SHALAT JAMA’, QASHAR DAN SHALAT DALAM KEADAAN DARURAT
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Fiqih
Dosen Pengampu: Maria Ulfa, S.PdI, M.Pd
Disusun Oleh:
Ngadino (G000140019)
Sebastian Wisnu Aji (G000140137)
Zulfikar Al Muhammady (G0001401 )
Kelas
C
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Shalat merupakan salah satu Rukun Islam yang wajib dilaksanakan
oleh setiap muslim, baik muslim yang sehat maupun sakit. Shalat wajib atau Fardhu tidak dapat
ditinggalkan maupun diwakilkan. Seseorang yang sudah memenuhi syarat untuk
melaksanakan shalat fardu, maka shalat adalah haram hukumnya untuk ditinggalkan
dalam keadaan bagaimanapun. Akan tetapi Allah Swt. memberikan rukhsah
(keringanan) kepada umat islam dalam kedaaan tertentu untuk meringankan
pelaksanaan shalat.
Diantara keringanan yang diberikan Allah Swt. kepada hambanya
adalah dengan memperbolehkan mengqashar dan menjama’ shalat bagi orang yang
bepergian (Musafir). Selain memberikan keringanan kepada orang musafir, Allah
Swt. juga memberikan keringanan kepada orang yang sedang sakit, orang yang
berada dalam kendaraan serta orang yang sedang berada dalam bahaya.
Keringanan-keringanan tersebut merupakan pemberian dari Allah Swt. Semuanya
pernah diajarkan dan diamalkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Didalam kehidupan masyarakat, ternyata masih banyak orang yang
belum memahami tentang pelaksanaan shalat dalam keadaan tertentu. Banyak orang
rela meninggalkan shalatnya hanya karena sedang sakit parah, sedang bepergian
maupun saat yang lainya. Hal itu salah satunya disebabkan oleh kurangnya
pemahaman sebagian masyarakat tentang shalat jama’, shalat qashar dan shalat
dalam keadaan darurat.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian shalat Jama’ dan Qashar ?
2.
Apa
saja dalil yang melandasi pelaksanaan shalat Jama’ dan Qashar serta shalat
dalam keadaan darurat?
3.
Bagaimana
tata cara pelaksanaan Shalat Jama’ dan Qashar ?
4.
Bagaimana
tata cara shalat dalam keadaan sakit ?
5.
Bagaimana
tata cara shalat saat berada dalam kendaraan ?
6.
Bagaimana
tata cara shalat dalam keadaan bahaya (khauf) ?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
pengertian Shalat Jama’ dan Qashar.
2.
Mengetahui
dalil-dalil yang melandasi pelaksanaan shalat Jama’, Qashar dan shalat dalam
keadaan darurat.
3.
Mengetahui
tata cara pelaksanaan shalat jama’ dan qashar.
4.
Mengetahui
tata cara shalat dalam keadaan sakit.
5.
Mengetahui
tata cara shalat saat berada dalam kendaraan.
6.
Mengetahui
tata cara shalat dalam keadaan bahaya (khauf).
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sholat Jama’
1.
Pengertian
Shalat Jama’
Jama’ berasal dari bahasa Arab yang berarti “mengumpulkan”.
Sedangkan yang dimaksud dengan shalat jama’ adalah mengumpulkan shalat. Artinya
mengerjakan dua shalat fardlu yang lima dalam satu waktu. Misalkan, shalat
Dzuhur dan Ashar dekerjakan pada waktu Dzuhur atau sebaliknya yaitu pada waktu
Ashar.[1]
2.
Dasar
hukum shalat Jama’
Hadits Nabi SAW :
Artinya: “Bahwa
Rasulullah Saw. jika berangkat dalam bepergiannya sebelum tergelincir
matahari, beliau mengakhirkan shalat Dzuhur ke waktu shalat Ashar;
kemudian beliau turun dari kendaraan kemudian beliau menjamak dua shalat
tersebut. Apabila sudah tergelincir matahari sebelum beliau berangkat, beliau
shalat dzuhur terlebih dahulu kemudian naik kendaraan. [Muttafaq
‘Alaih].
عَنْ مُعَاذٍ
قَلَ خَرَجْنَامَعَ رَسُوْلِ الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ فِي غُزْوَةِ
تَبُوكَ فَكَانَ يُصَلِّي الظُّهْرَ وَالعَصْرَ جَمِيْعًا وَالمَغْرِبَ
وَالعِشَاءَجَمِيعًا (رواه مسلم)
Artinya : Dari
Mu’adz r.a berkata : “Kami keluar bersama Nabi SAW, pada waktu terjadi perang
Tabuk. Ketika itu beliau mengerjakan shalat dzuhur dan ashar dengan jama’.
Maghrib dengan isya’ pun dengan jama’ (HR. Muslim)
Dari kedua
sumber hukum di atas menunjukkan keterangan dibolehkannya mengerjakan shalat
dengan jama’ antara dua shalat fardlu khususnya bagi musafir. Baik dengan jama’
ta’khir maupun jama’ taqdim.
Keterangan :
a. Jama’ ta’khir adalah mengerjakan shalat dzuhur dengan ashar dikerjakan
pada waktu ashar atau maghrib dengan isya’ dikerjakan waktu isya’.
b. Jama’ taqdim adalah mengerjakan shalat dzuhur dengan ashar dikerjakan
pada waktu dzuhur atau maghrib dengan isya’ dikerjakan pada waktu maghrib.
c. Para ulama’ sepakat bahwa menjama’ shalat juga merupakan rukhsah,
keringanan dari Allah SWT.[2]
3.
Cara
Melaksanakan Jama’ shalat
Cara melaksanakan shalat jama’ yang dilaksanakan pada akhir waktu
(Jama’ takhir) secara tegas tidak ditentukan, apakah dhuhur dulu baru asar
ataukah sebaliknya. Demikian pula dengan shalat malam, apakah magrib dulu baru
isya’ maupun sebaliknya. Kedua hadits yang diriwayatkan dari anas bin Malik dan
Muadz bin Jabal, tidak kita dapati pengertian bagaimana cara melaksanakan
shalat jama’. Dengan demikian, jama’ takhir itu dapat dilakukan Dhuhur dulu
baru Asar maupun sebaliknya jika melakukan shalat jama’ takhir Dhuhur dan Asar.
Bila melakukan shalat jama’ takhir antara Magrib dan Isya’, maka boleh
mendahulukan Magrib dulu baru Isya, maupun sebaliknya.[3]
4.
Sebab-sebab
diperbolehkannya menjama’ shalat
a. Karena berada di Arafah dan Muzdalifah (ketika haji)
Ketika sedang haji di Arafah, di Mina dan
Muzdalifah. Tetapi sebagian ulama hanya memperbolehkan shalat qashar, tidak
dijama’, karena sebagian haditsnya hanya menyebutkan di Mina 2 rakaat (Mutafaq
Alaih, dari Ibnu Umar dan Abdurrahman bin Yazid ra) tapi sebagiannya lagi
berpendapat jama’ dan qashar karena dalam hadits lain menyebutkan selama haji
10 hari di Makkah, Nabi SAW mengerjakan 2 rakaat – 2 rakaat hingga kembali ke
Madinah (mutafaq Alayh, dari Anas ra) Jama’ taqdim dilakukan ketika berada di
Arafah, sedangkan jama’ ta’khir dilakukan ketika berada di Muzdalifah.
b. Karena dalam safar (bepergian)
Ketika bepergian jauh
sebagai musafir (HR. Abu Dawud, dari Muadz bin Jabal) termasuk ketika akan
pergi jauh untuk berperang. Hal ini didasarkan pada laporan Anas bin Malik ra
bahwa : Saya pernah shalat dzuhur bersama Rasulullah SAW di Madinah empat
rakaat, dan saya shalat Ashr bersama beliau di Dzul- Hulayfah dua rakaat.
c. Karena hujan
Dasarnya adalah hadits
dari Ibnu Abbas ra bahwa : “Rasulullah SAW pernah menjama’ shalatnya antara
Dzuhur dengan ashar dan antara Maghrib dengan isya’ di Madinah dalam keadaan
tidak takut dan tidak hujan.” (HR.
Jamaah kecuali al-Bukhari sebagian riwayat menyebutkan “dalam keadaan tidak
takut dan tidak safar.” (HR. Muslim, 2/151: 1662; Abu Dawud, Al Nasai, dll)
sehingga komentar Malik (1/144: 330) bahwa “menurut saya, waktu itu sedang
hujan” sedangkan al-Bukhari (2/374:510 memuat komentar Ayyub ”mungkin
waktu itu pada malam yang hujan”).
d. Karena sakit atau udzur yang menuntut istirahat total, atau keadaan lain
yang benar – benar menyulitkan.
Dasar yang digunakan oleh mayoritas ulama’ sama
dengan dalil sebelumnya yakni : Rasulullah SAW pernah menjama’ shalatnya dalam
kondisi takut, tidak hujan, atau tidak safar (HR. Muslim, 2/151: 1662-1663, Abu
Dawud, al-Nasai, dari Ibn ‘Abbas ra).
Meskipun ada dalil yang membolehkan
shalat Jama’ tanpa uzur, akan tetapi dianjurkan untuk tetap shalat pada
waktunya masing-masing. Perlu dicatat dalam hadits tentang jama’ shalat bukan
dalam perjalanan itu tidak dilakukan dengan qashar, jadi hanya jama’ saja. Ada
yang berpendapat bahwa jama’ yang dimaksud dalam hadits itu adalah mengerjakan
shalat Dhuhur maupun magrib pada akhir waktu dan melakukan shalat berikutnya,
yaitu Asar dan Isya’ diawal waktu (shuri). Dalam melakukan jama’ bukan dalam
perjalanan ini kalau kemantapan kebolehanya jangan dijadikan kebiasaan, karena
hanya karena keinginan. Jadi hanya dalam keadaan yang sangat memerlukan seperti
orang sakit, takut mengalami madharat apabila tidak melakukan jama’.[4]
e. Karena hajat (ada keperluan).
B.
Sholat Qashar
1.
Pengertian
Shalat Qasar
Qashar berasal dari bahasa arab yang artinya
“pendek” atau “ringkas”. Sedangkan yang dimaksud dengan shalat qashar adalah :
shalat yang diringkas, yaitu diantara shalat fardlu yang lima yang mestinya
empat rakaat diringkas menjadi dua rakaat. Jadi shalat yang boleh diqashar
adalah shalat dzuhur dan ashar dan isya’. Sedangkan shalat subuh dan maghrib
tidak dapat diqashar.[5]
2.
Dasar hukum
Shalat Qashar
`tBur öÅ_$pkç Îû È@Î6y «!$# ôÅgs Îû ÇÚöF{$# $VJxîºtãB #ZÏWx. Zpyèyur 4 `tBur ólãøs .`ÏB ¾ÏmÏF÷t/ #·Å_$ygãB n<Î) «!$# ¾Ï&Î!qßuur §NèO çmø.Íôã ßNöqpRùQ$# ôs)sù yìs%ur ¼çnãô_r& n?tã «!$# 3 tb%x.ur ª!$# #Yqàÿxî $VJÏm§ ÇÊÉÉÈ #sÎ)ur ÷Läêö/uÑ Îû ÇÚöF{$# }§øn=sù ö/ä3øn=tæ îy$uZã_ br& (#rçÝÇø)s? z`ÏB Ío4qn=¢Á9$# ÷bÎ) ÷LäêøÿÅz br& ãNä3uZÏFøÿt tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿx. 4 ¨bÎ) tûïÍÏÿ»s3ø9$# (#qçR%x. ö/ä3s9 #xrßtã $YZÎ7B ÇÊÉÊÈ
Artinya : Apabila
kamu berjalan jauh di bumi, maka tidak menngapa
kamu mengqashar shalat, jika kamu khawatir akan diganggu oleh
orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu adalah musuh yang
nyata bagi kamu.(Q.S An-Nisa (4) : 100)
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah Mengapa kamu
men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir.
Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.
Menurut pendapat Jumhur arti qashar di sini
ialah: sembahyang yang empat rakaat dijadikan dua rakaat. Mengqashar di sini
ada kalanya dengan mengurangi jumlah rakaat dari 4 menjadi 2, yaitu di waktu
bepergian dalam keadaan aman dan ada kalanya dengan meringankan rukun-rukun
dari yang 2 rakaat itu, yaitu di waktu dalam perjalanan dalam keadaan khauf.
dan ada kalanya lagi meringankan rukun-rukun yang 4 rakaat dalam keadaan khauf
di waktu hadhar.
Sabda
Nabi SAW :
عَنْ عَائِشَةَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ الصَّلَاةُ أَوَّلُ مَافُرِضَتْ رَكْعَتَيْنِ
فَأُقِرَتْ صَلَاةً السَّفَرَوَأًتِمَّتْ صَلَاةُ الْحَضَرِ (متفق عليه)
Artinya
: Dari Aisyah r.a berkata : pertama kali diwajibkan shalat itu dua rakaat.
Kemudian ia ditetapkan pada shalat shaffar dan disempurnakan shalatnya orang yang
tidak bepergian (Mutafaq Alaih)
Dari
ayat dan hadist di atas menunjukkan bolehnya mengqashar (meringkas) shalat bagi
orang bepergian. Para ulama’ bersepakat bahwa orang musafir boleh mengqasahar
shalat itu merupakan suatu keringanan dari Allah. Dalam hal ini, para ulama
berbeda pendapat masalah berapa jarak yang ditempuh seorang musafir, sehingga
diperbolehkan untuk mengqashar shalat. Ada yang berpendapat bahwa boleh
mengqashar shalat jika sudah bepergian dengan jarak minimal 1 farsakh, ada juga
yang berpendapat 3 farsakh bahkan ada yang sampai 16 farsakh.
Jika
jarak 1 mil = 1847 meter, maka minimal jarak tempuh untuk 3 mil adalah 3 x 1847
meter = 5541 meter = 1 farsakh. Tetapi hadits lain yang biasa dijadikan
pendukung 1 farsakh atau 3 mil ini sangat lemah sehingga tidak bisa dijadikan
sebagai hujjah sehingga lebih aman dan hati-hati jika memilih jarak minimal 3
farsakh atau 16.623 meter. Tetapi menurut mayoritas ulama seperti Al Bukhari,
Imam Syafi’i, Malik, Ahmad dan lainya, bahwa jarak minimal yang diperbolehkan
bagi musafir untuk menqashar shalatnya adalah perjalanan sehari semalam dengan
jarak minimal 4 burud (1 burud = 4 farsakh) atau setara dengan 16 farsakh
(88.656 Km) dan dibulatkan menjadi 89 Km.[6]
3.
Cara
melaksanakan shalat Qashar
Bila seorang ingin mengqashar shlalat, maka shalat yang berjumlah
empat rakaat hanya dikerjakan dalam dua rakaat saja. Caranya tidak berbeda
dengan shalat-shalat wajib lainnya, hanya saja pada akhir rakaat kedua langsung
membaca atau Tsyahud akhir dan kemudian salam.
Menjama’ dan menqashar shalat termasuk rukhsah (kelonggaran/ keringanan)
yang deiberikan oleh Allah kepada hambanya karena adanya kondisi yang
menyullitkan bila shalat dilakukan dalam keadaan biasa. Rukhsah ini merupakan
shadaqah dari Allah yang sangat dianjurkan untuk diterima dengan penuh
ketawadlu’an.
C.
Sholat Dalam Keadaan Darurat
1.
Sholat
dalam keadaan sakit
Barangsiapa berhalangan karena sakit hingga ia tak dapat berdiri
mengerjakan shalat fardhu, maka ia diperbolehkan shalat dengan duduk. Bila
tidak mampu mengerjakan dengan duduk, maka ia diperbolehkan shalat dengan
berbaring. Cara pelaksanaan shalatnya adalah di waktu ruku’ dan sujud cukuplah
dengan menundukkan kepala. Hanya saja pada waktu sujud hendaklah menundukkan
kepala itu lebih rendah daripada waktu ruku’. Firman Allah Swt:
tûïÏ%©!$# tbrãä.õt ©!$# $VJ»uÏ% #Yqãèè%ur 4n?tãur öNÎgÎ/qãZã_ tbrã¤6xÿtGtur Îû È,ù=yz ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur $uZ/u $tB |Mø)n=yz #x»yd WxÏÜ»t/ y7oY»ysö6ß $oYÉ)sù z>#xtã Í$¨Z9$# ÇÊÒÊÈ
Artinya:
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah
sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan
tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami,
Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka
peliharalah Kami dari siksa neraka.
Jadi mengenai cara
shalat orang yang tak dapat berdiri atau duduk, ialah dengan berbaring, dan
kalau tidak bisa berbaring, maka sambil terlentang dengan kedua kaki diarahkan
ke kiblat sekedar kemampuanya. Dan inilah yang dianggap paling baik.[7]
Hadits Nabi SAW: Dari Umran bin Husayyin, katanya: saya menderita penyakit
bawasir, lalu saya tanyakan kepada Nabi SAW: bagaimana caranya shalat? Jawab
beliau: Shalatlah dengan berdiri, jikalau tidak dapat hendaklah dengan duduk
dan jikalau tidak dapat juga maka dengan berbaring (H.R Jama’ah kecuali Muslim).
2.
Sholat
diatas kendaraan
Dibolehkan mengerjakan
shalat Fardhu diatas kendaraan, walaupun kendaraan itu berjalan secara tidak
beraturan atau berubah arah seperti
kapal dan sebagainya. Maka apabila tidak dapat dilakukan dengan berdiri karena
keadaan yang tidak mengijinkan, maka shalat dapat dilakukan dengan duduk. Hal
itu di dasarkan pada hadits Nabi Saw:
Dari
Maimunah bin Muhran, dari Ibnu Umar, ia berkata:Nabi SAW pernah ditanya:
Bagaimana caranya aku shalat diperahu? Ia menjawab: Shalatlah di perahu dengan
berdiri, kecuali apabila kamu takut tenggelam. (H.R Daruqtni dan Al hakim)
Shalat diatas kendaraan boleh
dilakukan dengan menghadap kearah mana saja sesuai dengan arah tujuan kendaraan
dengan berdiri. Jika tidak bisa berdiri, maka bisa dilakukan menurut keadaan
yang memungkinkan. Perahu dan unta bisa disamakan dengan kereta api, mobil
motor kapal terbang dan sebagainya.[8]
3.
Sholat
Khauf (dalam keadaan bahaya)
Shalat khauf adalah
shalat dikala kita menghadapi ketakutan baik dikala menghadapi musuh atau
diserang musuh.[9]
Menurut Imam Ahmad, mengenai shalat khauf ini ada enam atau tujuh hadits yang
memuat tata cara palaksanaanya. Ibnul Qayyim mengatakan bahwa pada dasarnya ada
enam cara yang dapat dijadikan sebagai panduan, tetapi sebagian ulama
memperbanyak tata cara pelaksanaanya hingga melebihi enam tata cara
pelaksanaan. Yang menyebabkan terjadi demikian karena jika ada perbedaan
sedikit dalam redaksi riwayat, hal itu dianggap sebagai suatu cara tersendiri.[10]
a.
Cara
shalat khauf sendirian
Jika kita hendak melakukan shalat khauf sendirian, dibolehkan kita
melakukan sebagaiman biasa yakni mengerjakan dua rakaat. Dan jika kita telah
sangat takut, hendaklah dikerjakan yang satu rakaat menurut kemungkinan yang
ada, yakni: sambil berjalan atau berkendaraan baik menghadap kiblat atau tidak.
Rukun-rukun shalat khauf boleh dikerjakan dengan isyarat saja (isyarat mata
atau kepala atau hati).[11]
Firman Allah:
÷bÎ*sù óOçFøÿÅz »w$y_Ìsù ÷rr& $ZR$t7ø.â ( !#sÎ*sù ÷LäêYÏBr& (#rãà2ø$$sù ©!$# $yJx. Nà6yJ¯=tæ $¨B öNs9 (#qçRqä3s? cqãKn=÷ès? ÇËÌÒÈ
Artinya: “Jika kamu dalam Keadaan takut (bahaya), Maka Shalatlah
sambil berjalan atau berkendaraan. kemudian apabila kamu telah aman, Maka
sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa
yang belum kamu ketahui.”
b.
Cara
shalat khauf secara berjama’ah
Bila kita hendak melakukan shalat khauf secara berjama’ah maka
sifatnya (caranya) adalah menurut apa yang telah diterangkan oleh Alqur’an dan
perbuatan Rasulullah SAW sendiri. Rasulullah SAW telah memberikan beberapa contoh
bagaimana malakukan shalat khauf dengan berjama’ah. Diantaranya adalah ada yang
dikerjakan dengan dua rakaat dan ada pula yang dikerjakan dengan satu rakaat
saja.[12]
Dari Jabir ia berkata: “Aku pernah mengikuti shalat khauf bersama
Rasulullah SAW, kemudian beliau mengatur barisan kami menjadi dua shaf di
belakangnya, sementara musuh berada diantara kami dan diarah kiblat. Kemudian
Rasulullah SAW takbir dan kamipun takbir semuanya, lalu Rasulullah SAW ruku’
dan kamipun ruku’ bersama. kemudian Rasulullah SAW mengangkat kepalanya dari
ruku’ lalu kamipun mengangkat kepala kami semuanya. Kemudian Rasulullah SAW
turun hendak sujud dan diikuti oleh shaf yang pertama, sedangkan shaf yang
kedua tetap berdiri menghadap musuh, lalu setelah Nabi SAW selesai sujud
bersama shaf yang pertama, maka shaf kedua maju dan shaf pertama mundur,
kemudian nabi SAW ruku’dan kamipun ruku’ semuanya. Kemudian Nabi SAW mengangkat
kepalanya dari ruku’ dan kamipun mengangkat kepala semuanya. Kemudian Nabi SAW
turun sujud bersama shaf yang dibelakangnya (yaitu shaf yang kedua dalam rakaat
yang pertama sedangkan shaf yang kedua berdiri kearah dan jurusan musuh, maka
tatkala Nabi SAW selesai sujud lalu mereka (shaf pertama dan kedua ikut sujud
kemudian Nabi SAW salam dan kamipun salam semuanya. (HR. Ahmad, Muslim, Ibnu
Majah dan Nasa’i).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Shalat jama’ adalah menggabungkan atau mengerjakan dua shalat
fardhu dalam satu waktu shalat, yaitu dhuhur dengan ashar dan magrib dengan
isya’. Apabila mengerjakan shalat jama’ antara dhuhur dengan asar di waktu
dhuhur, magrib dengan isya’ di waktu magrib maka disebut jama’ taqdim. Jika
sebaliknya, yakni menjama’ shalat dhuhur dan asar di waktu asar dan magrib
dengan isya’ diwaktu isya’, maka dinamakan jama’ takhir. Sedangkan shalat
subuh, tidak boleh dijama’ dengan shalat apapun. Beberapa penyebab
diperbolehkanya melaksanakan shalat jama’ adalah Karena berada di Arafah dan
Muzdalifah (ketika haji), Karena dalam safar (bepergian), Karena hujan, Karena
sakit atau udzur dan Karena hajat (ada keperluan).
Shalat qashar adalah meringkas shalat yang empat rakaat menjadi dua
rakaat saja. Shalat yang boleh di qashar adalah shalat Dhuhur, Asar dan Isya’,
sedangkan shalat subuh dan magrib tidak dapat di qashar. Shalat qashar
merupakan keringanan yang diberikan oleh Allah Swt. kepada orang yang sedang
dalam bepergian (musafir).
Selain shalat jama’ dan qashar, Allah Swt. juga memberikan
keringanan kepada umat islam. bagi orang yang sakit dan tidak dapat mengerjakan
shalat dengan berdiri, maka diperbolehkan mengerjakan shalat dengan duduk, dan
jika tidak bisa maka boleh dengan berbaring. Bagi orang yang sedang berada di
atas kendaraan yang berjalan dan tak tentu arahnya, diperbolehkan untuk
mengerjakan shalat dengan berdiri, jika tidak memungkinkan maka boleh dilakukan
dengan duduk sesuai dengan arah kendaraan melaju, walaupun berubah arahnya.
Bagi orang yang sedang berperang maupun sedang berada dalam ketakukan, maka
boleh melakukan shalat sendiri maupun shalat berjama’ah. Shalat khauf boleh
dilakukan diatas kendaraan menggunakan isyarat saja, boleh shalat satu atau dua
rakaat. Sedangkan jika berjama’ah maka ada beberapa cara yang dapat digunakan
sesuai dengan hadits Nabi SAW.
DAFTAR PUSTAKA
Tim LPIK UMS. 2014. Serial Al
Islam dan Kemuhammadiyahan AL UBUDIYAH, Surakarta: Lembaga Pengembangan Al
Islam dan Kemuhammadiyahan (LPIK) Universitas Muhammadiyah Surakarta
Tim Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 2003. Fatwa-fatwa Tarjih: Tanya Jawab Agama 1,
Yogyakarta: Suara Muhammadiyah
Tim Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 2004. Fatwa-fatwa Tarjih: Tanya Jawab Agama 3,
Yogyakarta: Suara Muhammadiyah
PP Muhammadiyah. 2014. Himpunan
Putusan Tarjih, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah
Jamaluddin, Syakir. 2013. Shalat
Sesuai Tuntunan Nabi Saw mengupas kontroversi hadits sekitar shalat,
Yogyakarta: LPPI UMY
Sayyid Sabiq. 2006. Fiqih Sunnah,
Jakarta: Pena Pundi Aksara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar