Kamis, 24 November 2016

PENDEKATAN DALAM STUDI ISLAM (PENDEKATAN TEOLOGIS DAN NORMATIF)

PENDEKATAN DALAM STUDI ISLAM (PENDEKATAN TEOLOGIS DAN NORMATIF)




Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Metodologi Studi Islam
Dosen Pengampu: Dr. Mutohharun Jinan, M.Ag

Disusun oleh:
Ngadino                                            (G000140019)
Muhammad Arif Wicagsono                        (G000140087)
Syahrul Fatkhurrahman                     (G000140091)
Sebastian Wisnu Aji                          (G000140137)
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat di dalam sumber ajarannya, Al-qur’an dan Hadits tampak ideal dan agung. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka, demokratis, berorientasi pada kualitas, egaliter, kemitraan, anti-feodalistik, mencintai kebersihan, mengutamakan persaudaraan, berakhlak mulia dan bersikap positif lainnya.
Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut untuk ikut terlibat secara aktif di dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak hanya sekedar menjadi lambang kesalehan atau sekadar disampaikan dalam khotbah, melainkan secara konsepsional menunjukkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah.Tuntutan terhadap agama yang demikian itu dapat dijawab mana kala pemahaman agama yang selama ini banyak menggunakan pendekatan teologis dilengkapi dengan pemahaman agama yang menggunakan pendekatan lain, yang secara operasional konseptual, dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul.
Dalam memahami agama banyak pendekatan yang dilakukan. Hal demikian perlu dilakukan, karena pendekatan tersebut kehadiran agama secara fungsional dapat dirasakan oleh penganutnya.  Adapun yang dimaksud dengan pendekatan disini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama.
B.  Rumusan Masalah
1.    Apa yang dimaksud dengan Pendekatan teologis?
2.    Apa yang dimaksud dengan Pendekatan Normatif?
3.    Seberapa penting pendekatan (aproaches) dalam memahami agama?
C. Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian pendekatan teologis.
2.     Untuk mengetahui pengertian pendekatan Normatif.
3.      Untuk mengetahui pentingnya pendekatan (aproaches) dalam memahami agama.


BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pendekatan Teologis
Teologi dari segi etimologi berasal dari bahasa yunani yaitu theologia. Yang terdiri dari kata theos yang berarti tuhan atau dewa, dan logos yang artinya ilmu. Teologi adalah pengetahuan ketuhanan, sedangkan pendekatan teologis adalah suatu pendekatan yang normatif dan subjective terhadap agama. Pada umumnya, pendekatan ini dilakukan dari dan oleh penganut agama dalam usahanya menyelidiki agama lain. Secara harfiah, pendekatan teologis normatif dalam memahami agama dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empiris dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya.[1]
Menurut The Encyclopedia of American Religion, di Amerika Serikat terdapat 1.200 sekte keagamaan. Satu diantaranya adalah sekte Davidian bersama 80 orang pengikut fanatiknya melakukan bunuh diri masal setelah berselisih dengan kekuasaan pemerintah Amerika Serikat. Dalam Islam pun secara tradisional dapat dijumpai teologi Mu’tazilah, teologi Asy’ariyah, dan teologi Maturidiyah. Sebelumnya terdapat pula teologi bernama Khawarij dan Murji’ah.[2]
Pendekatan teologis dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk formal dan simbol-simbol keagamaan yang masing-masing mengangap dirinya yang paling benar dan yang lainya salah.[3] Aliran teologi yang satu begitu fanatik bahwa pahamnya yang paling benar dan yang lainya adalah salah, sesat, keliru dan kafir. Dengan demikian maka terjadilah proses saling mengkafirkan dan antara satu aliran dengan yang lainya tidak terbuka bahkan tidak menghargai aliran yang lain. Fenomena ini disebut dengan mengklaim kebenaran ( truth claim) yang menjadi sifat dasar teologi. Berkenaan dengan pendekatan teologi tersebut semata-mata tidak akan memecahkan masalah pada masa sekarang. Doktrin teologi tidak akan terlepas dari adanya kepentingan ekonomi, sosial, budaya dan politik. Doktrin teologi dapat bercampur dengan masalah-masalah ekonomi, sosial, budaya dan politik dan keterlibatan antara institusi dan pranata sosial.[4]
Berkenaan dengan hal itu muncul istilah teologi masa kritis, yaitu suatu usaha manusia untuk memahami penghayatan iman dan agamanya dengan sumber aslinya dan konteks tradisi pada masa kini.[5] Salah satu cirinya adalah sifat kritis. Sifat kritis ini ditujukan kepada agamanya sendiri. Teologi sebagai kritik agama berarti menangkap dan mengungkap berbagai masalah yang menghambat pangilanya, menyelamatkan manusia dan kemanusiaan. Teologi kritis bersikap kritis pula terhadap lingkungannya. Artinya agama tidak hanya berhenti pada pemahaman mengenai ajaran akan tetapi mendorong transformasi sosial.[6]
Pendekatan teologis biasanya dalam memahami agama mengunakan cara berfikir deduktif, yaitu cara berfikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak, karena ajaran yang berasal dari tuhan sudah pasti benar sehingga tidak perlu dipertanyakan kebenaranya, melainkan dimulai dari keyakinan yang diperkuat dengan dalil.[7] Pendekatan teologis mempunyai kekurangan antara lain bersikap eklusif dan tidak mau mengakui kebenaran agama lain. Pendekatan teologis mempunyai kelebihan yaitu seseorang akan memiliki sikap yang teguh dalam beragama.[8]
Di masa sekarang ini, perbadaan dalam bentuk formal teologis yang terjadi di antara berbagai madzhab dan aliran teologis keagamaan. Namun, pluralitas dalam perbedaan tersebut seharusnya tidak membawa mereka pada sikap saling bermusuhan dan saling menonjolkan segi-segi perbedaan masing-masing secara arogan, tapi sebaiknya dicari titik persamaanya untuk menuju subtansi dan misi agama yang paling suci. Salah satunya adalah dengan mewujudkan rahmat bagi seluruh alam yang dilandasi pada prinsip keadilan, kemanusiaan, kebersamaan, kemitraan, saling menolong, saling mewujudkan kedamaian, dan seterusnya. Jika misi tersebut dapat dirasakan, fungsi agama bagi kehidupan manusia segera dapat dirasakan.
B. Pendekatan Normatif
Pendekatan normatif adalah studi islam yang memandang masalah dari sudut legal-formal atau normatifnya.[9] Legal-formal adalah hukum yang ada hubungannya dengan halal dan haram, boleh atau tidak dan sejenisnya. Sementara normatif adalah seluruh ajaran yang terkandung dalam nash. Dengan demikian, pendekatan normatif mempunyai cakupan yang sangat luas sebab seluruh pendekatan yang digunakan oleh ahli usul fikih  (usuliyin), ahli hokum islam (fuqaha), ahli tafsir (mufassirin) danah lihadits (muhaddithin) ada hubungannya dengan aspek legal-formal serta ajaran islam dari sumbernya termasuk pendekatan normatif.
Sisi lain dari pendekatan normatif secara umum ada dua teori yang dapat digunakan bersama pendekatan normatif-teologis.Teori yang pertama adalah  hal - hal yang bertujuan untuk mengetahui kebenaran serta dapat dibuktikan secara empirik dan eksperimental.Teori yang kedua adalah hal-hal yang sulit dibuktikan secara empirik dan eksperimental.Untuk hal-hal yang dapat dibuktikan secara empirik biasanya disebut masalah yang berhubungan dengan ra’yi (penalaran).
Sedang masalah-masalah yang tidak berhubungan dengan empirik (ghaib) biasanya diusahakan pembuktiannya dengan mendahulukan kepercayaan.Hanya saja cukup sulit untuk menentukan hal-hal apa saja yang masuk klasifikasi empirik dan mana yang tidak terjadi sehingga menyebabkan perbedaan pendapat dikalangan para ahli.Maka sikap yang perlu dilakukan dengan pendekatan normatif adalah sikap kritis.
Adapun beberapa teori popular yang dapat digunakan dengan pendekatan normatif disamping teori-teori yang digunakan oleh para fuqaha’, usuluyin, muhaddithin dan mufassirin diantara adalah teori teologis-filosofis yaitu pendekatan memahami Al Qur’an dengan cara menginterpretasikannya secara logis-filosofi yakni mecari nilai-nilai objektif dari subjektifitas Al Quran.
Teori lainnya adalah normatif-sosiologis atau sosiologis seperti yang ditawarkan Asghar Ali Engerineer dan Tahir al-Haddad yakni dalam memahami nash (Al Qur’an dan sunah Nabi Muhammad SAW.) Selain itu ada pemisahan antara nash normatif dengan nash sosiologis. Nash normatif adalah nash yang tidak tergantung pada konteks Sementara nash sosiologis adalah nash yang pemahamannya harus disesuaikan dengan konteks waktu, tempat dan lainnya.
Dalam aplikasinya pendekatan nomatif tekstualis tidak menemui kendala yang berarti ketika dipakai untuk melihat dimensi islam normatif yang bersifat Qoth’i. Persoalanya justru akan semakin rumit ketika pendekatan ini dihadapkan pada realita dalam Al-Quran bahkan diamalkan oleh komunitas tertentu secara luas contoh yang paling kongkrit adalah adanya ritual tertentu dalam komunitas muslim yang sudah mentradisi secara turun temurun,seperti slametan (Tahlilan atau kenduren).
Dari uraian tersebut terlihat bahwa pendekatan normatif tekstualis dalam memahami agama menggunakan cara berpikir deduktif yaitu cara berpikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak sehingga tidak perlu dipertanyakan lebih dulu melainkan dimulai dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi.
Pendekatan normatif tektualis sebagaimana disebutkan diatas telah menunjukan adanya kekurangan seperti eksklusif dogmatis yang berarti tidak mau mengakui adanya paham golongan lain bahkan agama lain dan sebagainya.Namun demikian melalui pendekatan norrmatif tektualis ini seseorang akan memiliki sikap militansi dalam beragama sehingga berpegang teguh kepada agama yang diyakininya sebagai yang benar tanpa memandang dan meremehkan agama lainya.


BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Dapat diketahui bahwa filsafat pada intinya adalah upaya atau usaha untuk menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada dibalik objek formanya. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas, dan inti yang terdapat dibalik yang bersifat lahiriah. Karena sumber pengetahuan pendekatan filosofis adalah rasio, maka untuk melakukan kajian dengan pendekatan ini akal mempunyai peranan yang sangat signifikan.
Metode-metode yang digunakan untuk memahami Islam itu suatu saat mungkin dipandang tidak cukup lagi, sehingga diperlukan adanya pendekatan baru yang harus terus digali oleh para pembaharu. Dalam konteks penelitian, pendekatan-pendekatan (approaches) ini tentu saja mengandung arti satuan dari teori, metode, dan teknik penelitian. Terdapat banyak pendekatan yang digunakan dalam memahami agama. Diantaranya adalah pendekatan teologis, normative, antropologis, sosiologis, psikologis, histories, dan pendekatan filosofis, serta pendekatan-pendekatan lainnya. Adapun pendekatan yang dimaksud disini (bukan dalam konteks penelitian), adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam satu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hubungan ini, agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma. Realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya. Karena itu tidak ada persoalan apakah penelitian agama itu penelitian ilmu sosial, penelitian filosofi, atau penelitian legalistik.

B.   Saran
Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna. Banyak kekurangan disana-sini untuk itu mohon kiranya para pembaca sekalian berkenan memberikan masukan kritik dan saran guna perbaikan dimasa yang akan datang.


DAFTAR PUSTAKA


Nata, Abuddin. 2002. Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT Raja grafindo persada
Nasution, Harun. 1978. Teologi Islam (Ilmu Kalam), Jakarta: ui press
Abdullah, Amin. 1996. Studi Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Anwar, Rosihon dkk. 2009. Pengantar Studi Islam, Bandung: CV pustaka setia,
Nasution, Khoiruddin. 2009. Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: Academia dan Tazzafa




[1] Abbudin nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT raja grafindo persada, jakarta 2002) hlm. 28
[2] Harun nasution, Teologi Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta: ui press, 1978) cet. 1 hlm. 32
[3] Abbudin nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT raja grafindo persada, jakarta 2002) hlm. 29
[4] Amin abdullah, Studi Agama, (Yogyakarta: pustaka pelajar, 1996). Hlm 31
[5]Abbudin nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT raja grafindo persada, jakarta 2002) hlm. 31
[6] M. Sastrapratidja, “agama dan kepedulian sosial”, dalam soetjipto wirosardjono, Agama Dan Pruralitas Bangsa, (Jakarta: P3M, 1991) hlm. 83
[7] Abbudin nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT raja grafindo persada, jakarta 2002) hlm. 34
[8] Rosihon anwar dkk, Pengantar Studi Islam, ( Bandung: CV pustaka setia, 2009) hlm. 79
[9] Prof. Dr. Khoiruddin Nasution, M.A., Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: Academia dan Tazzafa, 2009,hlm. 197  

Rabu, 16 November 2016

SEJARAH PERKEMBANGAN TEOLOGI ASY’ARIAH

SEJARAH PERKEMBANGAN TEOLOGI ASY’ARIAH






Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pemikiran Falsafah dan Kalam
Dosen Pengampu: Drs. Abdullah Mahmud, M.Ag

Disusun oleh:
Muhammad Ihsan                           (G000140061)
Ibnu Prastawa                                 (G000140066)
Sebastian Wisnu Aji                       (G000140137)
KELAS B

FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semenjak peristiwa tahkim atau arbitrase antara pihak Ali bin Abi Thalib dengan pihak Muawiyah bin Abi Sofyan membuat umat islam terpecah menjadi berbagai golongan, seperti Syiah dan Khawarij. Kemudian berkembang pula pemikiran umat islam mengenai perbuatan manusia, dosa besar maupun lainya yang membuat umat terpecah menjadi berbagai aliran seperti Murjiah, Qadariyah, Jabariyah, Qadariyah, Muktazilah dan lain sebagainya. Yang disebut terakhir merupakan aliran yang sangat mengedepankan rasio atau akal dan banyak menomorduakan wahyu. Hal ini memicu munculnya paham Asy’ariah yang diperkenalkan oleh Abu Hasan Al Asy’ari, seorang yang telah menganut paham Muktazilah selama 40 tahun. Paham ini lebih mengutamakan wahyu atau tekstual dalam memahami ajaran agama dibandingkan dengan rasio atau akal.
Aliran Asy’ariah berkembang dengan pesat semenjak Khalifah Mutawakkil memimpin dinasti Abbasiyah, ia membatalkan aliran Muktazilah sebagai mazhab negara. Hal ini mengakibatkan banyak orang muslim yang mengikuti aliran Asy’ariah, selain karena merasa tidak puas dengan pemikiran Muktazilah yang lebih mengedepankan akal. Pemikiran Asy’ariah mudah diterima umat muslim waktu itu karena banyak bersandar pada wahyu, yaitu Alqur’an dan sunnah. Selain itu, para pengikut Asy’ariah memiliki pengaruh yang besar terhadap masyarakat, hal ini sangat menguntugkan mereka dalam membawa dan mengajarkan pemikiran Abu hasan Al Asy’ari.
Teologi Asy’ariah hingga saat ini masih banyak dianut oleh umat islam karena mayoritas muslim mengakui bahwa teologi ini dan teologi Maturidiyah merupakan representasi dari aliran Ahlus sunnah wal jama’ah. Seperti diketahui, bahwa Nabi Muhammad SAW pernah bersabda bahwa umat islam kelak akan terpecah menjadi 73 golongan dan hanya satu golongan yang akan masuk surga yaitu al Jama’ah (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah). Di Indonesia, pemikiran Asy’ariah masih menjadi pegangan mayoritas muslim. Hal ini terbukti dengan adanya pelajaran Akidah yang banyak mengadopsi Akidah Asy’ariah. Teologi atau Akidah Asy’ariah meyakini adanya Sifat-Sifat Allah SWT seperti hayat, ilmu, iradat dan seterusnya. Akidah ini menjadi bahan pelajaran di Sekolah umum maupun sebagian besar pondok pesantren di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian diatas terdapat beberapa permasalahan, yaitu:
1.    Siapakah Abu al Hasan al Asy’ari itu?
2.    Bagaimana sejarah perkembangan teologi Asy’ariah ?
3.    Siapakah tokoh-tokoh pengikut teologi Asy’ariah?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk:
1.      Mengetahui tentang Abu al Hasan al Asy’ari.
2.      Mengetahui sejarah perkembangan teologi Asy’ariah.
3.      Siapakah tokoh-tokoh pengikut teologi Asy’ariah?



BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Abu Hasan Al Asy’ari
Nama lengkap al-Asy’ari adalah Abu al-Hasan ‘Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa al-Asy’ari. Ia merupakan keturunan dari sahabat Nabi saw, Abu Musa Al-Asy’ary, salah satu juru runding dalam dalam sengketa ali dan muawiyah pada perang siffin. Al-Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun 260 H/873 M. Ketika berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Bagdad dan wafat disana pada tahun 324 H/935 M. Pada mulanya, Ia adalah seorang Murid al Jubba’i dan salah seorang terkemuka dalam golongan Muktazilah, sehingga menurut al Husain Ibnu Muhammad al Askari, al Jubbai berani mempercayakan perdebatan dengan lawan kepadanya.[1]
Al Asy’ari banyak meninggalkan karangan-karangan, kurang lebih 90 buah, dalam berbagai lapangan ilmu ke-Islaman. Ia menolak paham golongan materialist, Antro-pomorphisme, khawarij dan lainya. Sebagian besar waktunya ia habiskan dalam menghadapi kaum mu’tazilah seperti al-juba’i, al-allaf dan sebagainya, bahkan terhadap dirinya sendiri ketika ia masih menganut faham mu’tazilah. Karanganya yang terkenal dan sampai pada kita adalah:
1.      Mawalatul Islamiyyin (Pendapat-golongan-golongan islam) yang merupakan buku pertama dikarang dalam soal kepercayaan islam dan menjadi sumber yang penting pula.
2.      Al Ibanah ‘an Usulid Diyanah (Penjelasan tentang dasar-dasar agama) yang berisi tentang kepercayaan ahlus sunnah dan dimulai dengan memuji Ahmad Bin Hanbal dan menyatakan tentang memegangi pendapat-pendapatnya.
3.      Al Luma’ (Sorotan) yang dimaksudkan untuk membantah lawanya dalam beberapa persoalan ilmu kalam.[2]
B. Sejarah Perkembangan Asy’ariah
Abu al Hasan Asy’ari pada mulanya mengikuti paham Muktazilah selama 40 tahun. Al-asy’ary tidak puas dengan konsepsi aliran mu’tazilah, selain itu juga disebabkan adanya perpecahan yang dialami masyarakat pada masa itu yang bisa menghancurkan mereka sendiri bila tidak ditangani dengan segera. Ia (al-Asy’ari) sangat mengkhawatirkan al-quran dan hadits menjadi korban faham aliran mu’tazilah yang tidak dapat dibenarkan olehnya. Karena  terlalu didasarkan atas pemujaan akal pikiran, sebagaimana juga dikhawatirkan  menjadi korban ahli hadits yang hanya menegasi bunyinya (nash-nash) saja dengan meninggalkan jiwanya dan hampir-hampir menyeret islam kepada kelemahan (kebekuan) yang tidak dibenarkan dalam agama.[3]
Beberapa waktu lamanya ia merenungkan dan mempertimbangkan ajaran-ajaran mu’tazilah dengan faham ahli fiqih dan ahli hadits. Kemudian ia menyendiri selama 15 hari dan hasil dari perenungan itu, timbullah suatu puncak pemikiran yang ia lakukan dalam rumahnya. Sebelumnya ia telah mengadakan perdebatan-perdebatan dengan gurunya al-juba’i, tentang dasar pemikiran mu’tazilah.[4] Dari perdebatan dengan gurunya tersebut tidak didapatkan jawaban yang memuaskan. Setelah melakukan perenungan, ia secara terang-terangan mengumumkan keyakinan barunya (yang kemudian dikenal dengan Asy’ariah) dan meninggalkan aliran lamanya di depan orang banyak.
Di sini timbul permasalahan soal apa sebenarnya yang menimbulkan perasaan syak dalam diri Al Asy’ari yang kemudian mendorongnya untuk meninggalkan faham Muktazilah. Menurut Ahmad Mahmud Subhi, syak itu timbul karena Al Asy’ari menganut mazhab Syafi’i. Al Syafi’i mempunyai pendapat teologi yang berbeda dengan muktazilah. Umpamanya al Syafi’i berpendapat bahwa Alqur’an tidak diciptakan, tetapi bersifat Qadim.[5]
Tetapi bagaimanapun Al Asy’ari meninggalkan faham Muktazilah, seketika golongan ini sedang berada dalam fase kemunduran dan kelemahan. Setlah al Mutawakkil membatalkan putusan al Ma’mun tentang penerimaan aliran Muktazilah sebagai mazhab negara, kedudukan kaum Muktazilah mulai menurun, apalagi setelah al Mutawakkil menunjukkan sikap penghargaan dan penghormatan kepada Ahmad bin Hanbal, lawan terbesar Muktazilah waktu itu.[6]
Pada waktu itu rakyat biasanya mengikuti mazhab yang dipakai dinasti yang berkuasa. Ini merupakan salah satu faktor penting bagi tersebarluasnya aliran Asy’ariah di dunia islam pada waktu itu. Dengan lenyapnya aliran lain, terutama aliran Muktazilah, maka aliran Asy’ariah tak memperoleh saingan untuk mempengaruhi umat islam sejak waktu itu hingga sekarang.[7] Ketika aliran Muktazilah mulai ditinggalkan para pengikutnya, aliran Asy’ariah semakin berkembang dengan pesat. Diantara faktor-faktor lain yang menguntungkan al Asy’ari dalam mengembangkan aliranya adalah:
1.    Kaum Muslimin sudah bosan mendengarkan perdebatan dan pertentangan soal Alqur’an, khususnya yang dicetuskan Muktazilah.
2.    Imam Al Asy’ari terkenal sebagai ulama yang ulung dalam perdebatan, pintar dan mempunyai ilmu yang mendalam serta terkenal sebagai orang yang shaleh dan taqwa.
3.    Sejak masa Mutawakkil (232 H) khalifah-khalifah telah meninggalkan aliran Muktazilah.
4.    Imam Asy’ari mempunyai pengikut-pengikut yang menyebarkan aliran Asy’ariah. Mereka mempunyai kedudukan yang besar di masyarakat, sehingga banyak orang yang tertarik dengan aliran Asy’ariah.
5.    Pemerintahan Bani Buwaih yang bercorak Syi’ah yang mendukung aliran Muktazilah telah digantikan pemerintahan Saljuk Turki yang bercorak Sunni dan menyokong aliran Ahlussunnah.[8]
C. Tokoh-tokoh Aliran Asy’ariah
Penyebaran aliran Asy’ariah tidak dapat dilepaskan dari para pengikutnya. Walaupun dalam kenyataanya, terdapat beberapa perbedaan pendapat antara mereka dengan Abu al Hasan al Asy’ari, akan tetapi pengaruh tokoh-tokoh tersebut dalam membawa dan mengajarkan pemikiran Asy’ariah di masyarakat sangat besar. Beberapa tokoh Asy’ariah yang terkenal dan berpengaruh, diantaranya:
1. al Baqillani
Nama lengkapnya adalah Muhammad Ibnu al Tayyib Ibnu Muhammad Abu Bakr al Baqillani. Ia memperleh ajaran-ajaran al Asy’ari dari dua muridnya, Ibnu Mujahid dan Abu al Hasan al Bahili dan wafat di Bagdad tahun 1013 M. Walaupun ia pengikut Asy’ariah, akan tetapi tidak semua pendapatnya sama dengan al Asy’ari.[9] Dalam beberapa hal, ia tidak sepaham dengan al Asy’ari. Al Baqillani tekenal cerdas, simpatik dan banyak jasanya dalam pembelaan agama. bukunya yang terkenal adalah At Tamhid yang berarti pengantar atau pendahuluan. Dalam buku ini, ia antara lain membicarakan tentang hal-hal yang perlu dipelajari sebelum memasuki teologi islam.[10]
2. Abdul Malik al Juwaini ( Imam Haramain)
Al Juwaini dilahirkan di Naisabur (Iran), setelah besar pergi ke Mu’askar dan akhirnya tinggal di kota Bagdad. Kegiatan ilmiahnya meliputi Ushul Fiqh dan teologi islam. Ia mengikuti jejak al Baqillani dan al Asy’ari dalam menjunjung tinggi kekuasaan akal pikiran, suatu hal yang menyebabkan kemarahan ahli Hadits kepadanya. Akhirnya ia meninggalkan Bagdad menuju Hijaz dan bertempat tinggal di Mekkah kemudian ke Madinah untuk memberikan pelajaran di sana. Karena itu ia mendapat gelar “Imamul Haramain yang artinya Imam kedua tanah suci, yaitu Mekkah dan Madinah. Setelah Nizamul Mulk memegang pemerintahan di Naisabur, ia diminta pulang untuk mengajar di sana.[11]
3. Abu Hamid Al Ghazali
Imam Ghazali lahir pada tahun 450 H. Pernah berguru kepada al Juwaini di Naisabur kemudian ia berkunjung kepada Nizamul Mulk di kota Mu’askar dan disini ia mendapat penghargaan dan penghormatan yang besar. pada tahun 1095 M/ 483 ia diangkat menjadi guru di sekolah Nizamiah Bagdad. Dan pekerjaanya itu dilaksanakan dengan berhasil. Selain mengajar, ia jugamengadakan bantahan-bantahan terhadap pikiran golongan batiniah, Ismailiyah, golongan filsafat dan lainya.[12] Al Ghazali adalah pengikut Asy’ariah yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat islam yang beraliran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Berlainan dengan gurunya, al Baqillani dan al Juwaini, faham teologi yang dimajukanya boleh dikatakan tidak berbeda jauh dari al Asy’ari.[13]
Selain beberapa tokoh diatas, masih banyak tokoh aliran Asy’ariah lainya seperti Abu Ishaq al Isfaraini, Abu al Qashim al Qusyairi, Ar Razi, As Sanusi, Shalahuddin al Ayyubi yang membawa aliran Asy’ariah di Mesir menggantikan aliran Syiah yang dibawa oleh dinasti Fatimiah. Muhammad Ibnu Tumart, murid al Ghazali yang kemudian mendirikan kerajaan Muwahid di Afrika Utara dan Spanyol. Dibagian timur, ajaran ini dibawa oleh Mahmud al Ghaznawi sampai ke India dan sebagianya.
  
BAB III
KESIMPULAN
Asy’ariah merupakan salah satu aliran teologi islam yang muncul sekitar tahun 300 Hijriyah. Nama Asy’ariah diambil dari nama Abu al Hasan al Asy’ari, seorang ulama cerdas yang pernah menjadi pengikut aliran Muktazilah selama 40 tahun. Ia merupakan keturunan dari Abu Musa al Asy’ari, juru runding pihak Ali bin Abi Thalib ketika peristiwa Arbitrase dengan pihak Muawiyah. Sejak Al Asy’ari memperkenalkan keyakinan barunya dan meninggalkan keyakinan lamanya, dan diwaktu yang bersamaan Khalifah al Mutawakkil membatalkan paham Muktazilah sebagai Mazhab negara, maka umat muslim waktu itu banyak yang mengikuti aliran Asy’ariah. Aliran ini banyak menyandarkan pemahaman agama terhadap wahyu (Aqur’an dan Hadits), berbanding terbalik dengan Muktazilah yang lebih mengutamakan rasio atau akal. Perkembangan Asy’ariah begitu pesat karena dibawa dan disebarkan oleh tokoh-tokoh yang berpengaruh besar di masyarakat. diantara para pengikut Asy’ariah adalah Al Baqillani, Ibnu Ishaq al Isfaraini, Abdul Malik al Juwaini (Imam al Haramain), Shalahuddin al Ayyubi, Abu al Qashim al Qusyairi, Imam Al Ghazali, Muhammad Ibnu Tumart, Ar Razi dan sebagainya.



DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Harun. 1986. TEOLOGI ISLAM Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press)
Hanafi, A. 1989. Pengantar Theology Islam, Jakarta: Pustaka Al Husna
Ahmad Hanafi. 1993. Theologi Islam, Jakarta: Bulan Bintang
Ilhamuddin. 1997. Pemikiran Kalam Al Baqillani Studi tentang persamaan dan Perbedaanya dengan Al Asy’ari, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya
Sumantri. 1999. Buku ajar ilmu kalam, Surakarta: FAI Universitas Muhammadiyah Surakarta




[1] Prof.Dr.Harun Nasution, TEOLOGI ISLAM Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1986, Cet. 5, hlm. 65
[2] A. Hanafi, M.A, Pengantar Theology Islam, Jakarta: Pustaka Al Husna, 1989, Cet. 5, hlm. 107
[3] Ahmad Hanafi, Theologi Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, hlm. 59
[4] Sumantri, Buku ajar ilmu kalam. Surakarta: FAI Universitas Muhammadiyah Surakarta, 1999, hlm. 80
[5] Prof.Dr.Harun Nasution, TEOLOGI ISLAM Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1986, Cet. 5, hlm. 67
[6] Ibid, hlm. 68
[7] Ibid, hlm. 75
[8]A. Hanafi, M.A, Pengantar Theology Islam, Jakarta: Pustaka Al Husna, 1989, Cet. 5, hlm. 106
[9] Prof.Dr.Harun Nasution, TEOLOGI ISLAM Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1986, Cet. 5, hlm. 71
[10] A. Hanafi, M.A, Pengantar Theology Islam, Jakarta: Pustaka Al Husna, 1989, Cet. 5, hlm. 111
[11] A. Hanafi, M.A, Pengantar Theology Islam, Jakarta: Pustaka Al Husna, 1989, Cet. 5, hlm. 112
[12] Ibid, hlm. 114
[13] Prof.Dr.Harun Nasution, TEOLOGI ISLAM Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1986, Cet. 5, hlm. 72