MODEL PEMIKIRAN
PENDIDIKAN ISLAM IBNU MISKAWAIH
Disusun Untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Dr.
Abdullah Aly, M.Ag
Disusun Oleh:
Sebastian Wisnu Aji (G000140137)
Kelas A
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ajaran agama telah menerangkan akan pentingnya
pendidikan itu. Bahkan umat islam di wajibkan untuk menuntut ilmu hingga akhir
hayatnya, Kehidupan tanpa pendidikan adalah sebuah keniscayaan. Pendidikan ada
karena naluri manusia yang mempunyai potensi untuk berkembang dalam dirinya.
Berkat anugerah akal dan bimbingan Ilahi manusia mampu menjadi makhluk yang
terus berkembang. Maka, seiring berjalanya waktu, model pendidikan selalu berubah
kearah yang lebih maju dari zaman ke zaman.
Jika menilik sejarah, pendidikan islam pada zaman
Rasulullah SAW masih memakai sistem halaqoh yang di pimpin Nabi SAW sendiri,
akan tetapi pada saat ini telah berdiri sekolah-sekolah dengan berbagai macam sistem
pendidikan. Hal itu terjadi berkat sumbangsih pemikiran para tokoh-tokoh
pendidikan islam terdahulu sejak nabi Muhammad SAW, para sahabat, dan para
tokoh lainya seperti Imam ghazali, Ibnu Miskawaih, Ibnu Sina, dan tokoh lainya
dari zaman klasik hingga modern seperti saat ini.
Diantara tokoh yang pemikiranya masih di pakai
hingga saat ini ialah Ibnu Miskawaih. Ia banyak berbicara masalah pendidikan,
terutama masalah etika (pendidikan Akhlak). Saat ini, di dunia pendidikan
Indonesia, pendidikan akhlak merupakan salah satu bahan pokok pendidikan agama
islam. Selain berbicara masalah materi yang diajarkan dalam pendidikan, Ibnu
Miskawaih juga mempunyai pendapatnya tentang tujuan pendidikan, pendidik dan
anak didik, lingkungan pendidikan dan metode pendidikan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
saja karya dari ibnu Miskawaih?
2. Apa
saja pemikiran Ibnu Miskawaih?
3. Bagaimana
model pemikiran pendidikan islam Ibnu Miskawaih?
4. Apa
saja pemikiran Ibnu Miskawaih yang dapat diterapkan dalam dunia pendidikan saat
ini?
C.
Tujuan
1. Mengetahui
karya-karya dari ibnu Miskawaih.
2. Mengetahui
pemikiran Ibnu Miskawaih.
3. Mengetahui
model pemikiran pendidikan islam Ibnu Miskawaih.
4. Mengetahui
pemikiran Ibnu Miskawaih yang dapat diterapkan dalam dunia pendidikan saat ini.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaih adalah seorang ahli
filsafat islam yang termasuk mula-mula membicarakan akhlak. Nama yang
sebenarnya adalah Ahmad bin Muhammad Ya’qub bin Miskawaih, tetapi kemudian
lebih terkenal dalam dunia filsafat dengan nama Abu Ali. Tanggal lahirnya yang
pasti tidak diketahui orang. Beberapa pengarang, diantaranya Margoliath
menerangkan bahwa Ibnu Miskawaih lahir tahun 330 H, tetapi Dr. Abdul Aziz Azaz,
profesor dalam ilmu akhlak dan pergaulan pada perguruan tinggi Fuad di Mesir,
dalam bukunya mengenai pujangga ini menganggap bahwa ia lahir lima tahun lebih
dahulu yaitu tahun 325 H. Ia meninggal sesudah mempunyai usia 96 tahun, pada
tahun 421 H (1030 M).[1]
Memperhatikan tahun lahir dan
wafatnya, miskawaih hidup pada masa pemerintahan Bani Abbas berada dibawah
pengaruh Bani Buwaih yang beraliran syi’ah.[2]
Pekerjaan utama Ibnu Miskawaih adalah bendaharawan, sekretaris, pustakawan, dan
pendidik anak para pemuka dinasti Buwaih. Selain akrab dengan penguasa, ia juga
banyak bergaul dengan para ilmuwan seperti Abu Hayyan al Tauhidi, Yahya Ibn
‘Adi dan ibnu Sina. Ibnu Miskawaih juga dikenal sebagai sejarawan besar yang
kemasyhuranya melebihi pendahulunya, At Thabari. Selanjutnya ia juga dikenal
sebagai dokter, penyai dan ahli bahasa. Latar belakang pendidikanya tidak
terlacak secara rinci. Tetapi ditemukan keterangan, bahwa ia mempelajari
sejarah dari Abu Bakr Ahmad Ibn al Qadi, mempelajari filsafat dari Ibnu Al
Akhmar dan mempelajari kimia dari Abu Thayyib.[3]
Sebagai seorang filsuf, sejarawan,
tabib, ilmuwan dan sastrawan, Miskawaih banyak menulis buku-buku dalam berbagai
bidang keahlianya. Diantara buku-buku karanganya adalah:
1.
Kitab
Al Fauz Al Ashghar, tentang ketuhanan, jiwa dan kenabian (Metafisika)
2.
Kitab
Al Fauz Al Akbar, tentang etika.
3.
Kitab
Thaharat An Nafs, tentang etika.
4.
Kitab
Tahdzib Al Akhlaq Wa Thath-hir Al A’raq, tentang etika.
5.
Kitab
tartib As Sa’adat, tentang etika dan politik, terutama mengenai pemerintahan
Bani Abbas dan Bani Buwaih.
6.
Kitab
Tajarib Al Umam, tentang sejarah, yang berisi peristiwa-peristiwa sejarah sejak
setelah air bah Nabi Nuh hingga masa 369 H.
7.
Kitab
Al Jami’, tentang ketabiban.
8.
Kitab
Al Adwiyah, tentang obat-obatan.
9.
Kitab
Al Asyribah, tentang minuman.
10.
Kitab
Al Mustaufi, berisi kumpulan syair-syair pilihan.
11.
Kitab
Jawizan Khard (Akal Abadi), membicarakan pemerintahan dan hokum yang berlaku di
Arab, Persi, India dan Rumawi.
12.
Maqalat
fi An Nafsi Wal ‘Aqli, tentang jiwa dan akal.[4]
B.
Pemikiran Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaih adalah orang yang
representatif dalam bidang akhlak (filsafat etika) dalam islam. Sungguhpun
terpengaruh dengan budaya asing, terutama Yunani, namun usahanya sangat
berhasil dalam melakukan harmonisasi antara pemikiran filsafat dan pemikiran
islam, terutama dalam bidang akhlak.[5] Sejumlah peneliti
tampaknya sepakat bahwa pemikiran filsafat etika Ibn Miskawaih adalah
harmonisasi antara pemikiran filsafat Yunani dan pemikiran Islam (termasuk
didalamnya filsafat islam yang juga dipengaruhi oleh filsafat Yunani).
Konsep-konsep etika dari Plato dan Aristoteles yang diramu dengan ajaran dan
hukum islam serta diperkaya dengan pengalaman hidup pribadinya dan situasi
zamanya adalah materi yang terdapat dalam Tahzib Al Akhlaq.[6]
Mengenai filsafat, Miskawaih tidak
memberikan pengertianya. Ia hanya membagi filsafat menjadi dua bagian, yakni
bagian teori dan bagian praktik. Bagian teoritik merupakan kesempurnaan manusia
yang mengisi potensinya untuk dapat mengetahui segala sesuatu (al quwwah al
‘Alimah) hingga dengan kesempurnaan ilmunya itu pikiranya benar, keyakinanya
benar dan tidak ragu-ragu terhadap kebenaran. Sedang bagian praktik merupakan
kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat melakukan
perbuatan-perbuatan moral (al quwwah al ‘amilah). Akhir dari kesempurnaan moral
adalah sampai dapat mengatur hubungan antar sesama hingga tercipta kebahagiaan
hidup bersama. Jika manusia dapat memiliki dua bagian filsafat yang teoritik
maupun praktik tersebut, maka ia telah memperoleh kebahagiaan yang sempurna.[7]
Miskawaih menggunakan berbagai macam
argumen untuk menetapkan adanya Tuhan. Yang paling ditonjolkan adalah adanya
gerak atau perubahan yang terjadi pada alam. Memperhatikan bahwa segala macam
benda mempunyai sifat gerak atau berubah sesuai dengan watak pembawaan
masing-masing (sifat gerak itu berbeda-beda pada benda-benda yang berbeda),
maka adanya gerak yang berbeda-beda itu membuktikan adanya yang menjadi sumber
gerak, Penggerak pertama yang tidak bergerak, yaitu Tuhan. Argumen ini diambil
dari argumen Aristoteles.[8]Menurut
Miskawaih, jiwa manusia memiliki tiga kekuatan yang bertingkat, dari tingkat
yang paling yang paling rendah
disebutkan urutan sebagai berikut:
1.
An-Nafs
al Bahimiyah (nafsu kebinatangan) yang buruk.
2.
An-Nafs
as-Sabu’iyah (nafsu binatang buas) yang sedang.
3.
An-Nafs
an-Nathiqah (jiwa yang cerdas) yang baik.[9]
Ketiga daya ini merupakan unsur rohani manusia yang asal kejadianya
berbeda. An nafs al-bahimiyyat dan an nafs as-sabu’iyyat berasal dari unsur
materi, sedangkan an nafs an nathiqah berasal dari ruh Tuhan. Karena kedua an
nafs yang berasal dari materi akan hancur bersama hancurnya badan dan an nafs
an nathiqah tidak akan mengalami kehancuran.[10]
Sebagai Bapak Etika Islam, Miskawaih
dikenal juga sebagai Guru ketiga (al Mu’allim ats-Tsalits), setelah al Farabi
yang digelari sebagi guru kedua (al Mu’allim Ats-Tsani) sedangkan yang
dipandang sebagai guru pertama (al Mu’allim al Awwal) adalah Aristoteles.
Teorinya tentang Etika secara terperinci ditulis dalam kitabnya Tahdzib al
Akhlaq wa Thath-hir al A’raq (Pendidikan budi dan pembersihan watak).[11]
C.
Pemikiran Pendidikan Islam Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaih membangun konsep
pendidikan pada pendidikan akhlak. Ibnu Miskawaih memandang bahwa pendidikan
akhlak harus ditanamkan sejak anak usia dini karena perkembangan mental anak
berevolusi, berkembang menuju kesempurnaan menyimpan pesan-pesan masa lalu dan
merasuk kedalam jiwa berfikir. Oleh sebab itu, pendidikan bukan semata-mata
memperdalam ilmu pengetahuan berpikir, lebih jauh dari itu, dikaji secara
mendalam tentang pengaruh ilmu pengetahuan terhadap etika dan akhlak
masyarakat.[12]
1.
Tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan menurut ibnu miskawaih adalah pencapaian akhlak mulia
dan meraih kebaikan, kebahagiaan dan kesempurnaan hidup. Bagi Ibnu Miskawaih fungsi pendidikan adalah
menanamkan akhlak mulia, memanusiakan manusia dan merupakan upaya sosialisasi individu.[13]
Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskanya adalah terwujudnya sikap
batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang
bernilai baik, sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati
dan sempurna. Dengan demikian, tujuan pendidikan yang ingin dicapai Ibn
Miskawaih bersifat menyeluruh, yakni mencakup kebahagiaan hidup manusia dalam
arti yang seluas-luasnya.[14]
2.
Materi pendidikan Akhlak
Ibn Miskawaih menyebut tiga hal pokok menjadi materi pendidikan
akhlaknya. Tiga hal tersebut adalah 1) hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh
manusia, misalnya shalat, puasa dan sa’i 2) hal-hal yang wajib bagi jiwa,
misalnya mengesakan Allah Swt. serta motivasi senang kepada ilmu dan 3) hal-hal
yang wajib bagi hubunganya dengan sesama manusia misalnya ilmu muamalat, pertanian, perkawinan, saling
menasehati, peperangan dan sebagainya. Ketiga materi pokok tersebut dapat
diperoleh dari ilmu-ilmu yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi
dua. Pertama, ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pemikiran (al ‘ulum al fikriyah)
dan kedua, ilmu yang berkaitan dengan indera (al ‘ulum al bissiyat).[15]
3.
Pendidik dan anak didik
Pendidik dalam hal ini guru, instruktur, ustadz
atau dosen memegang peranan penting dalam keberlangsungan kegiatan pengajaran
dan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan. Sedangkan anak
didik yang selanjutnya disebut murid, siswa, peserta didik atau mahasiswa
merupakan sasaran kegiatan pengajaran dan pendidikan merupakan bagian yang
perlu mendapatkan perhatian yang seksama. Perbedaan anak didik dapat
menyebabkan terjadinya perbedaan materi, metode, pendekatan, dan sebagainya.
Orang tua merupakan pendidik yang pertama bagi anak-anaknya dengan syari’at
sebagai acuan utama materi pendidikanya. Kegiatan ini harus dilandasi dengan
hubungan yang harmonis dan cinta kasih. Guru berfungsi sebagai orangtua atau
bapak rohani, orang yang dimuliakan yang diberikan adalah kebaikan Ilahi.[16]
4.
Lingkungan pendidikan
Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan kondisi
yang baik dari luar dirinya. Selanjutnya ia menyatakan bahwa sebaik-baik
manusia adalah orang yang berbuat baik terhadap keluarga dan orang-orang yang
masih ada kaitan denganya mulai dari saudara, anak atau orang yang masih ada
hubungan denganya. Untuk mencapai keadaan lingkungan yang demikian itu, perlu
ada political will dari pemerintah. Kepala negara dan aparatnya mempunyai
kewajiban untuk menciptakanya. Agama dan negara merupakan dua saudara yang
saling melengkapi, satu dengan yang lainya saling menyempurnakan. Cinta kasih
kepala negara (pemimpin terhadap) rakyatnya semisal cinta kasih orangtua
terhadap anak-anaknya. Terhadap pemimpin demikian, rakyat wajib mencintainya
semisal cinta anak terhadap orangtuanya.[17]
5.
Metodologi pendidikan
Menurut ibnu Miskawaih, syariat agama merupakan faktor penentu bagi
lurusnya karakter manusia, karena rujukan utamanya adalah Alqur’an dan Hadis.
Mendidik haruslah berlandaskan pada psikologi. Dan bahwa orientasi pendidikan
adalah pada anak (child-centered). Ia menyebutkan beberapa metode, yaitu metode alami (tabi’iy), metode
sanksi yang berjenjang mulai dari ancaman, hardikan, hukuman sampai pukulan.
Namun demikian, Ibnu Miskawaih lebih mengutamakan metode nasihat atau tuntunan,
sanjungan dan pujian daripada jalan kekerasan. Baginya mendidik itu hendaknya
dilakukan berdasarkan asas-asas pendidikan yang tepat.[18]
Sedangkan beberapa metode yang
diajukanya untuk mencapai akhlak yang
baik adalah pertama, adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih
terus-menerus dan menahan diri (al’adat wa al jihad) untuk memperoleh keutamaan
dan kesopanan yang sebenarnya sesuai dengan keutamaan jiwa. Kedua, dengan
menjadikan semua pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai cermin bagi
dirinya.[19]
D. Ide Pengembangan
Banyak pemikiran
Ibnu Miskawaih yang masih relevan dengan dunia pendidikan saat ini. Ibnu
Miskawaih berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mencapai
kesempurnaan akhlak. Saat ini banyak pelajar maupun siswa yang melakukan
perbuatan amoral, hal itu semakin memperburuk generasi bangsa. Untuk mengatasi
kemerosotan moral, sekolah dapat menerapkan pendidikan akhlak baik dalam hal
teori teori maupun praktek.
DAFTAR
PUSTAKA
Abu,
Bakar Aceh. 1991. Sejarah filsafat Islam, Solo: Ramadhani
Basyir,
Ahmad Azhar. 1983. MISKAWAIH Riwayat Hidup dan Pemikiran Filsafatnya, Yogyakarta:
Nur Cahaya
Duryat,
Masduki. 2016. Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Penguatan Pendidikan Agama
Islam Di Institusi Yang Bermutu Dan Berdaya Saing, Bandung: Alfabeta
Al
Miskawaih, Abu Ali Akhmad. 1985. Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku daras
pertama Tentang Filsafat Etika Terjemahan Oleh Helmi Hidayat. 1994. Bandung:
Mizan
Basri,
Hasan. 2009. filsafat pendidikan Islam,
Bandung: Pustaka Setia
Assegaf, Abd.
Rachman. 2011. Filsafat Pendidikan Islam:
Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integrative, Jakarta: Rajawali
pers