Selasa, 31 Oktober 2017

PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM IBNU MISKAWAIH

MODEL PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM IBNU MISKAWAIH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Dr. Abdullah Aly, M.Ag


Disusun Oleh:
                   Sebastian Wisnu Aji         (G000140137)
Kelas A

FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2017



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Ajaran agama telah menerangkan akan pentingnya pendidikan itu. Bahkan umat islam di wajibkan untuk menuntut ilmu hingga akhir hayatnya, Kehidupan tanpa pendidikan adalah sebuah keniscayaan. Pendidikan ada karena naluri manusia yang mempunyai potensi untuk berkembang dalam dirinya. Berkat anugerah akal dan bimbingan Ilahi manusia mampu menjadi makhluk yang terus berkembang. Maka, seiring berjalanya waktu, model pendidikan selalu berubah kearah yang lebih maju dari zaman ke zaman.
Jika menilik sejarah, pendidikan islam pada zaman Rasulullah SAW masih memakai sistem halaqoh yang di pimpin Nabi SAW sendiri, akan tetapi pada saat ini telah berdiri sekolah-sekolah dengan berbagai macam sistem pendidikan. Hal itu terjadi berkat sumbangsih pemikiran para tokoh-tokoh pendidikan islam terdahulu sejak nabi Muhammad SAW, para sahabat, dan para tokoh lainya seperti Imam ghazali, Ibnu Miskawaih, Ibnu Sina, dan tokoh lainya dari zaman klasik hingga modern seperti saat ini.
Diantara tokoh yang pemikiranya masih di pakai hingga saat ini ialah Ibnu Miskawaih. Ia banyak berbicara masalah pendidikan, terutama masalah etika (pendidikan Akhlak). Saat ini, di dunia pendidikan Indonesia, pendidikan akhlak merupakan salah satu bahan pokok pendidikan agama islam. Selain berbicara masalah materi yang diajarkan dalam pendidikan, Ibnu Miskawaih juga mempunyai pendapatnya tentang tujuan pendidikan, pendidik dan anak didik, lingkungan pendidikan dan metode pendidikan.
B.  Rumusan Masalah
1.    Apa saja karya dari ibnu Miskawaih?
2.    Apa saja pemikiran Ibnu Miskawaih?
3.    Bagaimana model pemikiran pendidikan islam Ibnu Miskawaih?
4.    Apa saja pemikiran Ibnu Miskawaih yang dapat diterapkan dalam dunia pendidikan saat ini?
C.  Tujuan
1.    Mengetahui karya-karya dari ibnu Miskawaih.
2.    Mengetahui pemikiran Ibnu Miskawaih.
3.    Mengetahui model pemikiran pendidikan islam Ibnu Miskawaih.
4.    Mengetahui pemikiran Ibnu Miskawaih yang dapat diterapkan dalam dunia pendidikan saat ini.



BAB II
PEMBAHASAN
A.  Biografi Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaih adalah seorang ahli filsafat islam yang termasuk mula-mula membicarakan akhlak. Nama yang sebenarnya adalah Ahmad bin Muhammad Ya’qub bin Miskawaih, tetapi kemudian lebih terkenal dalam dunia filsafat dengan nama Abu Ali. Tanggal lahirnya yang pasti tidak diketahui orang. Beberapa pengarang, diantaranya Margoliath menerangkan bahwa Ibnu Miskawaih lahir tahun 330 H, tetapi Dr. Abdul Aziz Azaz, profesor dalam ilmu akhlak dan pergaulan pada perguruan tinggi Fuad di Mesir, dalam bukunya mengenai pujangga ini menganggap bahwa ia lahir lima tahun lebih dahulu yaitu tahun 325 H. Ia meninggal sesudah mempunyai usia 96 tahun, pada tahun 421 H (1030 M).[1]
Memperhatikan tahun lahir dan wafatnya, miskawaih hidup pada masa pemerintahan Bani Abbas berada dibawah pengaruh Bani Buwaih yang beraliran syi’ah.[2] Pekerjaan utama Ibnu Miskawaih adalah bendaharawan, sekretaris, pustakawan, dan pendidik anak para pemuka dinasti Buwaih. Selain akrab dengan penguasa, ia juga banyak bergaul dengan para ilmuwan seperti Abu Hayyan al Tauhidi, Yahya Ibn ‘Adi dan ibnu Sina. Ibnu Miskawaih juga dikenal sebagai sejarawan besar yang kemasyhuranya melebihi pendahulunya, At Thabari. Selanjutnya ia juga dikenal sebagai dokter, penyai dan ahli bahasa. Latar belakang pendidikanya tidak terlacak secara rinci. Tetapi ditemukan keterangan, bahwa ia mempelajari sejarah dari Abu Bakr Ahmad Ibn al Qadi, mempelajari filsafat dari Ibnu Al Akhmar dan mempelajari kimia dari Abu Thayyib.[3]
Sebagai seorang filsuf, sejarawan, tabib, ilmuwan dan sastrawan, Miskawaih banyak menulis buku-buku dalam berbagai bidang keahlianya. Diantara buku-buku karanganya adalah:
1.    Kitab Al Fauz Al Ashghar, tentang ketuhanan, jiwa dan kenabian (Metafisika)
2.    Kitab Al Fauz Al Akbar, tentang etika.
3.    Kitab Thaharat An Nafs, tentang etika.
4.    Kitab Tahdzib Al Akhlaq Wa Thath-hir Al A’raq, tentang etika.
5.    Kitab tartib As Sa’adat, tentang etika dan politik, terutama mengenai pemerintahan Bani Abbas dan Bani Buwaih.
6.    Kitab Tajarib Al Umam, tentang sejarah, yang berisi peristiwa-peristiwa sejarah sejak setelah air bah Nabi Nuh hingga masa 369 H.
7.    Kitab Al Jami’, tentang ketabiban.
8.    Kitab Al Adwiyah, tentang obat-obatan.
9.    Kitab Al Asyribah, tentang minuman.
10.     Kitab Al Mustaufi, berisi kumpulan syair-syair pilihan.
11.     Kitab Jawizan Khard (Akal Abadi), membicarakan pemerintahan dan hokum yang berlaku di Arab, Persi, India dan Rumawi.
12.     Maqalat fi An Nafsi Wal ‘Aqli, tentang jiwa dan akal.[4]
B.  Pemikiran Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaih adalah orang yang representatif dalam bidang akhlak (filsafat etika) dalam islam. Sungguhpun terpengaruh dengan budaya asing, terutama Yunani, namun usahanya sangat berhasil dalam melakukan harmonisasi antara pemikiran filsafat dan pemikiran islam, terutama dalam bidang akhlak.[5] Sejumlah peneliti tampaknya sepakat bahwa pemikiran filsafat etika Ibn Miskawaih adalah harmonisasi antara pemikiran filsafat Yunani dan pemikiran Islam (termasuk didalamnya filsafat islam yang juga dipengaruhi oleh filsafat Yunani). Konsep-konsep etika dari Plato dan Aristoteles yang diramu dengan ajaran dan hukum islam serta diperkaya dengan pengalaman hidup pribadinya dan situasi zamanya adalah materi yang terdapat dalam Tahzib Al Akhlaq.[6]
Mengenai filsafat, Miskawaih tidak memberikan pengertianya. Ia hanya membagi filsafat menjadi dua bagian, yakni bagian teori dan bagian praktik. Bagian teoritik merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat mengetahui segala sesuatu (al quwwah al ‘Alimah) hingga dengan kesempurnaan ilmunya itu pikiranya benar, keyakinanya benar dan tidak ragu-ragu terhadap kebenaran. Sedang bagian praktik merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat melakukan perbuatan-perbuatan moral (al quwwah al ‘amilah). Akhir dari kesempurnaan moral adalah sampai dapat mengatur hubungan antar sesama hingga tercipta kebahagiaan hidup bersama. Jika manusia dapat memiliki dua bagian filsafat yang teoritik maupun praktik tersebut, maka ia telah memperoleh kebahagiaan yang sempurna.[7]
Miskawaih menggunakan berbagai macam argumen untuk menetapkan adanya Tuhan. Yang paling ditonjolkan adalah adanya gerak atau perubahan yang terjadi pada alam. Memperhatikan bahwa segala macam benda mempunyai sifat gerak atau berubah sesuai dengan watak pembawaan masing-masing (sifat gerak itu berbeda-beda pada benda-benda yang berbeda), maka adanya gerak yang berbeda-beda itu membuktikan adanya yang menjadi sumber gerak, Penggerak pertama yang tidak bergerak, yaitu Tuhan. Argumen ini diambil dari argumen Aristoteles.[8]Menurut Miskawaih, jiwa manusia memiliki tiga kekuatan yang bertingkat, dari tingkat yang paling yang paling rendah  disebutkan urutan sebagai berikut:
1.    An-Nafs al Bahimiyah (nafsu kebinatangan) yang buruk.
2.    An-Nafs as-Sabu’iyah (nafsu binatang buas) yang sedang.
3.    An-Nafs an-Nathiqah (jiwa yang cerdas) yang baik.[9]
Ketiga daya ini merupakan unsur rohani manusia yang asal kejadianya berbeda. An nafs al-bahimiyyat dan an nafs as-sabu’iyyat berasal dari unsur materi, sedangkan an nafs an nathiqah berasal dari ruh Tuhan. Karena kedua an nafs yang berasal dari materi akan hancur bersama hancurnya badan dan an nafs an nathiqah tidak akan mengalami kehancuran.[10]
Sebagai Bapak Etika Islam, Miskawaih dikenal juga sebagai Guru ketiga (al Mu’allim ats-Tsalits), setelah al Farabi yang digelari sebagi guru kedua (al Mu’allim Ats-Tsani) sedangkan yang dipandang sebagai guru pertama (al Mu’allim al Awwal) adalah Aristoteles. Teorinya tentang Etika secara terperinci ditulis dalam kitabnya Tahdzib al Akhlaq wa Thath-hir al A’raq (Pendidikan budi dan pembersihan watak).[11]
C.  Pemikiran Pendidikan Islam Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaih membangun konsep pendidikan pada pendidikan akhlak. Ibnu Miskawaih memandang bahwa pendidikan akhlak harus ditanamkan sejak anak usia dini karena perkembangan mental anak berevolusi, berkembang menuju kesempurnaan menyimpan pesan-pesan masa lalu dan merasuk kedalam jiwa berfikir. Oleh sebab itu, pendidikan bukan semata-mata memperdalam ilmu pengetahuan berpikir, lebih jauh dari itu, dikaji secara mendalam tentang pengaruh ilmu pengetahuan terhadap etika dan akhlak masyarakat.[12]
1.    Tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan menurut ibnu miskawaih adalah pencapaian akhlak mulia dan meraih kebaikan, kebahagiaan dan kesempurnaan hidup. Bagi Ibnu Miskawaih fungsi pendidikan adalah menanamkan akhlak mulia, memanusiakan manusia dan merupakan upaya sosialisasi individu.[13]
Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskanya adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik, sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati dan sempurna. Dengan demikian, tujuan pendidikan yang ingin dicapai Ibn Miskawaih bersifat menyeluruh, yakni mencakup kebahagiaan hidup manusia dalam arti yang seluas-luasnya.[14]
2.    Materi pendidikan Akhlak
Ibn Miskawaih menyebut tiga hal pokok menjadi materi pendidikan akhlaknya. Tiga hal tersebut adalah 1) hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia, misalnya shalat, puasa dan sa’i 2) hal-hal yang wajib bagi jiwa, misalnya mengesakan Allah Swt. serta motivasi senang kepada ilmu dan 3) hal-hal yang wajib bagi hubunganya dengan sesama manusia misalnya ilmu muamalat, pertanian, perkawinan, saling menasehati, peperangan dan sebagainya. Ketiga materi pokok tersebut dapat diperoleh dari ilmu-ilmu yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pemikiran (al ‘ulum al fikriyah) dan kedua, ilmu yang berkaitan dengan indera (al ‘ulum al bissiyat).[15]
3.    Pendidik dan anak didik
Pendidik dalam hal ini guru, instruktur, ustadz atau dosen memegang peranan penting dalam keberlangsungan kegiatan pengajaran dan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan. Sedangkan anak didik yang selanjutnya disebut murid, siswa, peserta didik atau mahasiswa merupakan sasaran kegiatan pengajaran dan pendidikan merupakan bagian yang perlu mendapatkan perhatian yang seksama. Perbedaan anak didik dapat menyebabkan terjadinya perbedaan materi, metode, pendekatan, dan sebagainya. Orang tua merupakan pendidik yang pertama bagi anak-anaknya dengan syari’at sebagai acuan utama materi pendidikanya. Kegiatan ini harus dilandasi dengan hubungan yang harmonis dan cinta kasih. Guru berfungsi sebagai orangtua atau bapak rohani, orang yang dimuliakan yang diberikan adalah kebaikan Ilahi.[16]
4.    Lingkungan pendidikan
Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan kondisi yang baik dari luar dirinya. Selanjutnya ia menyatakan bahwa sebaik-baik manusia adalah orang yang berbuat baik terhadap keluarga dan orang-orang yang masih ada kaitan denganya mulai dari saudara, anak atau orang yang masih ada hubungan denganya. Untuk mencapai keadaan lingkungan yang demikian itu, perlu ada political will dari pemerintah. Kepala negara dan aparatnya mempunyai kewajiban untuk menciptakanya. Agama dan negara merupakan dua saudara yang saling melengkapi, satu dengan yang lainya saling menyempurnakan. Cinta kasih kepala negara (pemimpin terhadap) rakyatnya semisal cinta kasih orangtua terhadap anak-anaknya. Terhadap pemimpin demikian, rakyat wajib mencintainya semisal cinta anak terhadap orangtuanya.[17]
5.    Metodologi pendidikan
Menurut ibnu Miskawaih, syariat agama merupakan faktor penentu bagi lurusnya karakter manusia, karena rujukan utamanya adalah Alqur’an dan Hadis. Mendidik haruslah berlandaskan pada psikologi. Dan bahwa orientasi pendidikan adalah pada anak (child-centered). Ia menyebutkan beberapa metode, yaitu metode alami (tabi’iy), metode sanksi yang berjenjang mulai dari ancaman, hardikan, hukuman sampai pukulan. Namun demikian, Ibnu Miskawaih lebih mengutamakan metode nasihat atau tuntunan, sanjungan dan pujian daripada jalan kekerasan. Baginya mendidik itu hendaknya dilakukan berdasarkan asas-asas pendidikan yang tepat.[18]
Sedangkan beberapa metode yang diajukanya untuk mencapai akhlak yang baik adalah pertama, adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih terus-menerus dan menahan diri (al’adat wa al jihad) untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya sesuai dengan keutamaan jiwa. Kedua, dengan menjadikan semua pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai cermin bagi dirinya.[19]
D.  Ide Pengembangan
Banyak pemikiran Ibnu Miskawaih yang masih relevan dengan dunia pendidikan saat ini. Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kesempurnaan akhlak. Saat ini banyak pelajar maupun siswa yang melakukan perbuatan amoral, hal itu semakin memperburuk generasi bangsa. Untuk mengatasi kemerosotan moral, sekolah dapat menerapkan pendidikan akhlak baik dalam hal teori teori maupun praktek.

DAFTAR PUSTAKA


Abu, Bakar Aceh. 1991. Sejarah filsafat Islam, Solo: Ramadhani
Basyir, Ahmad Azhar. 1983. MISKAWAIH Riwayat Hidup dan Pemikiran Filsafatnya, Yogyakarta: Nur Cahaya
Duryat, Masduki. 2016. Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Penguatan Pendidikan Agama Islam Di Institusi Yang Bermutu Dan Berdaya Saing, Bandung: Alfabeta
Al Miskawaih, Abu Ali Akhmad. 1985. Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku daras pertama Tentang Filsafat Etika Terjemahan Oleh Helmi Hidayat. 1994. Bandung: Mizan
Basri, Hasan. 2009. filsafat pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia
Assegaf, Abd. Rachman. 2011. Filsafat Pendidikan Islam: Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integrative, Jakarta: Rajawali pers




                [1] Prof. Dr. Abu Bakar Aceh, Sejarah filsafat Islam, (Solo: Ramadhani, 1991), hlm. 170
                [2]Ahmad Azhar Basyir, MISKAWAIH Riwayat Hidup dan Pemikiran Filsafatnya,(Yogyakarta: Nur Cahaya, 1983), hlm. 2
                [3] Dr. Masduki Duryat, M.PdI, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Penguatan Pendidikan Agama Islam Di Institusi Yang Bermutu Dan Berdaya Saing, (Bandung: Alfabeta, 2016), hlm. 18
                [4] Ahmad Azhar Basyir, MISKAWAIH Riwayat Hidup dan Pemikiran Filsafatnya, (Yogyakarta: Nur Cahaya, 1983), hlm. 4-5 yang mengutip dari Tarikh falasifat al Islam karya, M. Lithfi Jum’ah, Tarikh Al Fikr Al Arabi karya Umar Farukh dan A History of muslim philosophy karya M.M Syarief.
                [5] Helmi Hidayat, Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku daras pertama Tentang Filsafat Etika,(Bandung: Mizan, 1994), hlm. 14 yang diterjemahkan dari Tahdzib al Akhlak karya Abu Ali Akhmad Al Miskawaih terbitan Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyyah, Lebanon, Beirut, 1985 M.
                [6] Drs. Hasan basri, M.Ag, filsafat pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm. 230
                [7] Ahmad Azhar Basyir, MISKAWAIH Riwayat Hidup dan Pemikiran Filsafatnya, (Yogyakarta: Nur Cahaya, 1983), hlm.6-7
                [8]Ibid, hlm. 8
                [9]Ibid, hlm. 11
                [10] Dr. Masduki Duryat, M.PdI, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Penguatan Pendidikan Agama Islam Di Institusi Yang Bermutu Dan Berdaya Saing, (Bandung: Alfabeta, 2016), hlm. 18-19
                [11] Ahmad Azhar Basyir, MISKAWAIH Riwayat Hidup dan Pemikiran Filsafatnya, (Yogyakarta: Nur Cahaya, 1983), hlm. 14
                [12] Drs. Hasan basri, M.Ag, filsafat pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), Hlm. 231
                [13] Prof. Dr. Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam: Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integrative, (Jakarta: Rajawali pers, 2011), Hlm. 7
                [14] Dr. Masduki Duryat, M.PdI, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Penguatan Pendidikan Agama Islam Di Institusi Yang Bermutu Dan Berdaya Saing, (Bandung: Alfabeta, 2016), hlm 19
                [15] Ibid, hlm 19-20
                [16] Ibid, hlm. 20
                [17] Dr. Masduki Duryat, M.PdI, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Penguatan Pendidikan Agama Islam Di Institusi Yang Bermutu Dan Berdaya Saing, (Bandung: Alfabeta, 2016), hlm 20-21
                [18] Prof. Dr. Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam: Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integrative, (Jakarta: Rajawali pers, 2011), Hlm. 7
                [19] Dr. Masduki Duryat, M.PdI, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Penguatan Pendidikan Agama Islam Di Institusi Yang Bermutu Dan Berdaya Saing, (Bandung: Alfabeta, 2016), hlm 21

Tidak ada komentar:

Posting Komentar