SIKAP
INKONSISTEN ABDURRAHMAN WAHID TERHADAP KHITTAH NAHDLATUL ULAMA (ASPEK POLITIK)
Oleh:
ABSTRAK
Perjalanan
hidup seorang Abdurrahman Wahid (Gusdur)
memang tidak dapat dipisahkan dari organisasi Nahdhatul Ulama (NU).
Darah yang mengalir ditubuh Gusdur adalah darah NU, karena orang tua dan
kakeknya adalah para tokoh terkemuka organisasi tersebuta. Pada tahun 1984, ia
terpilih menjadi ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada Muktamar NU
ke 27 di Situbondo. Hal yang menarik dari Muktamar itu adalah ketika para
Muktamirin memutuskan sepakat untuk kembali ke Khittah 1926 dengan duet
pemimpin Ahmad Siddiq sebagai Ketua Syuriah dan Abdurrahman Wahid sebagai Ketua
Tanfidziyah. Abdurrahman Wahid selalu terpilih menjadi ketua PBNU atau ketua
Tanfidziyah hingga tiga periode dan memimpin selama 15 tahun
Sejak
Muktamar di Situbondo tahun 1984 hingga tahun 1999 awal, para pemimpin NU tak
pernah lagi terlibat dalam kancah politik praktis. Hingga akhirnya pada saat jatuhnya pemerintahan orde baru, Gusdur lantas
mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Hal ini memicu pro dan kontra
dikalangan Nahdliyyin. Mereka ada yang mengecam Gusdur karena tidak konsisten
terhadap keputusan untuk kembali ke Khittah 1926 pada Muktamar 1984, tetapi ada
pula yang mendukung langkanya. Gusdur berpendapat bahwa
PKB didirikan untuk menampung aspirasi warga NU secara resmi. Ia juga
berpendapat bahwa NU tidak pernah dan tidak menjadi partai politik. Menurutnya
agama bukan menjadi pijakan bagi PKB, tapi berpijak demokrasi dan nasionalisme
demi mengutamakan kepentingan nasional.
Kata
kunci: Abdurrahman Wahid, Khittah, Demokrasi
PENDAHULUAN
Nahdhatul Ulama (NU) merupakan organisasi islam terbesar di
Indonesia bahkan dunia hingga saat ini. Sejak berdiri pada 31 Januari 1926
dengan pendirinya KH. Hasyim Asy’ari, organisasi ini telah memberikan
pengabdian dan sumbangsih yang besar kepada Indonesia. Salah satu hal yang
menarik dari perjalanan NU adalah tentang sikapnya dalam kancah perpolitikan di
negara ini. Keterlibatan elite NU dalam perpolitikan nasional membuat Muktamar
NU di Situbondo akhir tahun 1984 mencetuskan untuk kembali kepada Khittah
1926 yang merupakan landasan berdirinya organisasi tersebut.
Selama lebih dari 90 tahun,
organisasi ini telah berganti pemimpin beberapa kali. Dari beberapa pemimpin
tentunya memiliki sikap yang berbeda mengenai Khittah organisasi. Yang
menarik dari perjalanan NU adalah ketika KH Abdurrahman Wahid memimpin sejak
tahun 1984. Setelah menyatakan bahwa Nahdhatul Ulama kembali kepada Khittah
1926, kemudian seiring dengan berjalanya waktu justru KH Abdurrahman Wahid
mendirikan Partai politik islam yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Dengan
memakai PKB sebagai kendaraan politiknya, ia dapat menduduki kursi nomor satu
di negeri ini setelah mengalahkan Megawati Soekarno Putri, salah satu tokoh
reformasi lainya selain Amien Rais.
Hal itu membuat pro-kontra diantara warga Nahdhiyyin tentang sikap
KH Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gusdur itu. Sebagian ada yang
sependapat bahkan mendukung perjuanganya, tetapi ada pula yang menghujat dan
menganggapnya tidak konsisten. Dari pemaparan tersebut didapat permasalahan,
mengapa Abdurrahman Wahid tidak konsisten terhadap khittah nahdhatul ulama? Tulisan
ini bertujuan untuk mengetahui alasan inkonsistensi sikap Abdurrahman Wahid
terhadap khittah nahdhatul ulama.
METODE
PENELITIAN
Penulis dalam karya tulis ini menggunakan metode kajian pustaka
atau library research untuk memperoleh data dan informasi. Metode
penulisan dengan kajian pustaka adalah melakukan penulisan dengan obyek
penelitian yang terfokus pada pustaka-pustaka. Penulis mencari referensi buku
seputar Abdurrahman Wahid maupun Nahdlatul Ulama. Untuk menambah informasi
mengenai obyek penelitian, penulis mencari informasi dari media internet yang
valid dan dapat dipertanggung jawabkan serta relevan atau saling berhubungan dengan
obyek penelitian.
Setelah
data yang diperlukan terkumpul, dilakukan pengolahan data dengan menyusun
secara sistematis dan logis. Pengolahan data dilakukan dengan memadukan
beberapa informasi dan pendapat para ahli untuk dijadikan satu argumen dan cara
pandang suatu masalah. Sehingga dapat dikatakan teknik pengolahan data dan
informasi dilakukan dengan deskriptif argumentatif, dengan tulisan yang
bersifat deskriptif yang menguraikan tentang latar belakang Abdurrahman Wahid
beserta khittah Nahdlatul Ulama. Serta menguraikan tentang ketidak konsistenan
Abdurrahman Wahid terhadap Khittah Nahdlatul Ulama.
PEMBAHASAN
Latar
belakang biografis Abdurrahman Wahid
Abdurrahman wahid merupakan cucu
dari KH Hasyim Asy’ari, salah seorang pendiri Nahdhatul Ulama dan putra dari KH
Wahid Hasyim, menteri agama Republik Indonesia yang pertama.[1] Lahir
di Jombang pada 4 Agustus 1940, Abdurrahman Wahid (Gusdur) menjalani masa
kecilnya di lingkungan santri. Pada saat ayahnya menjabat sebagai menteri
agama, ia ikut tinggal di Jakarta. Semasa kecil ia sering bertemu dengan
tokoh-tokoh NU dan para politisi yang berkunjung ke rumahnya, baik ketika
ayahnya masih hidup maupun ketika sudah meninggal. Pada tahun 1953, saat
usianya baru 13 tahun, ia bersama KH
Wahid Hasyim mengalami kecelekaan yang mengakibatkan ayahnya itu meninggal
dengan usia relatif muda, yakni 38 tahun. Setelah kematian ayahnya ia mengalami
traumatik karena menyaksikan kematian ayahnya secara langsung. Setelah itu ia
dititipkan kepada teman baik ayahnya, seorang warga jerman yang telah memeluk
islam.
Walaupun terlahir dari keluarga
intelektual yang kental dengan nilai islam, gusdur menempuh pendidikan di
sekolah-sekolah sekuler. Ia lulus dari Sekolah Rakyat (SR) pada tahun 1953 di
Jakarta. Setelah itu ia menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama
(SMEP) di Yogyakarta pada tahun 1953 hingga 1957. Selama periode menempuh
pendidikan di SMEP, ia tinggal dirumah KH Junaidi, salah seorang anggota
majelis Tarjih Muhammadiyah.[2] Kemudian,
pada tahun 1957 sampai 1959, ia menempuh pendidikan di pondok pesantren
(Ponpes) Tegalrejo, Magelang. Setelah itu, melanjutkan pendidikanya di ponpes
Mu’allimat Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang hingga tahun 1963. Tak sampai
disitu, ia kemudian belajar di Pondok pesantren Al Munawwir, Krapyak,
Yogyakarta. Disana ia tinggal dirumah KH. Ali Ma’sum, salah seorang tokoh NU.[3]
Pada tahun 1964, Abdurrahman Wahid
pergi ke Mesir untuk melanjutkan studinya. Ia belajar di Ma’had Ali Dimsat al
Islamiyyah, di lingkunganUniversitas Al Azhar, Kairo. Sempat kecewa dengan
metode hafalan yang diterapkan di Universitas tersebut, lantas tidak membuatnya
pasif dalam belajar. Gusdur banyak menghabiskan waktunya untuk membaca di
perpustakaan American University
Library. Dari mesir, kemudian ia pergi ke Bagdad untuk menempuh pendidikan
selama 4 tahun di Universitas Bagdad mengambil jurusan sastra. Disana ia
belajar sastra dan kebudayaan Arab, teori sosial dan filsafat eropa. Dikota
ini, ia merasa lebih senang dengan metode pengajaran yang lebih mirip eropa
dari pada di Universitas Al Azhar. Pada tahun 1964 hingga 1970 ketika belajar
di Mesir maupun bagdad, Abdurrahman Wahid menjadi ketua Perhimpunan Mahasiswa
Indonesia Timur Tengah.
Setelah pulang dari Bagdad,
sebenarnya ia ingin melanjutkan pendidikanya ke eropa, akan tetapi karena kurang
diakui pendidikanya, ia memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Pada tahun 1972
sampai 1974, gusdur menjadi dosen dan dekan fakultas ushuluddin, Universitas
Hasyim Asy’ari di Jombang. Setelah itu ia menjabat sebagai sekretaris Umum di
pondok pesantren Tebuireng, Jombang dari tahun 1974 hingga 1980. Ketika menjadi
sekretaris umum di pesantren Tebuireng, gusdur mulai aktif dalam kepemimpinan
organisasi nahdhatul Ulama. Semenjak pindah ke Jakarta tahun 1978, ia menjadi
pengasuh pondok pesantren Ciganjur di Jakarta Selatan.
Tidak hanya terlibat dalam masalah dunia keislaman, Abdurrahman
Wahid juga menyukai musik klasik eropa dan mengetahui tentang sepakbola. Pada
tahun 1980 hingga 1984, ia dipilih untuk menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta
(DKJ). Di periode yang sama juga terpilih dua kali sebagai Juri di Festival
Film Indonesia. Di bidang sosial ia pernah menjadi figur penting organisasi
internasional, yakni salah seorang presiden WCRP (WORLD Council for religion
and peace), dewan pembina dan pendiri pusat Simon Perez untuk perdamaian (Simon
Perez peace center) dan sebagainya.[4]
Pada acara Muktamar Nahdhatul Ulama yang ke 27 tahun 1984 di
Situbondo, Abdurrahman Wahid terpilih menjadi ketua Pengurus Besar Nahdhatul
Ulama (PBNU). Pada saat itu ia menjadi harapan para Nahdiyyin untuk membela
rakyat biasa atas kediktatoran pemerintah saat itu. Di dalam perjalanya sebagai
ketua PBNU, ia juga berkhidmat sebagai anggota Majelis Ulama Indonesia (Tahun
1985 hingga 1990). Akhir abad ke 20, sosok Abdurrahman Wahid menghiasi media
massa bersama Amien Rais dan Megawati Soekarno Putri. Ketiganya menjadi tokoh
tumbangnya pemerintahan orde baru dan memasuki era reformasi. Pada saat itu
Abdurrahman Wahid terpilih sebagai presiden Republik Indonesia yang ke empat,
mengalahkan Megawati. Akan tetapi kekuasaanya hanya berlangsung tidak sampai 2
tahun, ia jatuh dari kepemimpinanya sebagai presiden pada 23 Juli 2001. Setelah
itu Gusdur masih aktif di acara sosial maupun aktif menulis, hingga akhirnya
tutup usia pada 30 Desember 2009 karena sakit yang dideritanya. Perjalanan
hidup serta pemikiran Abdurrahman Wahid dapat terlihat pada karya-karyanya.
Sejak 1970-an, Gusdur aktif menulis buku maupun artikel yang dimuat di media
cetak, diantara karyanya adalah Bunga Rampai Pesantren, Muslim Di Tengah
Pergumulan, Kepemimpinan Dalam Pengembangan Pesantren, Dinamisasi Dan
Modernisasi Pesantren, Kiai Nyentrik Membela Pemerintah dan lain sebagainya.
Pengertian
Khittah Nahdhatul Ulama
Nahdlatul ulama merupakan organisasi yang berdiri sejak 31 Januari
1926. Organisasi ini awalnya bergerak pada bidang kemasyarakatan dan keagamaan.
Tujuan Nahdlatul ulama pada awal didirikanya adalah untuk menghimpun para ulama yang mengikuti
ajaran imam mahzab, mempromosikan agama islam menurut 4 imam mazhab ahlus
sunnah wal Jama’ah. Selain itu, organisasi ini juga bertujuan memperbanyak madrasah
islam, memelihara hal-hal yang berhubungan dengan masjid, yatim, dan miskin
serta membentuk badan-badan untuk meningkatkan pertanian dan perdagangan sesuai
hukum islam.[5]
Dalam ajaran islam, NU mencanangkan untuk mengikuti para imam sunni. Dalam hal
Fikih mengikuti salah satu dari 4 imam yaitu Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan
Ahmad bin Hanbal. Dalam permasalahan akidah mengikuti Abu hasan al Asy’ari dan
Abu manshur al Maturidi, dan dalam tasawuf mengikuti imam Ghazali dan Junaid al
Bagdadi.[6]
Khittah menurut bahasa berasal dari kata khaththa, yang berarti
menulis dan merencanakan. Kata khiththah kemudian bermakna garis dan
thariqah (jalan)”. Khittah NU adalah landasan berfikir, bersikap dan
bertindak warga NU yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perorangan maupun
organisasi serta dalam setiap proses pengambilan keputusan. Sebenarnya landasan
ataupun ideologi NU sudah tertuang dalam Qanun Asasi dan atau aturan dasar
Nahdlatul Ulama yang disusun KH Hasyim Asy’ari sejak berdirinya organisasi
tersebut.[7]
Istilah Khittah baru muncul ke permukaan dan dikenal masyarakat,
khususnya Nahdliyyin ketika Muktamar ke 27 di Situbondo tahun 1984. Sebenarnya
ajakan untuk kembali ke Khittah sudah ada pada tahun 1959 yang diserukan oleh KH Achyat Chalimi pada
muktamar ke 22 di Jakarta dan sempat menyeruak pada Muktamar tahun 1979 di
Semarang. Akan tetapi dalam masaitu, banyak elite yang terlibat dalam politik
praktis. Banyak para anggota NU menjadi pemimpin partai politik, baik ketika
masih tergabung dengan partai Masyumi, membentuk partai sendiri (Partai NU)
maupun ketika berfusi dengan Partai Persatuan Pembangunan. Ajakan untuk kembali
ke Khittah 1926 mulai terealisasi ketika Muktamar 1984 di Situbondo
menghasilkan beberapa keputusan, diantaranya adalah kembali ke Khittah
perjuangan 1926, mengakui pancasila sebagai falsafah negara, dan meyakini
pancasila yang pertama adalah bentuk tauhid dalam ajaran islam.[8]
Sikap
Inkonsisten Abdurrahman Wahid terhadap Khittah Nahdhatul Ulama (Aspek Politik)
Abdurrahman Wahid adalah ketua umum PBNU pertama yang terpilih
sejak putusan kembali ke Khittah 1926 di Situbondo. Sampai 3 periode
berturut-turut ia memimpin NU. Sejak memimpin NU pada akhir 1984, NU tak lagi
terlibat aktif dalam politik praktis, walaupun saat itu Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) masih ikut dalam pemilu. Sempat muncul wacana yang meminta
Gusdur untuk menjadi ketua umum partai, tapi tak pernah terjadi. Hingga di
tahun 1998 nama Gusdur muncul ke permukaan bersama Amien Rais dan Megawati
Soekarno Putri dalam proses jatuhnya presiden Soeharto.
Setelah pemerintahan Soeharto lengser, maka kepemimpinan di pegang
oleh B.J Habibie. Dalam masa itu kalangan Nahdliyyin mengusulkan agar PBNU agar
mendirikan partai politik sebagai aspirasi masyarakat, Khususnya masyarakat NU.
Sontak hal itu menimbulkan pro dan kontra, karena bertentangan dengan Khittah
1926. Desakan para warga NU kepada NU untuk memberikan fasilitas berdirinya NU
membuat ketua PBNU pada waktu itu yaitu Abdurrahman Wahid mendirikan Partai
Kabangsaan Bangsa (PKB) pada tanggal 23 Juli 1998.
Dalam sidang pleno, PBNU membuat pernyataan bahwa warga NU harus
mendukung Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Gusdur sendiri selaku ketua PBNU
menyatakan bahwa satu-satunya partai yang di legitimasi Nahdlatul Ulama adalah
PKB. Hal ini memicu perdebatan kedua pihak yang berbeda pendapat. Pihak pertama
menyatakan bahwa hal itu bertentangan dengan putusan untuk kembali ke Khittah.
Dan pihak kedua yang mendukung PKB karena menginginkan sampainya aspirasi warga
NU melalui PKB.
Pada saat mendirikan PKB, posisi gusdur saat itu adalah masih
menjadi ketua umum PBNU. Ia menyatakan bahwa ketika nanti datang masa kampanye
ia akan cuti dari PBNU. Dalam sebuah wawancara di Televisi Pendidikan Indonesia
(TPI), abdurrahman Wahid mengatakan bahwa jika ayam betina adalah NU, maka PKB
adalah telurnya. Hal itu menjadi tanda tanya besar, berpartisipasinya gusdur
dalam kancah perpolitikan Nasional (bahkan menjadi ketua partai politik)
berarti ia telah berlawanan dengan khittah 1926 yang memutuskan untuk tidak
terlibat dalam politik praktis.
Ketika ditanya kenapa Abdurrahman Wahid mendirikan PKB, maka ia
mengatakan bahwa NU sudah pas keberadaanya, tidak menjadi dan tidak pernah
menjadi partai politik. NU adalah ormas islam. Selain itu gusdur juga
mengemukakan bahwa PKB lahir untuk mengutamakan kepentingan nasional. Dan tidak
menjadikan agama sebagai pijakan. Akan tetapi nasionalisme dan demokrasilah
yang menjadi pijakan.[9]
Sikap politik Gus dur menarik
perhatian para tokoh dari kalangan NU, salah satu yang berpendapat tentang
gusdur adalah Muhaimin Iskandar. Ia berpendapat bahwa para kiai dan warga NU
menghendaki adanya partai politik yang akan menjadi payung politik bagi warga nahdiyyin dan sekaligus melindungi kepentingan
masyarakat luas dari berbagai ancaman. Latar belakang demikian
menunjukkan bahwa politik PKB terintegrasi secara historis, aspiratif
dan kultural dengan Nahdlatul Ulama. Demikian juga sebaliknya, aktivitas sosial keagamaan NU terintegrasi secara aspiratif dan
kultural dengan PKB.[10] Pendapat ini memberi pengertian bahwa
menurutnya, Abdurrahman Wahid mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa bukan karena
kepentingan pribadi, melainkan atas dasar masukan dan aspirasi dari para kiai
dan warga NU.
Tak hanya orang dalam
yang berpendapat tentang sikap Gusdur. Komentar pedas muncul dari Greg Fealy,
salah seorang sejarawan dari Australia. Menurutnya, Gus Dur dapat dikatakan
mengkhianati perjuangan dia sendiri pada tahun 1980-1990 an. Pada waktu itu dia
bilang hendak membangun generasi NU yang kritis dan dapat mengambil keputusan
politik sendiri dan mandiri. Gus Dur menjadi salah satu jago demokrasi untuk
Indonesia. Akan tetapi ketika menjadi pendiri PKB, ia menggunakan partai seolah
hanya untuk alatnya sendiri, kalau ia tidak suka, ketua umum langsung dibuang.
Gusdur seolah lupa dengan idealismenya yang dulu. Ia banyak menghabiskan dana
partai untuk kasus-kasus perkara di pengadilan dan sebagainya. Juga jika ada
keputusan dari daerah untuk mencalonkan seorang menjadi caleg dan cagub, seringkali
diputarbalikkan oleh Gus Dur dan ditolak.[11]
Terlepas dari
pendapat para tokoh diatas, Abdurrahman Wahid telah membuktikan bahwa dirinya
mempunyai pemikiran yang sangat modern. Dengan pemikiran dan pengaruhnya itu,
ia dapat menduduki kursi nomor satu di negeri ini. Walaupun sikapnya terkesan
tidak konsisten, tetap saja sosoknya begitu istimewa dan menjadi panutan bagi
warga Nahdhiyyin. Dengan tidak melupakan jasanya, NU kini punya tempat untuk
menyalurkan aspirasi warganya melalui Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), partai
yang didirikan oleh Gusdur, walaupun kini partai tersebut tak sebesar ketika ia
masih memimpin.
SIMPULAN
Abdurrahman
Wahid (Gusdur) merupakan tokoh NU yang memimpin organisasi islam terbesar itu
selama 3 periode berturut-turut. Setelah terpilih menjadi ketua umum pada 1984,
ia tidak pernah terlibat dalam perpolitikan nasional, hingga pada tahun 1998 ia
mendirikan partai politik yaitu PKB. Hal itu menimbulkan perdebatan, ada yang
berpendapat bahwa gusdur telah melanggar khittah NU 1926 yang menyatakan bahwa
organisasi ini bergerak pada bidang keagamaan dan kemasyarakatan. Tetapi gusdur
mempunyai pendapat bahwa keputusanya untuk mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB) adalah tidak bertentangan dengan Khittah 1926, tetapi hal itu merupakan
wadah bagi warga NU untuk menyalurkan aspirasi secara resmi. Gusdur juga
mengatakan bahwa NU tidak pernah menjadi dan tidak menjadi partai politik,
walaupun dirinya yang pada saat itu menjabat sebagai ketua umum PBNU.
Menurutnya agama bukan menjadi pijakan, akan tetapi nasionalisme dan
demokrasilah yang menjadi pijakan demi mengutamakan kepentingan nasional.
DAFTAR
PUSTAKA
Barton, Greg dan Fealy, Greg. 1996. Tradisionalisme Radikal
persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, Terjemahan oleh Ahmad Suaedy dkk.
1997. Yogyakarta: LkiS
Masdar, Umaruddin. 1999. Membaca Pikiran
Gusdur Dan Amien Rais Tentang Demokrasi, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Ecip, Sinansari. 1994. NU, Khittah, dan Godaan Politik,
Bandung: Mizan
Daman, Roziqin. 2001. Membidik NU Dilema percaturan Politik NU
Pasca Khittah, Yogyakarta: Gama Media
Al Zastrauw. 1999. Gusdur Siapa Sih Sampeyan? Tafsir Teoritik
Atas Tindakan Dan Pernyataan Gusdur, Jakarta: Erlangga
Khuluq, Lathiful. 2000. Fajar Kebangunan Ulama Biografi KH
Hasyim Asy’ari, Yogyakarta: LKiS
Ulum, Bahrul. 2002. Bodohnya NU atau NU dibodohi? Jejak Langkah
NU Era Reformasi Menguji Khittah Meneropong Paradigma Politik, Yogyakarta:
Ar Ruzz Press dan PW IPNU Jawa Tengah
Iskandar, Muhaimin. 2010. Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan
Gus dur, Yogyakarta: Lkis
[1]
Menurut garis keturunanya, KH Hasyim Asy’ari merupakan keturunan dari seorang
raja muslim dari tanah jawa, yaitu Jaka Tingkir dan raja hindu majapahit,
Brawijaya VI. Dengan begitu, berarti Abdurrahman Wahid (Gusdur) termasuk
keturunan dari kalangan Bangsawan. Selain menjadi Menteri Agama yang pertama KH
Wahid Hasyim, juga termasuk panitia sembilan yang merumuskan piagam jakarta dan
menjadi anggota sidang BPUPKI.
[2]
Majelis Tarjih Muhammadiyah berserta majelis tajdid Muhammadiyah mempunyai
tugas untuk mengembangkan pemikiran islam dan proaktif dalam menjawab persoalan
masyarakat yang disesuaikan dengan perkembangan zaman yang berdasarkan Al
qur’an dan Sunnah, serta melakukan penelitian, kajian terhadap pemikiran islam
yang dipadukan dengan bidang lain.
[3]Umaruddin
masdar, membaca pikiran Gusdur dan Amien Rais tentang Demokrasi,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999 hlm. 119, terdapat juga dalam Greg Barton dan
Greg Fealy, Tradisionalisme Radikal persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara,
Yogyakarta:Lkis, 1997 yang diterjemahkan
Ahmad Suaedy dkk. Hal 162-163
[4]
Greg Barton dan Greg Fealy, Tradisionalisme Radikal persinggungan Nahdlatul
Ulama-Negara, Yogyakarta:Lkis, 1997
yang diterjemahkan Ahmad Suaedy dkk. Hlm. 164-166, terdapat juga dalam
Umaruddin masdar, membaca pikiran Gusdur dan Amien Rais tentang Demokrasi,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999 hlm. 119
[5]
Itu merupakan tujuan Nahdhatul Ulama yang terdapat dalam Qanun Asasi Nahdhatul
Ulama dan dikutip oleh Lathiful Khuluq (Fajar
Kebangunan Ulama Biografi KH Hasyim Asy’ari, Yogyakarta: LkiS, 2000, hlm.81
[6]
Seperti yang dijelaskan dalam buku Roziqin Daman, Membidik NU Dilema
percaturan Politik NU Pasca Khittah, Yogyakarta: Gama Media, 2001, hlm.
54-74. Ideologi NU sama seperti pemikiran KH Hasyi Asy’ari yang termuat dalam
karangan lathiful khuluq, Fajar Kebangunan Ulama Biografi KH Hasyim Asy’ari,
Yogyakarta: LkiS, 2000, hlm. 43-64
[7]
Rumusan pengertian Khittah NU itu ditetapkan sejak muktamar ke 27 tahun 1984
(lihat Nu-online.co.id)
[8]
Dikutip dari Bahrul Ulum, Bodohnya NU atau NU dibodohi? Jejak Langkah NU Era
Reformasi Menguji Khittah Meneropong Paradigma Politik, Yogyakarta: Ar Ruzz
Press dan PW IPNU Jawa Tengah, 2002, hlm. 86-91
[9]
Dikutip dari Bahrul Ulum, Bodohnya NU atau NU dibodohi? Jejak Langkah NU Era
Reformasi Menguji Khittah Meneropong Paradigma Politik, Yogyakarta: Ar Ruzz
Press dan PW IPNU Jawa Tengah, 2002, hlm. 135-144
[10]
Muhaimin Iskandar merupakan salah satu keponakan Gusdur, ia menjadi salah satu
asisten pendirian PKB. Selain itu, namanya semakin familiar ketika menjadi
menteri ketenaga kerjaan dan transmigrasi di era kabinet Indonesia bersatu II
dibawah kepemimpinan presiden Susilo Bambang Yudhoyono. (Muhaimin Iskandar, Melanjutkan
Pemikiran dan Perjuangan Gus dur, Yogyakarta: Lkis, 2010 Hlm. 43)
[11]
Pendapat ini dikutip dari wawancara Center for religious and cross-cultural studies,
Graduate School, Universitas Gadjah Mada (yang dimuat dalam situs crcs.ugm.ac.id)
Greg Fealy adalah adalah
sejarawan politik dari ANU (Australia National University) yang berkonsentrasi
pada studi-studi politik keagamaan di Indonesia. Phd thesisnya adalah studi
mengenai sebuah partai Islam tradisional, Nahdlatul Ulama. Beberapa karyanya
yang penting antara lain, Nahdlatul Ulama, Traditional Islam and Modernity in
Indonesia, (1996, co-edited with Greg Barton), dan disertasinya yagn
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah
Nahdlatul Ulama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar