SEJARAH PERKEMBANGAN TEOLOGI ASY’ARIAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Pemikiran Falsafah dan Kalam
Dosen Pengampu: Drs. Abdullah Mahmud,
M.Ag
Disusun oleh:
Muhammad Ihsan (G000140061)
Ibnu Prastawa (G000140066)
Sebastian Wisnu Aji (G000140137)
KELAS B
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semenjak peristiwa tahkim atau arbitrase antara pihak Ali bin Abi Thalib
dengan pihak Muawiyah bin Abi Sofyan membuat umat islam terpecah menjadi
berbagai golongan, seperti Syiah dan Khawarij. Kemudian berkembang pula
pemikiran umat islam mengenai perbuatan manusia, dosa besar maupun lainya yang
membuat umat terpecah menjadi berbagai aliran seperti Murjiah, Qadariyah,
Jabariyah, Qadariyah, Muktazilah dan lain sebagainya. Yang disebut terakhir
merupakan aliran yang sangat mengedepankan rasio atau akal dan banyak
menomorduakan wahyu. Hal ini memicu munculnya paham Asy’ariah yang
diperkenalkan oleh Abu Hasan Al Asy’ari, seorang yang telah menganut paham
Muktazilah selama 40 tahun. Paham ini lebih mengutamakan wahyu atau tekstual
dalam memahami ajaran agama dibandingkan dengan rasio atau akal.
Aliran Asy’ariah berkembang dengan pesat semenjak Khalifah Mutawakkil memimpin
dinasti Abbasiyah, ia membatalkan aliran Muktazilah sebagai mazhab negara. Hal
ini mengakibatkan banyak orang muslim yang mengikuti aliran Asy’ariah, selain karena
merasa tidak puas dengan pemikiran Muktazilah yang lebih mengedepankan akal.
Pemikiran Asy’ariah mudah diterima umat muslim waktu itu karena banyak
bersandar pada wahyu, yaitu Alqur’an dan sunnah. Selain itu, para pengikut
Asy’ariah memiliki pengaruh yang besar terhadap masyarakat, hal ini sangat
menguntugkan mereka dalam membawa dan mengajarkan pemikiran Abu hasan Al
Asy’ari.
Teologi Asy’ariah hingga saat ini masih banyak dianut oleh umat islam
karena mayoritas muslim mengakui bahwa teologi ini dan teologi Maturidiyah
merupakan representasi dari aliran Ahlus sunnah wal jama’ah. Seperti diketahui,
bahwa Nabi Muhammad SAW pernah bersabda bahwa umat islam kelak akan terpecah
menjadi 73 golongan dan hanya satu golongan yang akan masuk surga yaitu al
Jama’ah (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah). Di Indonesia, pemikiran Asy’ariah masih
menjadi pegangan mayoritas muslim. Hal ini terbukti dengan adanya pelajaran
Akidah yang banyak mengadopsi Akidah Asy’ariah. Teologi atau Akidah Asy’ariah
meyakini adanya Sifat-Sifat Allah SWT seperti hayat, ilmu, iradat dan
seterusnya. Akidah ini menjadi bahan pelajaran di Sekolah umum maupun sebagian
besar pondok pesantren di Indonesia.
B. Rumusan
Masalah
Dari uraian diatas terdapat beberapa
permasalahan, yaitu:
1. Siapakah Abu al Hasan al Asy’ari itu?
2. Bagaimana sejarah perkembangan teologi
Asy’ariah ?
3. Siapakah tokoh-tokoh pengikut teologi
Asy’ariah?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini
adalah untuk:
1. Mengetahui tentang Abu al Hasan al
Asy’ari.
2. Mengetahui sejarah perkembangan teologi
Asy’ariah.
3. Siapakah tokoh-tokoh pengikut teologi
Asy’ariah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Abu Hasan Al Asy’ari
Nama lengkap
al-Asy’ari adalah Abu al-Hasan ‘Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il
bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa al-Asy’ari. Ia
merupakan keturunan dari sahabat Nabi saw, Abu Musa Al-Asy’ary, salah satu juru
runding dalam dalam sengketa ali dan muawiyah pada perang siffin. Al-Asy’ari
lahir di Bashrah pada tahun 260 H/873 M. Ketika berusia lebih dari 40 tahun, ia
hijrah ke kota Bagdad dan wafat disana pada tahun 324 H/935 M. Pada mulanya, Ia
adalah seorang Murid al Jubba’i dan salah seorang terkemuka dalam golongan
Muktazilah, sehingga menurut al Husain Ibnu Muhammad al Askari, al Jubbai
berani mempercayakan perdebatan dengan lawan kepadanya.[1]
Al Asy’ari banyak meninggalkan karangan-karangan, kurang lebih 90
buah, dalam berbagai lapangan ilmu ke-Islaman. Ia menolak paham golongan
materialist, Antro-pomorphisme, khawarij dan lainya. Sebagian besar waktunya ia
habiskan dalam menghadapi kaum mu’tazilah seperti al-juba’i, al-allaf dan
sebagainya, bahkan terhadap dirinya sendiri ketika ia masih menganut faham
mu’tazilah. Karanganya yang terkenal dan sampai pada kita adalah:
1.
Mawalatul
Islamiyyin (Pendapat-golongan-golongan islam) yang merupakan buku pertama
dikarang dalam soal kepercayaan islam dan menjadi sumber yang penting pula.
2.
Al
Ibanah ‘an Usulid Diyanah (Penjelasan tentang dasar-dasar agama) yang berisi
tentang kepercayaan ahlus sunnah dan dimulai dengan memuji Ahmad Bin Hanbal dan
menyatakan tentang memegangi pendapat-pendapatnya.
3.
Al
Luma’ (Sorotan) yang dimaksudkan untuk membantah lawanya dalam beberapa
persoalan ilmu kalam.[2]
B. Sejarah Perkembangan Asy’ariah
Abu al Hasan Asy’ari pada mulanya mengikuti paham Muktazilah selama
40 tahun. Al-asy’ary tidak puas dengan konsepsi aliran mu’tazilah, selain itu
juga disebabkan adanya perpecahan yang dialami masyarakat pada masa itu yang
bisa menghancurkan mereka sendiri bila tidak ditangani dengan segera. Ia
(al-Asy’ari) sangat mengkhawatirkan al-quran dan hadits menjadi korban faham aliran
mu’tazilah yang tidak dapat dibenarkan olehnya. Karena terlalu didasarkan atas pemujaan akal
pikiran, sebagaimana juga dikhawatirkan
menjadi korban ahli hadits yang hanya menegasi bunyinya (nash-nash)
saja dengan meninggalkan jiwanya dan hampir-hampir menyeret islam kepada
kelemahan (kebekuan) yang tidak dibenarkan dalam agama.[3]
Beberapa waktu
lamanya ia merenungkan dan mempertimbangkan ajaran-ajaran mu’tazilah dengan
faham ahli fiqih dan ahli hadits. Kemudian ia menyendiri selama 15 hari dan
hasil dari perenungan itu, timbullah suatu puncak pemikiran yang ia lakukan
dalam rumahnya. Sebelumnya ia telah mengadakan perdebatan-perdebatan dengan
gurunya al-juba’i, tentang dasar pemikiran mu’tazilah.[4] Dari
perdebatan dengan gurunya tersebut tidak didapatkan jawaban yang memuaskan. Setelah
melakukan perenungan, ia secara terang-terangan mengumumkan keyakinan barunya
(yang kemudian dikenal dengan Asy’ariah) dan meninggalkan aliran lamanya di
depan orang banyak.
Di sini timbul
permasalahan soal apa sebenarnya yang menimbulkan perasaan syak dalam diri Al
Asy’ari yang kemudian mendorongnya untuk meninggalkan faham Muktazilah. Menurut
Ahmad Mahmud Subhi, syak itu timbul karena Al Asy’ari menganut mazhab Syafi’i.
Al Syafi’i mempunyai pendapat teologi yang berbeda dengan muktazilah. Umpamanya
al Syafi’i berpendapat bahwa Alqur’an tidak diciptakan, tetapi bersifat Qadim.[5]
Tetapi
bagaimanapun Al Asy’ari meninggalkan faham Muktazilah, seketika golongan ini
sedang berada dalam fase kemunduran dan kelemahan. Setlah al Mutawakkil
membatalkan putusan al Ma’mun tentang penerimaan aliran Muktazilah sebagai mazhab
negara, kedudukan kaum Muktazilah mulai menurun, apalagi setelah al Mutawakkil
menunjukkan sikap penghargaan dan penghormatan kepada Ahmad bin Hanbal, lawan
terbesar Muktazilah waktu itu.[6]
Pada waktu itu
rakyat biasanya mengikuti mazhab yang dipakai dinasti yang berkuasa. Ini
merupakan salah satu faktor penting bagi tersebarluasnya aliran Asy’ariah di
dunia islam pada waktu itu. Dengan lenyapnya aliran lain, terutama aliran
Muktazilah, maka aliran Asy’ariah tak memperoleh saingan untuk mempengaruhi
umat islam sejak waktu itu hingga sekarang.[7] Ketika
aliran Muktazilah mulai ditinggalkan para pengikutnya, aliran Asy’ariah semakin
berkembang dengan pesat. Diantara faktor-faktor lain yang menguntungkan al
Asy’ari dalam mengembangkan aliranya adalah:
1.
Kaum
Muslimin sudah bosan mendengarkan perdebatan dan pertentangan soal Alqur’an,
khususnya yang dicetuskan Muktazilah.
2.
Imam
Al Asy’ari terkenal sebagai ulama yang ulung dalam perdebatan, pintar dan
mempunyai ilmu yang mendalam serta terkenal sebagai orang yang shaleh dan
taqwa.
3.
Sejak
masa Mutawakkil (232 H) khalifah-khalifah telah meninggalkan aliran Muktazilah.
4.
Imam
Asy’ari mempunyai pengikut-pengikut yang menyebarkan aliran Asy’ariah. Mereka
mempunyai kedudukan yang besar di masyarakat, sehingga banyak orang yang
tertarik dengan aliran Asy’ariah.
5.
Pemerintahan
Bani Buwaih yang bercorak Syi’ah yang mendukung aliran Muktazilah telah
digantikan pemerintahan Saljuk Turki yang bercorak Sunni dan menyokong aliran
Ahlussunnah.[8]
C. Tokoh-tokoh Aliran Asy’ariah
Penyebaran aliran Asy’ariah tidak dapat dilepaskan dari para
pengikutnya. Walaupun dalam kenyataanya, terdapat beberapa perbedaan pendapat
antara mereka dengan Abu al Hasan al Asy’ari, akan tetapi pengaruh tokoh-tokoh
tersebut dalam membawa dan mengajarkan pemikiran Asy’ariah di masyarakat sangat
besar. Beberapa tokoh Asy’ariah yang terkenal dan berpengaruh, diantaranya:
1. al Baqillani
Nama lengkapnya adalah Muhammad Ibnu al Tayyib Ibnu Muhammad Abu
Bakr al Baqillani. Ia memperleh ajaran-ajaran al Asy’ari dari dua muridnya,
Ibnu Mujahid dan Abu al Hasan al Bahili dan wafat di Bagdad tahun 1013 M.
Walaupun ia pengikut Asy’ariah, akan tetapi tidak semua pendapatnya sama dengan
al Asy’ari.[9]
Dalam beberapa hal, ia tidak sepaham dengan al Asy’ari. Al Baqillani tekenal
cerdas, simpatik dan banyak jasanya dalam pembelaan agama. bukunya yang
terkenal adalah At Tamhid yang berarti pengantar atau pendahuluan. Dalam buku
ini, ia antara lain membicarakan tentang hal-hal yang perlu dipelajari sebelum
memasuki teologi islam.[10]
2. Abdul Malik
al Juwaini ( Imam Haramain)
Al Juwaini dilahirkan di Naisabur (Iran), setelah besar pergi ke
Mu’askar dan akhirnya tinggal di kota Bagdad. Kegiatan ilmiahnya meliputi Ushul
Fiqh dan teologi islam. Ia mengikuti jejak al Baqillani dan al Asy’ari dalam
menjunjung tinggi kekuasaan akal pikiran, suatu hal yang menyebabkan kemarahan
ahli Hadits kepadanya. Akhirnya ia meninggalkan Bagdad menuju Hijaz dan
bertempat tinggal di Mekkah kemudian ke Madinah untuk memberikan pelajaran di
sana. Karena itu ia mendapat gelar “Imamul Haramain yang artinya Imam kedua
tanah suci, yaitu Mekkah dan Madinah. Setelah Nizamul Mulk memegang
pemerintahan di Naisabur, ia diminta pulang untuk mengajar di sana.[11]
3. Abu Hamid Al
Ghazali
Imam Ghazali lahir pada tahun 450 H. Pernah berguru kepada al
Juwaini di Naisabur kemudian ia berkunjung kepada Nizamul Mulk di kota Mu’askar
dan disini ia mendapat penghargaan dan penghormatan yang besar. pada tahun 1095
M/ 483 ia diangkat menjadi guru di sekolah Nizamiah Bagdad. Dan pekerjaanya itu
dilaksanakan dengan berhasil. Selain mengajar, ia jugamengadakan
bantahan-bantahan terhadap pikiran golongan batiniah, Ismailiyah, golongan
filsafat dan lainya.[12] Al
Ghazali adalah pengikut Asy’ariah yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada
umat islam yang beraliran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Berlainan dengan gurunya,
al Baqillani dan al Juwaini, faham teologi yang dimajukanya boleh dikatakan
tidak berbeda jauh dari al Asy’ari.[13]
Selain beberapa tokoh diatas, masih banyak tokoh aliran Asy’ariah
lainya seperti Abu Ishaq al Isfaraini, Abu al Qashim al Qusyairi, Ar Razi, As
Sanusi, Shalahuddin al Ayyubi yang membawa aliran Asy’ariah di Mesir
menggantikan aliran Syiah yang dibawa oleh dinasti Fatimiah. Muhammad Ibnu
Tumart, murid al Ghazali yang kemudian mendirikan kerajaan Muwahid di Afrika Utara
dan Spanyol. Dibagian timur, ajaran ini dibawa oleh Mahmud al Ghaznawi sampai
ke India dan sebagianya.
BAB III
KESIMPULAN
Asy’ariah
merupakan salah satu aliran teologi islam yang muncul sekitar tahun 300
Hijriyah. Nama Asy’ariah diambil dari nama Abu al Hasan al Asy’ari, seorang
ulama cerdas yang pernah menjadi pengikut aliran Muktazilah selama 40 tahun. Ia
merupakan keturunan dari Abu Musa al Asy’ari, juru runding pihak Ali bin Abi
Thalib ketika peristiwa Arbitrase dengan pihak Muawiyah. Sejak Al Asy’ari memperkenalkan keyakinan barunya dan meninggalkan
keyakinan lamanya, dan diwaktu yang bersamaan Khalifah al Mutawakkil
membatalkan paham Muktazilah sebagai Mazhab negara, maka umat muslim waktu itu
banyak yang mengikuti aliran Asy’ariah. Aliran ini banyak menyandarkan
pemahaman agama terhadap wahyu (Aqur’an dan Hadits), berbanding terbalik dengan
Muktazilah yang lebih mengutamakan rasio atau akal. Perkembangan Asy’ariah
begitu pesat karena dibawa dan disebarkan oleh tokoh-tokoh yang berpengaruh besar
di masyarakat. diantara para pengikut Asy’ariah adalah Al Baqillani, Ibnu Ishaq al Isfaraini, Abdul Malik al Juwaini (Imam
al Haramain), Shalahuddin al Ayyubi, Abu al Qashim al Qusyairi, Imam Al Ghazali,
Muhammad Ibnu Tumart, Ar Razi dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution,
Harun. 1986. TEOLOGI ISLAM Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press)
Hanafi, A.
1989. Pengantar Theology Islam, Jakarta: Pustaka Al Husna
Ahmad Hanafi.
1993. Theologi Islam, Jakarta: Bulan Bintang
Ilhamuddin.
1997. Pemikiran Kalam Al Baqillani Studi tentang persamaan dan Perbedaanya
dengan Al Asy’ari, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya
Sumantri. 1999.
Buku ajar ilmu kalam, Surakarta: FAI Universitas Muhammadiyah Surakarta
[1]
Prof.Dr.Harun Nasution, TEOLOGI ISLAM Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1986, Cet.
5, hlm. 65
[2] A.
Hanafi, M.A, Pengantar Theology Islam, Jakarta: Pustaka Al Husna, 1989,
Cet. 5, hlm. 107
[3]
Ahmad Hanafi, Theologi Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, hlm. 59
[4]
Sumantri, Buku ajar ilmu kalam. Surakarta: FAI Universitas Muhammadiyah
Surakarta, 1999, hlm. 80
[5] Prof.Dr.Harun
Nasution, TEOLOGI ISLAM Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1986, Cet. 5, hlm. 67
[6] Ibid,
hlm. 68
[7] Ibid,
hlm. 75
[8]A.
Hanafi, M.A, Pengantar Theology Islam, Jakarta: Pustaka Al Husna, 1989,
Cet. 5, hlm. 106
[9]
Prof.Dr.Harun Nasution, TEOLOGI ISLAM Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1986,
Cet. 5, hlm. 71
[10] A.
Hanafi, M.A, Pengantar Theology Islam, Jakarta: Pustaka Al Husna, 1989,
Cet. 5, hlm. 111
[11] A.
Hanafi, M.A, Pengantar Theology Islam, Jakarta: Pustaka Al Husna, 1989,
Cet. 5, hlm. 112
[12] Ibid,
hlm. 114
[13]
Prof.Dr.Harun Nasution, TEOLOGI ISLAM Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1986,
Cet. 5, hlm. 72
Tidak ada komentar:
Posting Komentar