakan bahwa hal itu bertentangan dengan putusan untuk kembali ke Khittah. Dan pihak kedua yang mendukung PKB karena menginginkan sampainya aspirasi warga NU melalui PKB.
Pada saat mendirikan PKB, posisi gusdur saat itu adalah masih menjadi ketua umum PBNU. Ia menyatakan bahwa ketika nanti datang masa kampanye ia akan cuti dari PBNU. Dalam sebuah wawancara di Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), abdurrahman Wahid mengatakan bahwa jika ayam betina adalah NU, maka PKB adalah telurnya. Hal itu menjadi tanda tanya besar, berpartisipasinya gusdur dalam kancah perpolitikan Nasional (bahkan menjadi ketua partai politik) berarti ia telah berlawanan dengan khittah 1926 yang memutuskan untuk tidak terlibat dalam politik praktis.
Ketika ditanya kenapa Abdurrahman Wahid mendirikan PKB, maka ia mengatakan bahwa NU sudah pas keberadaanya, tidak menjadi dan tidak pernah menjadi partai politik. NU adalah ormas islam. Selain itu gusdur juga mengemukakan bahwa PKB lahir untuk mengutamakan kepentingan nasional. Dan tidak menjadikan agama sebagai pijakan. Akan tetapi nasionalisme dan demokrasilah yang menjadi pijakan.[9]
            Sikap politik Gus dur menarik perhatian para tokoh dari kalangan NU, salah satu yang berpendapat tentang gusdur adalah Muhaimin Iskandar. Ia berpendapat bahwa para kiai dan warga NU menghendaki adanya partai politik yang akan menjadi payung politik bagi warga nahdiyyin dan sekaligus melindungi kepentingan masyarakat luas dari berbagai ancaman. Latar belakang demikian menunjukkan bahwa politik PKB terintegrasi secara historis, aspiratif dan kultural dengan Nahdlatul Ulama. Demikian juga sebaliknya, aktivitas sosial keagamaan NU terintegrasi secara aspiratif dan kultural dengan PKB.[10]  Pendapat ini memberi pengertian bahwa menurutnya, Abdurrahman Wahid mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa bukan karena kepentingan pribadi, melainkan atas dasar masukan dan aspirasi dari para kiai dan warga NU.
            Tak hanya orang dalam yang berpendapat tentang sikap Gusdur. Komentar pedas muncul dari Greg Fealy, salah seorang sejarawan dari Australia. Menurutnya, Gus Dur dapat dikatakan mengkhianati perjuangan dia sendiri pada tahun 1980-1990 an. Pada waktu itu dia bilang hendak membangun generasi NU yang kritis dan dapat mengambil keputusan politik sendiri dan mandiri. Gus Dur menjadi salah satu jago demokrasi untuk Indonesia. Akan tetapi ketika menjadi pendiri PKB, ia menggunakan partai seolah hanya untuk alatnya sendiri, kalau ia tidak suka, ketua umum langsung dibuang. Gusdur seolah lupa dengan idealismenya yang dulu. Ia banyak menghabiskan dana partai untuk kasus-kasus perkara di pengadilan dan sebagainya. Juga jika ada keputusan dari daerah untuk mencalonkan seorang menjadi caleg dan cagub, seringkali diputarbalikkan oleh Gus Dur dan ditolak.[11]
            Terlepas dari pendapat para tokoh diatas, Abdurrahman Wahid telah membuktikan bahwa dirinya mempunyai pemikiran yang sangat modern. Dengan pemikiran dan pengaruhnya itu, ia dapat menduduki kursi nomor satu di negeri ini. Walaupun sikapnya terkesan tidak konsisten, tetap saja sosoknya begitu istimewa dan menjadi panutan bagi warga Nahdhiyyin. Dengan tidak melupakan jasanya, NU kini punya tempat untuk menyalurkan aspirasi warganya melalui Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), partai yang didirikan oleh Gusdur, walaupun kini partai tersebut tak sebesar ketika ia masih memimpin.
SIMPULAN
Abdurrahman Wahid (Gusdur) merupakan tokoh NU yang memimpin organisasi islam terbesar itu selama 3 periode berturut-turut. Setelah terpilih menjadi ketua umum pada 1984, ia tidak pernah terlibat dalam perpolitikan nasional, hingga pada tahun 1998 ia mendirikan partai politik yaitu PKB. Hal itu menimbulkan perdebatan, ada yang berpendapat bahwa gusdur telah melanggar khittah NU 1926 yang menyatakan bahwa organisasi ini bergerak pada bidang keagamaan dan kemasyarakatan. Tetapi gusdur mempunyai pendapat bahwa keputusanya untuk mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) adalah tidak bertentangan dengan Khittah 1926, tetapi hal itu merupakan wadah bagi warga NU untuk menyalurkan aspirasi secara resmi. Gusdur juga mengatakan bahwa NU tidak pernah menjadi dan tidak menjadi partai politik, walaupun dirinya yang pada saat itu menjabat sebagai ketua umum PBNU. Menurutnya agama bukan menjadi pijakan, akan tetapi nasionalisme dan demokrasilah yang menjadi pijakan demi mengutamakan kepentingan nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Barton, Greg dan Fealy, Greg. 1996. Tradisionalisme Radikal persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, Terjemahan oleh Ahmad Suaedy dkk. 1997. Yogyakarta: LkiS
Masdar, Umaruddin. 1999. Membaca Pikiran Gusdur Dan Amien Rais Tentang Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ecip, Sinansari. 1994. NU, Khittah, dan Godaan Politik, Bandung: Mizan
Daman, Roziqin. 2001. Membidik NU Dilema percaturan Politik NU Pasca Khittah, Yogyakarta: Gama Media
Al Zastrauw. 1999. Gusdur Siapa Sih Sampeyan? Tafsir Teoritik Atas Tindakan Dan Pernyataan Gusdur, Jakarta: Erlangga
Khuluq, Lathiful. 2000. Fajar Kebangunan Ulama Biografi KH Hasyim Asy’ari, Yogyakarta: LKiS
Ulum, Bahrul. 2002. Bodohnya NU atau NU dibodohi? Jejak Langkah NU Era Reformasi Menguji Khittah Meneropong Paradigma Politik, Yogyakarta: Ar Ruzz Press dan PW IPNU Jawa Tengah
Iskandar, Muhaimin. 2010. Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus dur, Yogyakarta: Lkis



[1] Menurut garis keturunanya, KH Hasyim Asy’ari merupakan keturunan dari seorang raja muslim dari tanah jawa, yaitu Jaka Tingkir dan raja hindu majapahit, Brawijaya VI. Dengan begitu, berarti Abdurrahman Wahid (Gusdur) termasuk keturunan dari kalangan Bangsawan. Selain menjadi Menteri Agama yang pertama KH Wahid Hasyim, juga termasuk panitia sembilan yang merumuskan piagam jakarta dan menjadi anggota sidang BPUPKI.
[2] Majelis Tarjih Muhammadiyah berserta majelis tajdid Muhammadiyah mempunyai tugas untuk mengembangkan pemikiran islam dan proaktif dalam menjawab persoalan masyarakat yang disesuaikan dengan perkembangan zaman yang berdasarkan Al qur’an dan Sunnah, serta melakukan penelitian, kajian terhadap pemikiran islam yang dipadukan dengan bidang lain.
[3]Umaruddin masdar, membaca pikiran Gusdur dan Amien Rais tentang Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999 hlm. 119, terdapat juga dalam Greg Barton dan Greg Fealy, Tradisionalisme Radikal persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, Yogyakarta:Lkis, 1997  yang diterjemahkan Ahmad Suaedy dkk. Hal 162-163
[4] Greg Barton dan Greg Fealy, Tradisionalisme Radikal persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, Yogyakarta:Lkis, 1997  yang diterjemahkan Ahmad Suaedy dkk. Hlm. 164-166, terdapat juga dalam Umaruddin masdar, membaca pikiran Gusdur dan Amien Rais tentang Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999 hlm. 119
[5] Itu merupakan tujuan Nahdhatul Ulama yang terdapat dalam Qanun Asasi Nahdhatul Ulama dan dikutip oleh  Lathiful Khuluq (Fajar Kebangunan Ulama Biografi KH Hasyim Asy’ari, Yogyakarta: LkiS, 2000, hlm.81
[6] Seperti yang dijelaskan dalam buku Roziqin Daman, Membidik NU Dilema percaturan Politik NU Pasca Khittah, Yogyakarta: Gama Media, 2001, hlm. 54-74. Ideologi NU sama seperti pemikiran KH Hasyi Asy’ari yang termuat dalam karangan lathiful khuluq, Fajar Kebangunan Ulama Biografi KH Hasyim Asy’ari, Yogyakarta: LkiS, 2000, hlm. 43-64
[7] Rumusan pengertian Khittah NU itu ditetapkan sejak muktamar ke 27 tahun 1984 (lihat Nu-online.co.id)
[8] Dikutip dari Bahrul Ulum, Bodohnya NU atau NU dibodohi? Jejak Langkah NU Era Reformasi Menguji Khittah Meneropong Paradigma Politik, Yogyakarta: Ar Ruzz Press dan PW IPNU Jawa Tengah, 2002, hlm. 86-91
[9] Dikutip dari Bahrul Ulum, Bodohnya NU atau NU dibodohi? Jejak Langkah NU Era Reformasi Menguji Khittah Meneropong Paradigma Politik, Yogyakarta: Ar Ruzz Press dan PW IPNU Jawa Tengah, 2002, hlm. 135-144
[10] Muhaimin Iskandar merupakan salah satu keponakan Gusdur, ia menjadi salah satu asisten pendirian PKB. Selain itu, namanya semakin familiar ketika menjadi menteri ketenaga kerjaan dan transmigrasi di era kabinet Indonesia bersatu II dibawah kepemimpinan presiden Susilo Bambang Yudhoyono. (Muhaimin Iskandar, Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus dur, Yogyakarta: Lkis, 2010 Hlm. 43)
[11] Pendapat ini dikutip dari wawancara Center for religious and cross-cultural studies, Graduate School, Universitas Gadjah Mada (yang dimuat dalam situs crcs.ugm.ac.id)
Greg Fealy adalah adalah sejarawan politik dari ANU (Australia National University) yang berkonsentrasi pada studi-studi politik keagamaan di Indonesia. Phd thesisnya adalah studi mengenai sebuah partai Islam tradisional, Nahdlatul Ulama. Beberapa karyanya yang penting antara lain, Nahdlatul Ulama, Traditional Islam and Modernity in Indonesia, (1996, co-edited with Greg Barton), dan disertasinya yagn diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah Nahdlatul Ulama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar