Rabu, 16 November 2016

SEJARAH PERKEMBANGAN TEOLOGI ASY’ARIAH

SEJARAH PERKEMBANGAN TEOLOGI ASY’ARIAH






Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pemikiran Falsafah dan Kalam
Dosen Pengampu: Drs. Abdullah Mahmud, M.Ag

Disusun oleh:
Muhammad Ihsan                           (G000140061)
Ibnu Prastawa                                 (G000140066)
Sebastian Wisnu Aji                       (G000140137)
KELAS B

FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semenjak peristiwa tahkim atau arbitrase antara pihak Ali bin Abi Thalib dengan pihak Muawiyah bin Abi Sofyan membuat umat islam terpecah menjadi berbagai golongan, seperti Syiah dan Khawarij. Kemudian berkembang pula pemikiran umat islam mengenai perbuatan manusia, dosa besar maupun lainya yang membuat umat terpecah menjadi berbagai aliran seperti Murjiah, Qadariyah, Jabariyah, Qadariyah, Muktazilah dan lain sebagainya. Yang disebut terakhir merupakan aliran yang sangat mengedepankan rasio atau akal dan banyak menomorduakan wahyu. Hal ini memicu munculnya paham Asy’ariah yang diperkenalkan oleh Abu Hasan Al Asy’ari, seorang yang telah menganut paham Muktazilah selama 40 tahun. Paham ini lebih mengutamakan wahyu atau tekstual dalam memahami ajaran agama dibandingkan dengan rasio atau akal.
Aliran Asy’ariah berkembang dengan pesat semenjak Khalifah Mutawakkil memimpin dinasti Abbasiyah, ia membatalkan aliran Muktazilah sebagai mazhab negara. Hal ini mengakibatkan banyak orang muslim yang mengikuti aliran Asy’ariah, selain karena merasa tidak puas dengan pemikiran Muktazilah yang lebih mengedepankan akal. Pemikiran Asy’ariah mudah diterima umat muslim waktu itu karena banyak bersandar pada wahyu, yaitu Alqur’an dan sunnah. Selain itu, para pengikut Asy’ariah memiliki pengaruh yang besar terhadap masyarakat, hal ini sangat menguntugkan mereka dalam membawa dan mengajarkan pemikiran Abu hasan Al Asy’ari.
Teologi Asy’ariah hingga saat ini masih banyak dianut oleh umat islam karena mayoritas muslim mengakui bahwa teologi ini dan teologi Maturidiyah merupakan representasi dari aliran Ahlus sunnah wal jama’ah. Seperti diketahui, bahwa Nabi Muhammad SAW pernah bersabda bahwa umat islam kelak akan terpecah menjadi 73 golongan dan hanya satu golongan yang akan masuk surga yaitu al Jama’ah (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah). Di Indonesia, pemikiran Asy’ariah masih menjadi pegangan mayoritas muslim. Hal ini terbukti dengan adanya pelajaran Akidah yang banyak mengadopsi Akidah Asy’ariah. Teologi atau Akidah Asy’ariah meyakini adanya Sifat-Sifat Allah SWT seperti hayat, ilmu, iradat dan seterusnya. Akidah ini menjadi bahan pelajaran di Sekolah umum maupun sebagian besar pondok pesantren di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian diatas terdapat beberapa permasalahan, yaitu:
1.    Siapakah Abu al Hasan al Asy’ari itu?
2.    Bagaimana sejarah perkembangan teologi Asy’ariah ?
3.    Siapakah tokoh-tokoh pengikut teologi Asy’ariah?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk:
1.      Mengetahui tentang Abu al Hasan al Asy’ari.
2.      Mengetahui sejarah perkembangan teologi Asy’ariah.
3.      Siapakah tokoh-tokoh pengikut teologi Asy’ariah?



BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Abu Hasan Al Asy’ari
Nama lengkap al-Asy’ari adalah Abu al-Hasan ‘Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa al-Asy’ari. Ia merupakan keturunan dari sahabat Nabi saw, Abu Musa Al-Asy’ary, salah satu juru runding dalam dalam sengketa ali dan muawiyah pada perang siffin. Al-Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun 260 H/873 M. Ketika berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Bagdad dan wafat disana pada tahun 324 H/935 M. Pada mulanya, Ia adalah seorang Murid al Jubba’i dan salah seorang terkemuka dalam golongan Muktazilah, sehingga menurut al Husain Ibnu Muhammad al Askari, al Jubbai berani mempercayakan perdebatan dengan lawan kepadanya.[1]
Al Asy’ari banyak meninggalkan karangan-karangan, kurang lebih 90 buah, dalam berbagai lapangan ilmu ke-Islaman. Ia menolak paham golongan materialist, Antro-pomorphisme, khawarij dan lainya. Sebagian besar waktunya ia habiskan dalam menghadapi kaum mu’tazilah seperti al-juba’i, al-allaf dan sebagainya, bahkan terhadap dirinya sendiri ketika ia masih menganut faham mu’tazilah. Karanganya yang terkenal dan sampai pada kita adalah:
1.      Mawalatul Islamiyyin (Pendapat-golongan-golongan islam) yang merupakan buku pertama dikarang dalam soal kepercayaan islam dan menjadi sumber yang penting pula.
2.      Al Ibanah ‘an Usulid Diyanah (Penjelasan tentang dasar-dasar agama) yang berisi tentang kepercayaan ahlus sunnah dan dimulai dengan memuji Ahmad Bin Hanbal dan menyatakan tentang memegangi pendapat-pendapatnya.
3.      Al Luma’ (Sorotan) yang dimaksudkan untuk membantah lawanya dalam beberapa persoalan ilmu kalam.[2]
B. Sejarah Perkembangan Asy’ariah
Abu al Hasan Asy’ari pada mulanya mengikuti paham Muktazilah selama 40 tahun. Al-asy’ary tidak puas dengan konsepsi aliran mu’tazilah, selain itu juga disebabkan adanya perpecahan yang dialami masyarakat pada masa itu yang bisa menghancurkan mereka sendiri bila tidak ditangani dengan segera. Ia (al-Asy’ari) sangat mengkhawatirkan al-quran dan hadits menjadi korban faham aliran mu’tazilah yang tidak dapat dibenarkan olehnya. Karena  terlalu didasarkan atas pemujaan akal pikiran, sebagaimana juga dikhawatirkan  menjadi korban ahli hadits yang hanya menegasi bunyinya (nash-nash) saja dengan meninggalkan jiwanya dan hampir-hampir menyeret islam kepada kelemahan (kebekuan) yang tidak dibenarkan dalam agama.[3]
Beberapa waktu lamanya ia merenungkan dan mempertimbangkan ajaran-ajaran mu’tazilah dengan faham ahli fiqih dan ahli hadits. Kemudian ia menyendiri selama 15 hari dan hasil dari perenungan itu, timbullah suatu puncak pemikiran yang ia lakukan dalam rumahnya. Sebelumnya ia telah mengadakan perdebatan-perdebatan dengan gurunya al-juba’i, tentang dasar pemikiran mu’tazilah.[4] Dari perdebatan dengan gurunya tersebut tidak didapatkan jawaban yang memuaskan. Setelah melakukan perenungan, ia secara terang-terangan mengumumkan keyakinan barunya (yang kemudian dikenal dengan Asy’ariah) dan meninggalkan aliran lamanya di depan orang banyak.
Di sini timbul permasalahan soal apa sebenarnya yang menimbulkan perasaan syak dalam diri Al Asy’ari yang kemudian mendorongnya untuk meninggalkan faham Muktazilah. Menurut Ahmad Mahmud Subhi, syak itu timbul karena Al Asy’ari menganut mazhab Syafi’i. Al Syafi’i mempunyai pendapat teologi yang berbeda dengan muktazilah. Umpamanya al Syafi’i berpendapat bahwa Alqur’an tidak diciptakan, tetapi bersifat Qadim.[5]
Tetapi bagaimanapun Al Asy’ari meninggalkan faham Muktazilah, seketika golongan ini sedang berada dalam fase kemunduran dan kelemahan. Setlah al Mutawakkil membatalkan putusan al Ma’mun tentang penerimaan aliran Muktazilah sebagai mazhab negara, kedudukan kaum Muktazilah mulai menurun, apalagi setelah al Mutawakkil menunjukkan sikap penghargaan dan penghormatan kepada Ahmad bin Hanbal, lawan terbesar Muktazilah waktu itu.[6]
Pada waktu itu rakyat biasanya mengikuti mazhab yang dipakai dinasti yang berkuasa. Ini merupakan salah satu faktor penting bagi tersebarluasnya aliran Asy’ariah di dunia islam pada waktu itu. Dengan lenyapnya aliran lain, terutama aliran Muktazilah, maka aliran Asy’ariah tak memperoleh saingan untuk mempengaruhi umat islam sejak waktu itu hingga sekarang.[7] Ketika aliran Muktazilah mulai ditinggalkan para pengikutnya, aliran Asy’ariah semakin berkembang dengan pesat. Diantara faktor-faktor lain yang menguntungkan al Asy’ari dalam mengembangkan aliranya adalah:
1.    Kaum Muslimin sudah bosan mendengarkan perdebatan dan pertentangan soal Alqur’an, khususnya yang dicetuskan Muktazilah.
2.    Imam Al Asy’ari terkenal sebagai ulama yang ulung dalam perdebatan, pintar dan mempunyai ilmu yang mendalam serta terkenal sebagai orang yang shaleh dan taqwa.
3.    Sejak masa Mutawakkil (232 H) khalifah-khalifah telah meninggalkan aliran Muktazilah.
4.    Imam Asy’ari mempunyai pengikut-pengikut yang menyebarkan aliran Asy’ariah. Mereka mempunyai kedudukan yang besar di masyarakat, sehingga banyak orang yang tertarik dengan aliran Asy’ariah.
5.    Pemerintahan Bani Buwaih yang bercorak Syi’ah yang mendukung aliran Muktazilah telah digantikan pemerintahan Saljuk Turki yang bercorak Sunni dan menyokong aliran Ahlussunnah.[8]
C. Tokoh-tokoh Aliran Asy’ariah
Penyebaran aliran Asy’ariah tidak dapat dilepaskan dari para pengikutnya. Walaupun dalam kenyataanya, terdapat beberapa perbedaan pendapat antara mereka dengan Abu al Hasan al Asy’ari, akan tetapi pengaruh tokoh-tokoh tersebut dalam membawa dan mengajarkan pemikiran Asy’ariah di masyarakat sangat besar. Beberapa tokoh Asy’ariah yang terkenal dan berpengaruh, diantaranya:
1. al Baqillani
Nama lengkapnya adalah Muhammad Ibnu al Tayyib Ibnu Muhammad Abu Bakr al Baqillani. Ia memperleh ajaran-ajaran al Asy’ari dari dua muridnya, Ibnu Mujahid dan Abu al Hasan al Bahili dan wafat di Bagdad tahun 1013 M. Walaupun ia pengikut Asy’ariah, akan tetapi tidak semua pendapatnya sama dengan al Asy’ari.[9] Dalam beberapa hal, ia tidak sepaham dengan al Asy’ari. Al Baqillani tekenal cerdas, simpatik dan banyak jasanya dalam pembelaan agama. bukunya yang terkenal adalah At Tamhid yang berarti pengantar atau pendahuluan. Dalam buku ini, ia antara lain membicarakan tentang hal-hal yang perlu dipelajari sebelum memasuki teologi islam.[10]
2. Abdul Malik al Juwaini ( Imam Haramain)
Al Juwaini dilahirkan di Naisabur (Iran), setelah besar pergi ke Mu’askar dan akhirnya tinggal di kota Bagdad. Kegiatan ilmiahnya meliputi Ushul Fiqh dan teologi islam. Ia mengikuti jejak al Baqillani dan al Asy’ari dalam menjunjung tinggi kekuasaan akal pikiran, suatu hal yang menyebabkan kemarahan ahli Hadits kepadanya. Akhirnya ia meninggalkan Bagdad menuju Hijaz dan bertempat tinggal di Mekkah kemudian ke Madinah untuk memberikan pelajaran di sana. Karena itu ia mendapat gelar “Imamul Haramain yang artinya Imam kedua tanah suci, yaitu Mekkah dan Madinah. Setelah Nizamul Mulk memegang pemerintahan di Naisabur, ia diminta pulang untuk mengajar di sana.[11]
3. Abu Hamid Al Ghazali
Imam Ghazali lahir pada tahun 450 H. Pernah berguru kepada al Juwaini di Naisabur kemudian ia berkunjung kepada Nizamul Mulk di kota Mu’askar dan disini ia mendapat penghargaan dan penghormatan yang besar. pada tahun 1095 M/ 483 ia diangkat menjadi guru di sekolah Nizamiah Bagdad. Dan pekerjaanya itu dilaksanakan dengan berhasil. Selain mengajar, ia jugamengadakan bantahan-bantahan terhadap pikiran golongan batiniah, Ismailiyah, golongan filsafat dan lainya.[12] Al Ghazali adalah pengikut Asy’ariah yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat islam yang beraliran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Berlainan dengan gurunya, al Baqillani dan al Juwaini, faham teologi yang dimajukanya boleh dikatakan tidak berbeda jauh dari al Asy’ari.[13]
Selain beberapa tokoh diatas, masih banyak tokoh aliran Asy’ariah lainya seperti Abu Ishaq al Isfaraini, Abu al Qashim al Qusyairi, Ar Razi, As Sanusi, Shalahuddin al Ayyubi yang membawa aliran Asy’ariah di Mesir menggantikan aliran Syiah yang dibawa oleh dinasti Fatimiah. Muhammad Ibnu Tumart, murid al Ghazali yang kemudian mendirikan kerajaan Muwahid di Afrika Utara dan Spanyol. Dibagian timur, ajaran ini dibawa oleh Mahmud al Ghaznawi sampai ke India dan sebagianya.
  
BAB III
KESIMPULAN
Asy’ariah merupakan salah satu aliran teologi islam yang muncul sekitar tahun 300 Hijriyah. Nama Asy’ariah diambil dari nama Abu al Hasan al Asy’ari, seorang ulama cerdas yang pernah menjadi pengikut aliran Muktazilah selama 40 tahun. Ia merupakan keturunan dari Abu Musa al Asy’ari, juru runding pihak Ali bin Abi Thalib ketika peristiwa Arbitrase dengan pihak Muawiyah. Sejak Al Asy’ari memperkenalkan keyakinan barunya dan meninggalkan keyakinan lamanya, dan diwaktu yang bersamaan Khalifah al Mutawakkil membatalkan paham Muktazilah sebagai Mazhab negara, maka umat muslim waktu itu banyak yang mengikuti aliran Asy’ariah. Aliran ini banyak menyandarkan pemahaman agama terhadap wahyu (Aqur’an dan Hadits), berbanding terbalik dengan Muktazilah yang lebih mengutamakan rasio atau akal. Perkembangan Asy’ariah begitu pesat karena dibawa dan disebarkan oleh tokoh-tokoh yang berpengaruh besar di masyarakat. diantara para pengikut Asy’ariah adalah Al Baqillani, Ibnu Ishaq al Isfaraini, Abdul Malik al Juwaini (Imam al Haramain), Shalahuddin al Ayyubi, Abu al Qashim al Qusyairi, Imam Al Ghazali, Muhammad Ibnu Tumart, Ar Razi dan sebagainya.



DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Harun. 1986. TEOLOGI ISLAM Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press)
Hanafi, A. 1989. Pengantar Theology Islam, Jakarta: Pustaka Al Husna
Ahmad Hanafi. 1993. Theologi Islam, Jakarta: Bulan Bintang
Ilhamuddin. 1997. Pemikiran Kalam Al Baqillani Studi tentang persamaan dan Perbedaanya dengan Al Asy’ari, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya
Sumantri. 1999. Buku ajar ilmu kalam, Surakarta: FAI Universitas Muhammadiyah Surakarta




[1] Prof.Dr.Harun Nasution, TEOLOGI ISLAM Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1986, Cet. 5, hlm. 65
[2] A. Hanafi, M.A, Pengantar Theology Islam, Jakarta: Pustaka Al Husna, 1989, Cet. 5, hlm. 107
[3] Ahmad Hanafi, Theologi Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, hlm. 59
[4] Sumantri, Buku ajar ilmu kalam. Surakarta: FAI Universitas Muhammadiyah Surakarta, 1999, hlm. 80
[5] Prof.Dr.Harun Nasution, TEOLOGI ISLAM Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1986, Cet. 5, hlm. 67
[6] Ibid, hlm. 68
[7] Ibid, hlm. 75
[8]A. Hanafi, M.A, Pengantar Theology Islam, Jakarta: Pustaka Al Husna, 1989, Cet. 5, hlm. 106
[9] Prof.Dr.Harun Nasution, TEOLOGI ISLAM Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1986, Cet. 5, hlm. 71
[10] A. Hanafi, M.A, Pengantar Theology Islam, Jakarta: Pustaka Al Husna, 1989, Cet. 5, hlm. 111
[11] A. Hanafi, M.A, Pengantar Theology Islam, Jakarta: Pustaka Al Husna, 1989, Cet. 5, hlm. 112
[12] Ibid, hlm. 114
[13] Prof.Dr.Harun Nasution, TEOLOGI ISLAM Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1986, Cet. 5, hlm. 72

Tidak ada komentar:

Posting Komentar