Jumat, 11 Desember 2015

Hakikat Pengetahuan



HAKIKAT PENGETAHUAN

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Dr. H. M. Abdul Fattah Santoso, M.Ag











Disusun oleh:
SEBASTIAN WISNU AJI  (G000140137)
KELAS C
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
            Manusia dibekali akal dan pikiran sehingga manusia memiliki pengetahuan yang tidak di miliki oleh makhluk lain di dunia ini. Pengetahuan memang identik dengan ilmu, tak jarang para ilmuwan sering menggunakan kedua kata tersebut secara bersamaan maupun berdampingan. Mengenai pengertian pengetahuan, terdapat banyak sekali pendapat beberapa ahli, baik ahli filsuf barat ataupun filsuf muslim. Para ilmuwan barat mayoritas berpendapat bahwa pengetahuan itu hanya pada sesuatu yang dapat di buktikan dengan indera, tetapi para ilmuwan muslim, beranggapan bahwa pengetahuan itu tidak hanya terbatas pada hal yang bisa di indera saja, tetapi hal yang tak bisa di indera pun bisa dinamakan pengetahuan jika diterangkan dalam wahyu.
Di dalam perspektif islam, banyak ayat Al qur’an yang menerangkan tentang pengetahuan mengenai alam ini, terdapat pula perintah agar manusia menggunakan akalnya untuk memahami kekuasaan Allah SWT. Kemajuan teknologi saat ini dihasilkan dari pengetahuan yang di ciptakan manusia melalui usahanya, tentu saja berkat kemampuan manusia itu sendiri dalam memahami isi Al Qur’an. Banyak ilmuwan islam yang telah menyumbangkan pengetahuanya dalam memajukan agamanya, seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Imam Ghazali dan lain sebagainya. Biar bagaimanapun pengetahuan akan selalu berkembang dan akan ada pengetahuan-pengetahuan baru di masa yang akan datang.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian pengetahuan menurut perspektif islam?
2. Apa sumber pengetahuan?
3. Bagaimana metode untuk mendapatkan pengetahuan dan cara kerjanya?
4. Apa hakikat pengetahuan?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian pengetahuan menurut perspektif islam.
2. Mengetahui sumber pengetahuan.
3. Mengetahui  metode untuk mendapatkan pengetahuan dan cara kerjanya.
4. Mengetahui hakikat pengetahuan.


BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian pengetahuan dan Hakikat Pengetahuan
Pengetahuan (knowledge) adalah sesuatu yang diketahui langsung dari pengalaman, berdasarkan panca indra, dan diolah oleh akal budi secara spontan. Pengetahuan masih pada tataran inderawi dan spontanitas, belum ditata melaui metode yang jelas. Pada intinya, pengetahuan bersifat spontan, subjektif dan intuitif. Pengetahuan berkaitan erat dengan kebenaran, yaitu kesesuaian antara pengetahuan yang dimiliki manusia dengan realitas yang ada pada objek. Namun, kadang-kadang kebenaran yang ada dalam pengetahuan masih belum tertata rapi, belum teruji secara metodologis. Orang melihat gunung meletus, itu pengetahuan. Orang merasakan gempa, lalu lari tunggang langgang ke luar rumah, itu pengetahuan. Pengetahuan masih sering bercampur dengan insting.
Ilmu (sains) berasal dari bahasa latin scientin yang berarti knowledge. Ilmu dipahami sebagai proses penyelidikan yang berdisiplin tertentu. Ilmu bertujuan untuk meramalkan dan memahami gejala-gejala alam. Meramalkan tidak lain sebuah proses. Meramalkan bisa saja melalui penafsiran. Ilmu sebenarnya juga sebuah pengetahuan, namun telah melalui proses penataan yang sistematis. Ilmu telah memiliki metodologi yang andal. Ilmu dan pengetahuan sering kali dikaitkan, hingga membentuk dunia ilmiah. Gabungan ilmu dan pengetahuan selalu terjadi di ranah penelitian apapun. Ilmu tanpa pengetahuan tentu sulit terjadi. Pengetaahuan yang disertai ilmu, jelas akan lebih esensial.
Ilmu pengetahuan ialah ilmu pengetahuan yang telah diolah kembali dan disusun secara metodis, sistematis, konsisten, dan koheren. Inilah ciri-ciri ilmu pengetahuan, yang membedakan degan pengetahuan biasa. Agar pengetahuan menjadi ilmu, maka pengetahuan tadi harus dipilih (menjadi suatu bidang tertentu dari kenyataan) dan disusun secara metodis, sistematis, serta konsisten. Pengetahuan dan ilmu pengetahuan tentu berkaitan dengan realitas.orang yang mempelajari pengetahuan dan ilmu pengetahuan akan menelususri realitas secara cermat. Hakikat kenyataan atau realiats memang bisa didekati dari sisi ontologi dengan dua macam sudut padang yaitu kuantitatif dan kualitatif.[1]
Kata ilmu berasal dari bahasa Arab ‘ilm (‘alima-ya’lamu-‘ilm), yang berarti pengetahuan (al-ma’rifah), kemudian berkembang menjadi pengetahuan tentang hakikat sesuatu yang dipahami secara mendalam.2 Dari asal kata ‘ilm ini selanjutnya di-Indonesia-kan menjadi ‘ilmu’ atau ‘ilmu pengetahuan.’ Dalam perspektif Islam, ilmu merupakan pengetahuan mendalam hasil usaha yang sungguh-sungguh (ijtihād) dari para ilmuwan muslim (‘ulamā’/mujtahīd) atas persoalanpersoalan duniawī dan ukhrāwī dengan bersumber kepada wahyuAllah.
Al-Qur’ān dan al-Hadīts merupakan wahyu Allah yang berfungsi sebagai petunjuk (hudan) bagi umat manusia, termasuk dalam hal ini adalah petunjuk tentang ilmu dan aktivitas ilmiah. Al-Qur’ān memberikan perhatian yang sangat istimewa terhadap aktivitas ilmiah. Terbukti, ayat yang pertama kali turun berbunyi ; “Bacalah, dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang telah menciptakan”. Membaca, dalam artinya yang luas, merupakan aktivitas utama dalam kegiatan ilmiah.
Di samping itu, kata ilmu yang telah menjadi bahasa Indonesia bukan sekedar berasal dari bahasa Arab, tetapi juga tercantum dalam al-Qur’ān. Kata ilmu disebut sebanyak 105 kali dalam al-Qur’ān. Sedangkan kata jadiannya disebut sebanyak 744 kali. Kata jadian yang dimaksud adalah; ‘alima (35 kali), ya’lamu (215 kali), i’lām (31 kali), yu’lamu (1 kali), ‘alīm (18 kali), ma’lūm (13 kali), ‘ālamīn (73 kali), ‘alam (3 kali), ‘a’lam (49 kali), ‘alīm atau ‘ulamā’ (163 kali), ‘allām (4 kali), ‘allama (12 kali), yu’limu (16 kali), ‘ulima (3 kali), mu’allām (1 kali), dan ta’allama (2 kali).5
Selain kata ‘ilmu, dalam al-Qur’ān juga banyak disebut ayat-ayat yang, secara langsung atau tidak, mengarah pada aktivitas ilmiah dan pengembangan ilmu, seperti perintah untuk berpikir, merenung, menalar, dan semacamnya. Misalnya, perkataan ‘aql (akal) dalam al-Qur’ān disebut sebanyak 49 kali, sekali dalam bentuk kata kerja lampau, dan 48 kali dalam bentuk kata kerja sekarang. Salah satunya adalah :”Sesungguhnya seburuk-buruk makhluk melata di sisi Allah adalah mereka (manusia) yang tuli dan bisu, yang tidak menggunakan akalnya”. Kata fikr (pikiran) disebut sebanyak 18 kali dalam al-Qur’ān, sekali dalam bentuk kata kerja lampau dan 17 kali dalam bentuk kata kerja sekarang. Salah satunya adalah; “…mereka yang selalu mengingat Allah pada saat berdiri, duduk maupun berbaring, serta memikirkan kejadian langit dan bumi”.7 Tentang posisi ilmuwan, al-Qur’ān menyebutkan: “Allah akan meninggikan derajat orang-orang beriman dan berilmu beberapa derajat”.
Di samping al-Qur’ān, dalam Hadīts Nabi banyak disebut tentang aktivitas ilmiah, keutamaan penuntut ilmu/ilmuwan, dan etika dalam menuntut ilmu. Misalnya, hadits-hadits yang berbunyi; “Menuntut ilmu merupakan kewajiban setiap muslim dan muslimah” (HR. Bukhari-Muslim).
Besarnya perhatian Islam terhadap ilmu pengetahuan, menarik perhatian Franz Rosenthal, seorang orientalis, dengan mengatakan: ”Sebenarnya tak ada satu konsep pun yang secara operatif berperan menentukan dalam pembentukan peradaban Islam di segala aspeknya, yang sama dampaknya dengan konsep ilmu. Hal ini tetap benar, sekalipun di antara istilah-istilah yang paling berpengaruh dalam kehidupan keagamaan kaum muslimin, seperti “tauhîd” (pengakuan atas keesaan Tuhan), “al-dîn” (agama yang sebenar-benarnya), dan banyak lagi kata-kata yang secara terus menerus dan bergairah disebutsebut. Tak satupun di antara istilah-istilah itu yang memiliki kedalaman dalam makna yang keluasan dalam penggunaannya, yang sama dengan kata ilmu itu.[2]
B. Sumber pengetahuan
Pengetahuan diperoleh  dari sumber yang lebih dari satu. Yaitu sumber empirisme, rasionalisme, intuisi dan wahyu.
1. Empirisme menyatakan bahwa manusia memperoleh pengetahuan dengan pengalaman yang dialaminya. Teori ini bersifat inderawi jadi antara satu dengan yang lain memiliki perbedaan. Akal dalam teori ini hanyalahmengelola konsep gagasan inderawi saja dan tidak dikedepankan. Jhon locke (1632-1704) mengemukakan teori tabula rasa. Maksudnya manusia pada awalnya kosong kemudian pengalaman mengisi kekosongan tersebut sehingga menjadi pengetahuan. Pengalaman di dapat dari indera yang awalnya sederhana menjadi sangat komplek jadi sekomplek apapun pengetahuan akan dapat kembali pada sumbernya yaitu indera. Jadi pengetahuan yang tidak dapat di indera bukan pengetahuan yang benar karena indera adalah sumber pengetahuan. Teori ini menjadi lemah karena indera manusia memiliki keterbatasan.
2. Rasionalisme menjelaskan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diukur dan diperoleh dari akal. Teori ini membenarkan pemakaian indera untuk memperoleh pengetahuan akan tetapi harus di olah dengan akal. Jadi sumber kebenarannya adalah akal. Di sini juga dapat mengetahui tentang konsep-konsep pengetahuan yang abstrak. Namun toeri ini memiliki kelemahan karena data-data tidak selalu sempurna sehingga akal tidak dapat menmukan pengetahuan yang benar-benar sempurna.
3. Intuisi menerangkan bahwa pengetahuan diperoleh dari pemikiran tingkat tinggi. Kegiatan intuisi dan analisis bisa saling membantu untuk menemukan kebenaran. Mereka yang menggunakan intuisi biasanya memperoleh pengetahuan dengan perantara hati bukan indera maupun akal. Sehingga teori ini menggunakan metode perenungan yang mendalam untuk mencari kebenaran.
4. Sumber yang terakhir adalah wahyu yang menjelaskan bahwa pengetahuan di peroleh langsung dari Tuhan melalui perantara Nabi. Pengetahuan yang seperti ini tidak memerlukan waktu untuk berfikir ataupun merenung. Pengetahuan didapatkan kemudian dikaji lebih lanjut sehingga dapat meningkatkan keyakinan tentang kebenarannya. Berbeda dengan ilmu pengetahuan yang melakukan penelitian terlebih dahulu baru kemudian mendapat pengetahuan dan di ketahui kebenarannya.Wahyu Allah (agama) berisikan pengetahuan, baik mengenai kehidupan seseorang yang terjangkau oleh pengalaman, maupun yang mencakup masalah transedental, seperti latar belakang dan tujuan penciptaan manusia, dunia, dan segenap isinya serta kehidupan di akhirat nanti.[3] 
C. Metode dan cara kerja metode untuk memperoleh pengetahuan
Pembicaraan tentang sumber, sarana, dan metode ilmu pengetahuan dalam Filsafat Ilmu dikenal dengan epistemologi atau teori ilmu pengetahuan, yang di dalamnya selalu membicarakan dua hal, apa itu pengetahuan? dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan? yang pertama terkait dengan teori dan isi ilmu, sedangkan yang kedua berkenaan dengan metodologi. Terkait dengan pertanyaan pertama, apa itu pengetahuan? epistemologi Islam menjawab bahwa pengetahuan ilmiah adalah segala sesuatu yang bersumber dari alam fisik dan non-fisik. Dengan demikian Paradigma anthroposentris bertolak belakang dengan paradigma teosentris.Anthroposentris berasal dari kata anthropoid (manusia) dan centre (pusat). Dengan demikian anthroposentris adalah paradigma yang menempatkan manusia sebagai pusat segala pengalamannya, dan manusialah yang menentukan segalanya. Sedangkan teosentris berasal dari kata theo (tuhan) dan centre (pusat), yakni paradigma yang menempatkan Tuhan sebagai pusat dan sumber segala kehidupan.
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani episteme yang berarti knowledge atau science. Secara sederhana diartikan menjadi jelas bahwa sumber pengetahuan dalam Islam adalah alam fisik yang bisa diindra dan alam metafisik yang tidak bisa diindera seperti Tuhan, malaikat, alam kubur, alam akhirat. Alam fisik dan alam non-fisik sama bernilainya sebagai sumber ilmu pengetahuan dalam Islam. Hal ini sangat berbeda dengan epistemologi Barat yang hanya mengakui alam fisik sebagai sumber ilmu pengetahuan. Dengan demikian, sesuatu yang bersifat non-indrawi, non-fisik, dan metafisik tidak termasuk ke dalam obyek yang dapat diketahui secara ilmiah.
Berkenaan dengan problema epistemologi yang kedua, bagaimana ilmu pengetahuan diperoleh? Terdapat perbedaan antara Islam dan Barat. Dalam epistemologi Islam, ilmu pengetahuan bisa dicapai melalui tiga elemen; indra, akal, dan hati. Ketiga elemen ini dalam praktiknya diterapkan dengan metode berbeda.
1. Indra untuk metode observasi (bayānī)
Dengan panca indra, manusia mampu menangkap obyek-obyek indrawi melalui observasi.
2. Akal untuk metode logis atau demonstratif (burhānī)
Dengan menggunakan akal manusia dapat menangkap obyek-obyek spiritual (ma’qūlāt) atau metafisik secara silogistik, yakni menarik kesimpulan tentang hal-hal yang tidak diketahui dari hal-hal yang telah diketahui. Dengan cara inilah akal manusia, melalui refleksi dan penelitian terhadap alam semesta, dapat mengetahui Tuhan dan hal-hal gaib lainnya
3. Hati untuk metode intuitif (‘irfānī)
Melalui metode intuitif atau eksperensial (dzauq) sebagaimana dikembangkan kaum sufi dan filosof iluminasionis (isyrāqiyah), hati akan mampu menangkap obyek-obyek spiritual dan metafisik.
Antara akal dan intuisi, meskipun sama-sama mampu menangkap obyek-obyek spiritual, keduanya memiliki perbedaan fundamental secara metodologis dalam menangkap obyek-obyek tersebut. Sebab sementara akal menangkapnya secara inferensial, intuisi menangkap obyek-obyek spiritual secara langsung, sehingga mampu melintas jantung yang terpisah lebar antara subyek dan obyek. Jika ilmu pengetahuan dalam Islam bisa dicapai melalui tiga sumber/alat; indra, akal budi, dan hati, maka dalam epistemologi Barat, pengetahuan ilmiah hanya bisa diraih melalui indra dan akal.
Penggunaan kedua alat ini sebagai sumber ilmu pengetahuan didahului konflik tajam ilmuwan Barat selama kurang lebih dua abad. Konflik tersebut tercermin dalam dua aliran filsafat, yakni Rasionalisme dan Empirisme. Rasionalisme yang dipelopori Rene Descartes (1596-1650) berpandangan bahwa sumber pengetahuan yang dipandang memenuhi syarat ilmiah adalah akal budi. Akal merupakan satusatunya sumber pengetahuan yang benar. Pengetahuan yang diperoleh melalui akal tidak mungkin salah. Sementara itu empirisme berpendapat bahwa sumber satu-satunya pengetahuan manusia adalah pengalaman indrawi, yakni pengalaman yang terjadi melalui dan berkat bantuan panca indra. Dalam pandangan kaum empiris, panca indra memainkan peranan penting dibanding akal budi karena; pertama, semua proposisi yang diucapkan manusia merupakan hasil laporan dari pengalaman. Kedua, manusia tidak memiliki konsep atau ide apapun tentang sesuatu kecuali yang didasarkan pada apa yang diperoleh dari pengalaman. Ketiga, akal budi hanya bisa berfungsi apabila memiliki acuan ke realitas atau pengalaman.
Konflik antara pendukung rasionalisme dan empirisme akhirnya bisa didamaikan oleh Immanuel Kant dengan melakukan sintesis terhadap keduanya, yang kemudian disebutkan dengan kritisisme atau rasionalisme kritis. Menurut Kant terdapat dua unsur penting yang ikut melahirkan pengetahuan manusia, yaitu; pancaindra dan akal budi.
Semua pengetahuan manusia tentang dunia bersumber dari pengalaman indrawi.  Namun akal budi ikut menentukan bagaimana manusia menangkap fenomina di sekitarnya, karena dalam akal budi sudah ada “kondisi-kondisi” tertentu yang memungkinkan manusia menangkap dunia sebagaimana adanya. Kondisi-kondisi tersebut mirip dengan kacamata yang dipakai seseorang ketika melihat berbagai obyek di sekitarnya. Kacamata itu sangat mempengaruhi pengetahuan orang tersebut tentang obyek yang dilihat.[4]
            Menurut john hopers dalam bukunya An Introduction To Philosophical Analisys mengemukakan ada enam alat untuk memperoleh pengetahuan:
1. Pengalaman indera
Orang sering merasa bahwa pengindraan adalah alat yang paling vital dalam memperoleh pengetahuan. Memang dalam hidup manusia tampaknya pengindraan adalah satu-satunya alat untuk mencerap segala objek yang ada di luar diri manusia. Karena terlalu menekankan pada kenyataan, paham demikian dalam filsafat disebut realisme. Relaisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa semua yang dapat diketahui hanya kenyataan. Jadi, pengetahuan berawal dari kenyataan yang dapat diindrai.
2. Nalar
            Nalar adalah salah satu corak berpikir dengan menggabungkan dua pemikiran atau lebih dengan maksud untuk mendapatkan pengetahuan baru. Asas-asas pemikiran:
      Principium Identitas = sesuatu itu mesti sama dengan dirinya sendiri/asas kesamaan (A=A).
      Principium Contradictionis = dua paham yang bertentangan, tidak mungkin benar dalam waktu yang bersamaan (asas pertentangan).
      Principium Tertii Exclusi = apabila dua pendapat yang berlawanan tidak mungkin keduanya benar dan tidak mungkin keduanya salah (asas tidak ada kemungkinan ketiga).
3. Otoritas
            Otoritas adalah kekuasaan yang sah yang dimiliki oleh seseorang dan diakui oleh kelompoknya yang memiliki kewibawaan. Pengetahuan yang diperoleh melalui otoritas ini biasanya tanpa di uji lagi, karena orang yang telah menyampaikanya mempunyai kewibawaan tertentu. Jadi kesimpulanya adalah bahwa pengetahuan karena adanya otoritas terjadi melalui wibawa seseorang, sehingga orang lain mempunyai pengetahuan.
4. Intuisi
Intuisi adalah suatu kemampuan yang ada pada diri manusia melalui proses kejiwaan tanpa suatu rangsangan atau stimulus mampu untuk membuat pernyataan berupa pengetahuan. Peran intuisi sebagai sumber pengetahuan adalah kemampuan dalam diri manusia yang dapat melahirkan pernyataan-pernyantaan berupa pengetahuan. Pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi tidak dapat di buktikan seketika atau melalui kenyataan karena pengetahuan ini muncul tanpa adanya pengetahuan terlebih dahulu.
5. Wahyu
            Wahyu adalah berita yang disampaikan oleh Tuhan kepada Nabi-Nya untuk kepentingan umatnya. Wahyu merupakan pengetahuan tuhan yang disampaikan kepada umatnya, yaitu manusia. Pengetahuan ini disampaikan melalui nabi-nabi yang diutus sepanjang zaman. Agama merupakan pengetahuan bukan saja mengenai kehidupan sekarang yang terjangkau pengalaman, namun juga mencakup masalah-masalah yang bersifat transedental seperti latar belakang penciptaan manusia dan hari kemudian di akhirat nanti. Agama dimulai dari rasa percaya dan lewat pengkajian, selanjutnya selanjutnya kepercayaan itu bisa meningkat atau menurun.
6. Keyakinan
            Keyakinan adalah kemampuan yang ada pada diri manusia yang diperoleh melalui kepercayaan. Sesungguhnya  sumber pengetahuan antara wahyu dan keyakinan ini susah untuk dibedakan secara jelas, karena keduanya menetapkan bahwa alat yang dipergunakan adalah keyakinan. Perbedaanya barangkali keyakinan terhadap wahyu yang secara dogmatik diikutinya adalah peraturan yang berupa agama. adapun keyakinan melalui kemampuan kejiwaan manusia merupakan pematangan dari kepercayaan. Karena kepercayaan itu bersifat dinamis mampu menyesuaikan dengan keadaan yang sedang terjadi, sedangkan keyakinan itu sangat statis, kecuali ada bukti-bukti yang akurat dan cocok buat kepercayaanya.[5]
           
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
            Kata Pengetahuan sering dipakai bersamaan dengan  istilah ilmu, sehingga orang sering menyebutnya dengan ilmu pengetahuan. Ilmuwan barat dan ilmuwan muslim berbeda pendapat dalam memahami pengetahuan, ilmuwan barat menganggap ilmu itu hanya sebatas pada sesuatu yang nyata dan dapat dibuktikan dengan indera (tangible). Sedangkan ilmuwan muslim beranggapan pengetahuan itu tidak hanya sebatas pengetahuan yang nyata, tapi juga mencakup pengetahuan yang tak nyata, atau tidak bisa di indera dan hanya bisa diyakini dengan keimanan (Intangible). Pengetahuan dapat diperoleh melalui pengalaman indra, otoritas, nalar, intuisi, wahyu, dan keyakinan.
B. Saran
            Pengetahuan merupakan sesuatu yang akan terus berkembang. Manusia harus menggunakan indera maupun intuisinya untuk terus mempelajari ciptaan Allah SWT sesuai batas kemampuan manusia itu sendiri. Mencari pengetahuan harus di dasari dengan keimanan yang kuat agar tak terjerumus ke dalam pemikiran yang bertentangan dengan ajaran agama, karena tak semua pengetahuan dapat di indera oleh manusia.  Terkadang pengetahuan itu bersifat abstrak, dan hanya iman lah yang bisa untuk memahaminya.










DAFTAR PUSTAKA

Slamet Raharjo, “Hakikat Ilmu Pengetahuan” http://www.kompasiana.com/  diakses tanggal 1 oktober 2015
Mohammad Kosim. 2008. “Ilmu Pengetahuan Dalam Islam (Perspektif Filosofis-Historis)”ejournal.stainpamekasan.ac.id/index.php/tadris/article/view/232/223, 2008 diakses tanggal 4 Oktober 2015
Sahrahman & Nazeli Rahmatina, ”Dasar-Dasar Filosofis Pendidikan Islam Hakikat Kebenaran Dan Pengetahuan Nilai Kebaikan Dan Keindahan”, repository.iain-antasari.ac.id diakses tanggal 28 september 2012
Idzam Fautanu, Idzam. 2012. Filsafat ilmu teori dan aplikasi, Jakarta: Referensi



[1] Slamet raharjo, Hakikat Ilmu Pengetahuan, http://www.kompasiana.com/slamet.rahardjo/hakikat-ilmu-pengetahuan_54f80fa0a33311f2608b4a0f, yang dikutip dari buku karangan Endraswara Swardi,”Filsafat ilmu”, 2012
[2] Mohammad Kosim, “ILMU PENGETAHUAN DALAM ISLAM (Perspektif Filosofis-Historis)” ejournal.stainpamekasan.ac.id/index.php/tadris/article/view/232/223, 2008
[3] Sahrahman & Nazeli Rahmatina, Dasar-Dasar Filosofis Pendidikan Islam Hakikat Kebenaran Dan Pengetahuan Nilai Kebaikan Dan Keindahan, repository.iain-antasari.ac.id/ yang dikutip dari Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, opcit, hal. 94-110
[4] Mohammad Kosim, “ILMU PENGETAHUAN DALAM ISLAM (Perspektif Filosofis-Historis)” ejournal.stainpamekasan.ac.id/index.php/tadris/article/view/232/223, 2008

[5] Prof. Dr. Idzam Fautanu, MA, Filsafat ilmu teori dan aplikasi, Referensi, 2012, hal 68-71

Tidak ada komentar:

Posting Komentar