Selasa, 31 Oktober 2017

PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM IBNU MISKAWAIH

MODEL PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM IBNU MISKAWAIH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Dr. Abdullah Aly, M.Ag


Disusun Oleh:
                   Sebastian Wisnu Aji         (G000140137)
Kelas A

FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2017



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Ajaran agama telah menerangkan akan pentingnya pendidikan itu. Bahkan umat islam di wajibkan untuk menuntut ilmu hingga akhir hayatnya, Kehidupan tanpa pendidikan adalah sebuah keniscayaan. Pendidikan ada karena naluri manusia yang mempunyai potensi untuk berkembang dalam dirinya. Berkat anugerah akal dan bimbingan Ilahi manusia mampu menjadi makhluk yang terus berkembang. Maka, seiring berjalanya waktu, model pendidikan selalu berubah kearah yang lebih maju dari zaman ke zaman.
Jika menilik sejarah, pendidikan islam pada zaman Rasulullah SAW masih memakai sistem halaqoh yang di pimpin Nabi SAW sendiri, akan tetapi pada saat ini telah berdiri sekolah-sekolah dengan berbagai macam sistem pendidikan. Hal itu terjadi berkat sumbangsih pemikiran para tokoh-tokoh pendidikan islam terdahulu sejak nabi Muhammad SAW, para sahabat, dan para tokoh lainya seperti Imam ghazali, Ibnu Miskawaih, Ibnu Sina, dan tokoh lainya dari zaman klasik hingga modern seperti saat ini.
Diantara tokoh yang pemikiranya masih di pakai hingga saat ini ialah Ibnu Miskawaih. Ia banyak berbicara masalah pendidikan, terutama masalah etika (pendidikan Akhlak). Saat ini, di dunia pendidikan Indonesia, pendidikan akhlak merupakan salah satu bahan pokok pendidikan agama islam. Selain berbicara masalah materi yang diajarkan dalam pendidikan, Ibnu Miskawaih juga mempunyai pendapatnya tentang tujuan pendidikan, pendidik dan anak didik, lingkungan pendidikan dan metode pendidikan.
B.  Rumusan Masalah
1.    Apa saja karya dari ibnu Miskawaih?
2.    Apa saja pemikiran Ibnu Miskawaih?
3.    Bagaimana model pemikiran pendidikan islam Ibnu Miskawaih?
4.    Apa saja pemikiran Ibnu Miskawaih yang dapat diterapkan dalam dunia pendidikan saat ini?
C.  Tujuan
1.    Mengetahui karya-karya dari ibnu Miskawaih.
2.    Mengetahui pemikiran Ibnu Miskawaih.
3.    Mengetahui model pemikiran pendidikan islam Ibnu Miskawaih.
4.    Mengetahui pemikiran Ibnu Miskawaih yang dapat diterapkan dalam dunia pendidikan saat ini.



BAB II
PEMBAHASAN
A.  Biografi Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaih adalah seorang ahli filsafat islam yang termasuk mula-mula membicarakan akhlak. Nama yang sebenarnya adalah Ahmad bin Muhammad Ya’qub bin Miskawaih, tetapi kemudian lebih terkenal dalam dunia filsafat dengan nama Abu Ali. Tanggal lahirnya yang pasti tidak diketahui orang. Beberapa pengarang, diantaranya Margoliath menerangkan bahwa Ibnu Miskawaih lahir tahun 330 H, tetapi Dr. Abdul Aziz Azaz, profesor dalam ilmu akhlak dan pergaulan pada perguruan tinggi Fuad di Mesir, dalam bukunya mengenai pujangga ini menganggap bahwa ia lahir lima tahun lebih dahulu yaitu tahun 325 H. Ia meninggal sesudah mempunyai usia 96 tahun, pada tahun 421 H (1030 M).[1]
Memperhatikan tahun lahir dan wafatnya, miskawaih hidup pada masa pemerintahan Bani Abbas berada dibawah pengaruh Bani Buwaih yang beraliran syi’ah.[2] Pekerjaan utama Ibnu Miskawaih adalah bendaharawan, sekretaris, pustakawan, dan pendidik anak para pemuka dinasti Buwaih. Selain akrab dengan penguasa, ia juga banyak bergaul dengan para ilmuwan seperti Abu Hayyan al Tauhidi, Yahya Ibn ‘Adi dan ibnu Sina. Ibnu Miskawaih juga dikenal sebagai sejarawan besar yang kemasyhuranya melebihi pendahulunya, At Thabari. Selanjutnya ia juga dikenal sebagai dokter, penyai dan ahli bahasa. Latar belakang pendidikanya tidak terlacak secara rinci. Tetapi ditemukan keterangan, bahwa ia mempelajari sejarah dari Abu Bakr Ahmad Ibn al Qadi, mempelajari filsafat dari Ibnu Al Akhmar dan mempelajari kimia dari Abu Thayyib.[3]
Sebagai seorang filsuf, sejarawan, tabib, ilmuwan dan sastrawan, Miskawaih banyak menulis buku-buku dalam berbagai bidang keahlianya. Diantara buku-buku karanganya adalah:
1.    Kitab Al Fauz Al Ashghar, tentang ketuhanan, jiwa dan kenabian (Metafisika)
2.    Kitab Al Fauz Al Akbar, tentang etika.
3.    Kitab Thaharat An Nafs, tentang etika.
4.    Kitab Tahdzib Al Akhlaq Wa Thath-hir Al A’raq, tentang etika.
5.    Kitab tartib As Sa’adat, tentang etika dan politik, terutama mengenai pemerintahan Bani Abbas dan Bani Buwaih.
6.    Kitab Tajarib Al Umam, tentang sejarah, yang berisi peristiwa-peristiwa sejarah sejak setelah air bah Nabi Nuh hingga masa 369 H.
7.    Kitab Al Jami’, tentang ketabiban.
8.    Kitab Al Adwiyah, tentang obat-obatan.
9.    Kitab Al Asyribah, tentang minuman.
10.     Kitab Al Mustaufi, berisi kumpulan syair-syair pilihan.
11.     Kitab Jawizan Khard (Akal Abadi), membicarakan pemerintahan dan hokum yang berlaku di Arab, Persi, India dan Rumawi.
12.     Maqalat fi An Nafsi Wal ‘Aqli, tentang jiwa dan akal.[4]
B.  Pemikiran Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaih adalah orang yang representatif dalam bidang akhlak (filsafat etika) dalam islam. Sungguhpun terpengaruh dengan budaya asing, terutama Yunani, namun usahanya sangat berhasil dalam melakukan harmonisasi antara pemikiran filsafat dan pemikiran islam, terutama dalam bidang akhlak.[5] Sejumlah peneliti tampaknya sepakat bahwa pemikiran filsafat etika Ibn Miskawaih adalah harmonisasi antara pemikiran filsafat Yunani dan pemikiran Islam (termasuk didalamnya filsafat islam yang juga dipengaruhi oleh filsafat Yunani). Konsep-konsep etika dari Plato dan Aristoteles yang diramu dengan ajaran dan hukum islam serta diperkaya dengan pengalaman hidup pribadinya dan situasi zamanya adalah materi yang terdapat dalam Tahzib Al Akhlaq.[6]
Mengenai filsafat, Miskawaih tidak memberikan pengertianya. Ia hanya membagi filsafat menjadi dua bagian, yakni bagian teori dan bagian praktik. Bagian teoritik merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat mengetahui segala sesuatu (al quwwah al ‘Alimah) hingga dengan kesempurnaan ilmunya itu pikiranya benar, keyakinanya benar dan tidak ragu-ragu terhadap kebenaran. Sedang bagian praktik merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat melakukan perbuatan-perbuatan moral (al quwwah al ‘amilah). Akhir dari kesempurnaan moral adalah sampai dapat mengatur hubungan antar sesama hingga tercipta kebahagiaan hidup bersama. Jika manusia dapat memiliki dua bagian filsafat yang teoritik maupun praktik tersebut, maka ia telah memperoleh kebahagiaan yang sempurna.[7]
Miskawaih menggunakan berbagai macam argumen untuk menetapkan adanya Tuhan. Yang paling ditonjolkan adalah adanya gerak atau perubahan yang terjadi pada alam. Memperhatikan bahwa segala macam benda mempunyai sifat gerak atau berubah sesuai dengan watak pembawaan masing-masing (sifat gerak itu berbeda-beda pada benda-benda yang berbeda), maka adanya gerak yang berbeda-beda itu membuktikan adanya yang menjadi sumber gerak, Penggerak pertama yang tidak bergerak, yaitu Tuhan. Argumen ini diambil dari argumen Aristoteles.[8]Menurut Miskawaih, jiwa manusia memiliki tiga kekuatan yang bertingkat, dari tingkat yang paling yang paling rendah  disebutkan urutan sebagai berikut:
1.    An-Nafs al Bahimiyah (nafsu kebinatangan) yang buruk.
2.    An-Nafs as-Sabu’iyah (nafsu binatang buas) yang sedang.
3.    An-Nafs an-Nathiqah (jiwa yang cerdas) yang baik.[9]
Ketiga daya ini merupakan unsur rohani manusia yang asal kejadianya berbeda. An nafs al-bahimiyyat dan an nafs as-sabu’iyyat berasal dari unsur materi, sedangkan an nafs an nathiqah berasal dari ruh Tuhan. Karena kedua an nafs yang berasal dari materi akan hancur bersama hancurnya badan dan an nafs an nathiqah tidak akan mengalami kehancuran.[10]
Sebagai Bapak Etika Islam, Miskawaih dikenal juga sebagai Guru ketiga (al Mu’allim ats-Tsalits), setelah al Farabi yang digelari sebagi guru kedua (al Mu’allim Ats-Tsani) sedangkan yang dipandang sebagai guru pertama (al Mu’allim al Awwal) adalah Aristoteles. Teorinya tentang Etika secara terperinci ditulis dalam kitabnya Tahdzib al Akhlaq wa Thath-hir al A’raq (Pendidikan budi dan pembersihan watak).[11]
C.  Pemikiran Pendidikan Islam Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaih membangun konsep pendidikan pada pendidikan akhlak. Ibnu Miskawaih memandang bahwa pendidikan akhlak harus ditanamkan sejak anak usia dini karena perkembangan mental anak berevolusi, berkembang menuju kesempurnaan menyimpan pesan-pesan masa lalu dan merasuk kedalam jiwa berfikir. Oleh sebab itu, pendidikan bukan semata-mata memperdalam ilmu pengetahuan berpikir, lebih jauh dari itu, dikaji secara mendalam tentang pengaruh ilmu pengetahuan terhadap etika dan akhlak masyarakat.[12]
1.    Tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan menurut ibnu miskawaih adalah pencapaian akhlak mulia dan meraih kebaikan, kebahagiaan dan kesempurnaan hidup. Bagi Ibnu Miskawaih fungsi pendidikan adalah menanamkan akhlak mulia, memanusiakan manusia dan merupakan upaya sosialisasi individu.[13]
Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskanya adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik, sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati dan sempurna. Dengan demikian, tujuan pendidikan yang ingin dicapai Ibn Miskawaih bersifat menyeluruh, yakni mencakup kebahagiaan hidup manusia dalam arti yang seluas-luasnya.[14]
2.    Materi pendidikan Akhlak
Ibn Miskawaih menyebut tiga hal pokok menjadi materi pendidikan akhlaknya. Tiga hal tersebut adalah 1) hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia, misalnya shalat, puasa dan sa’i 2) hal-hal yang wajib bagi jiwa, misalnya mengesakan Allah Swt. serta motivasi senang kepada ilmu dan 3) hal-hal yang wajib bagi hubunganya dengan sesama manusia misalnya ilmu muamalat, pertanian, perkawinan, saling menasehati, peperangan dan sebagainya. Ketiga materi pokok tersebut dapat diperoleh dari ilmu-ilmu yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pemikiran (al ‘ulum al fikriyah) dan kedua, ilmu yang berkaitan dengan indera (al ‘ulum al bissiyat).[15]
3.    Pendidik dan anak didik
Pendidik dalam hal ini guru, instruktur, ustadz atau dosen memegang peranan penting dalam keberlangsungan kegiatan pengajaran dan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan. Sedangkan anak didik yang selanjutnya disebut murid, siswa, peserta didik atau mahasiswa merupakan sasaran kegiatan pengajaran dan pendidikan merupakan bagian yang perlu mendapatkan perhatian yang seksama. Perbedaan anak didik dapat menyebabkan terjadinya perbedaan materi, metode, pendekatan, dan sebagainya. Orang tua merupakan pendidik yang pertama bagi anak-anaknya dengan syari’at sebagai acuan utama materi pendidikanya. Kegiatan ini harus dilandasi dengan hubungan yang harmonis dan cinta kasih. Guru berfungsi sebagai orangtua atau bapak rohani, orang yang dimuliakan yang diberikan adalah kebaikan Ilahi.[16]
4.    Lingkungan pendidikan
Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan kondisi yang baik dari luar dirinya. Selanjutnya ia menyatakan bahwa sebaik-baik manusia adalah orang yang berbuat baik terhadap keluarga dan orang-orang yang masih ada kaitan denganya mulai dari saudara, anak atau orang yang masih ada hubungan denganya. Untuk mencapai keadaan lingkungan yang demikian itu, perlu ada political will dari pemerintah. Kepala negara dan aparatnya mempunyai kewajiban untuk menciptakanya. Agama dan negara merupakan dua saudara yang saling melengkapi, satu dengan yang lainya saling menyempurnakan. Cinta kasih kepala negara (pemimpin terhadap) rakyatnya semisal cinta kasih orangtua terhadap anak-anaknya. Terhadap pemimpin demikian, rakyat wajib mencintainya semisal cinta anak terhadap orangtuanya.[17]
5.    Metodologi pendidikan
Menurut ibnu Miskawaih, syariat agama merupakan faktor penentu bagi lurusnya karakter manusia, karena rujukan utamanya adalah Alqur’an dan Hadis. Mendidik haruslah berlandaskan pada psikologi. Dan bahwa orientasi pendidikan adalah pada anak (child-centered). Ia menyebutkan beberapa metode, yaitu metode alami (tabi’iy), metode sanksi yang berjenjang mulai dari ancaman, hardikan, hukuman sampai pukulan. Namun demikian, Ibnu Miskawaih lebih mengutamakan metode nasihat atau tuntunan, sanjungan dan pujian daripada jalan kekerasan. Baginya mendidik itu hendaknya dilakukan berdasarkan asas-asas pendidikan yang tepat.[18]
Sedangkan beberapa metode yang diajukanya untuk mencapai akhlak yang baik adalah pertama, adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih terus-menerus dan menahan diri (al’adat wa al jihad) untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya sesuai dengan keutamaan jiwa. Kedua, dengan menjadikan semua pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai cermin bagi dirinya.[19]
D.  Ide Pengembangan
Banyak pemikiran Ibnu Miskawaih yang masih relevan dengan dunia pendidikan saat ini. Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kesempurnaan akhlak. Saat ini banyak pelajar maupun siswa yang melakukan perbuatan amoral, hal itu semakin memperburuk generasi bangsa. Untuk mengatasi kemerosotan moral, sekolah dapat menerapkan pendidikan akhlak baik dalam hal teori teori maupun praktek.

DAFTAR PUSTAKA


Abu, Bakar Aceh. 1991. Sejarah filsafat Islam, Solo: Ramadhani
Basyir, Ahmad Azhar. 1983. MISKAWAIH Riwayat Hidup dan Pemikiran Filsafatnya, Yogyakarta: Nur Cahaya
Duryat, Masduki. 2016. Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Penguatan Pendidikan Agama Islam Di Institusi Yang Bermutu Dan Berdaya Saing, Bandung: Alfabeta
Al Miskawaih, Abu Ali Akhmad. 1985. Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku daras pertama Tentang Filsafat Etika Terjemahan Oleh Helmi Hidayat. 1994. Bandung: Mizan
Basri, Hasan. 2009. filsafat pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia
Assegaf, Abd. Rachman. 2011. Filsafat Pendidikan Islam: Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integrative, Jakarta: Rajawali pers




                [1] Prof. Dr. Abu Bakar Aceh, Sejarah filsafat Islam, (Solo: Ramadhani, 1991), hlm. 170
                [2]Ahmad Azhar Basyir, MISKAWAIH Riwayat Hidup dan Pemikiran Filsafatnya,(Yogyakarta: Nur Cahaya, 1983), hlm. 2
                [3] Dr. Masduki Duryat, M.PdI, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Penguatan Pendidikan Agama Islam Di Institusi Yang Bermutu Dan Berdaya Saing, (Bandung: Alfabeta, 2016), hlm. 18
                [4] Ahmad Azhar Basyir, MISKAWAIH Riwayat Hidup dan Pemikiran Filsafatnya, (Yogyakarta: Nur Cahaya, 1983), hlm. 4-5 yang mengutip dari Tarikh falasifat al Islam karya, M. Lithfi Jum’ah, Tarikh Al Fikr Al Arabi karya Umar Farukh dan A History of muslim philosophy karya M.M Syarief.
                [5] Helmi Hidayat, Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku daras pertama Tentang Filsafat Etika,(Bandung: Mizan, 1994), hlm. 14 yang diterjemahkan dari Tahdzib al Akhlak karya Abu Ali Akhmad Al Miskawaih terbitan Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyyah, Lebanon, Beirut, 1985 M.
                [6] Drs. Hasan basri, M.Ag, filsafat pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm. 230
                [7] Ahmad Azhar Basyir, MISKAWAIH Riwayat Hidup dan Pemikiran Filsafatnya, (Yogyakarta: Nur Cahaya, 1983), hlm.6-7
                [8]Ibid, hlm. 8
                [9]Ibid, hlm. 11
                [10] Dr. Masduki Duryat, M.PdI, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Penguatan Pendidikan Agama Islam Di Institusi Yang Bermutu Dan Berdaya Saing, (Bandung: Alfabeta, 2016), hlm. 18-19
                [11] Ahmad Azhar Basyir, MISKAWAIH Riwayat Hidup dan Pemikiran Filsafatnya, (Yogyakarta: Nur Cahaya, 1983), hlm. 14
                [12] Drs. Hasan basri, M.Ag, filsafat pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), Hlm. 231
                [13] Prof. Dr. Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam: Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integrative, (Jakarta: Rajawali pers, 2011), Hlm. 7
                [14] Dr. Masduki Duryat, M.PdI, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Penguatan Pendidikan Agama Islam Di Institusi Yang Bermutu Dan Berdaya Saing, (Bandung: Alfabeta, 2016), hlm 19
                [15] Ibid, hlm 19-20
                [16] Ibid, hlm. 20
                [17] Dr. Masduki Duryat, M.PdI, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Penguatan Pendidikan Agama Islam Di Institusi Yang Bermutu Dan Berdaya Saing, (Bandung: Alfabeta, 2016), hlm 20-21
                [18] Prof. Dr. Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam: Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integrative, (Jakarta: Rajawali pers, 2011), Hlm. 7
                [19] Dr. Masduki Duryat, M.PdI, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Penguatan Pendidikan Agama Islam Di Institusi Yang Bermutu Dan Berdaya Saing, (Bandung: Alfabeta, 2016), hlm 21

Selasa, 03 Oktober 2017

SHALAT JAMA’, QASHAR DAN SHALAT DALAM KEADAAN DARURAT

SHALAT JAMA’, QASHAR DAN SHALAT DALAM KEADAAN DARURAT


Description: C:\Users\ASUS\Pictures\LifeFrame\logo ums.jpg









Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Fiqih
Dosen Pengampu: Maria Ulfa, S.PdI, M.Pd

Disusun Oleh:
Ngadino                           (G000140019)
Sebastian Wisnu Aji         (G000140137)
Zulfikar Al Muhammady (G0001401   )
Kelas C

FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Shalat merupakan salah satu Rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim, baik muslim yang sehat maupun sakit.  Shalat wajib atau Fardhu tidak dapat ditinggalkan maupun diwakilkan. Seseorang yang sudah memenuhi syarat untuk melaksanakan shalat fardu, maka shalat adalah haram hukumnya untuk ditinggalkan dalam keadaan bagaimanapun. Akan tetapi Allah Swt. memberikan rukhsah (keringanan) kepada umat islam dalam kedaaan tertentu untuk meringankan pelaksanaan shalat.
Diantara keringanan yang diberikan Allah Swt. kepada hambanya adalah dengan memperbolehkan mengqashar dan menjama’ shalat bagi orang yang bepergian (Musafir). Selain memberikan keringanan kepada orang musafir, Allah Swt. juga memberikan keringanan kepada orang yang sedang sakit, orang yang berada dalam kendaraan serta orang yang sedang berada dalam bahaya. Keringanan-keringanan tersebut merupakan pemberian dari Allah Swt. Semuanya pernah diajarkan dan diamalkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Didalam kehidupan masyarakat, ternyata masih banyak orang yang belum memahami tentang pelaksanaan shalat dalam keadaan tertentu. Banyak orang rela meninggalkan shalatnya hanya karena sedang sakit parah, sedang bepergian maupun saat yang lainya. Hal itu salah satunya disebabkan oleh kurangnya pemahaman sebagian masyarakat tentang shalat jama’, shalat qashar dan shalat dalam keadaan darurat.
B.  Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian shalat Jama’ dan Qashar ?
2.      Apa saja dalil yang melandasi pelaksanaan shalat Jama’ dan Qashar serta shalat dalam keadaan darurat?
3.      Bagaimana tata cara pelaksanaan Shalat Jama’ dan Qashar ?
4.      Bagaimana tata cara shalat dalam keadaan sakit ?
5.      Bagaimana tata cara shalat saat berada dalam kendaraan ?
6.      Bagaimana tata cara shalat dalam keadaan bahaya (khauf) ?
C.  Tujuan
1.    Mengetahui pengertian Shalat Jama’ dan Qashar.
2.    Mengetahui dalil-dalil yang melandasi pelaksanaan shalat Jama’, Qashar dan shalat dalam keadaan darurat.
3.    Mengetahui tata cara pelaksanaan shalat jama’ dan qashar.
4.    Mengetahui tata cara shalat dalam keadaan sakit.
5.    Mengetahui tata cara shalat saat berada dalam kendaraan.
6.    Mengetahui tata cara shalat dalam keadaan bahaya (khauf).



















BAB II
PEMBAHASAN
A.      Sholat Jama’
1.    Pengertian Shalat Jama’
Jama’ berasal dari bahasa Arab yang berarti “mengumpulkan”. Sedangkan yang dimaksud dengan shalat jama’ adalah mengumpulkan shalat. Artinya mengerjakan dua shalat fardlu yang lima dalam satu waktu. Misalkan, shalat Dzuhur dan Ashar dekerjakan pada waktu Dzuhur atau sebaliknya yaitu pada waktu Ashar.[1]
2.    Dasar hukum shalat Jama’
Hadits Nabi SAW :
 








            Artinya: “Bahwa Rasulullah Saw. jika berangkat dalam bepergiannya sebelum tergelincir matahari, beliau mengakhirkan shalat Dzuhur ke waktu shalat Ashar; kemudian beliau turun dari kendaraan kemudian beliau menjamak dua shalat tersebut. Apabila sudah tergelincir matahari sebelum beliau berangkat, beliau shalat dzuhur terlebih  dahulu kemudian naik kendaraan. [Muttafaq ‘Alaih].
عَنْ مُعَاذٍ قَلَ خَرَجْنَامَعَ رَسُوْلِ الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ فِي غُزْوَةِ تَبُوكَ فَكَانَ يُصَلِّي الظُّهْرَ وَالعَصْرَ جَمِيْعًا وَالمَغْرِبَ وَالعِشَاءَجَمِيعًا (رواه مسلم)
                        Artinya : Dari Mu’adz r.a berkata : “Kami keluar bersama Nabi SAW, pada waktu terjadi perang Tabuk. Ketika itu beliau mengerjakan shalat dzuhur dan ashar dengan jama’. Maghrib dengan isya’ pun dengan jama’ (HR. Muslim)
                        Dari kedua sumber hukum di atas menunjukkan keterangan dibolehkannya mengerjakan shalat dengan jama’ antara dua shalat fardlu khususnya bagi musafir. Baik dengan jama’ ta’khir maupun jama’ taqdim.
Keterangan :
a.    Jama’ ta’khir adalah mengerjakan shalat dzuhur dengan ashar dikerjakan pada waktu ashar atau maghrib dengan isya’ dikerjakan waktu isya’.
b.    Jama’ taqdim adalah mengerjakan shalat dzuhur dengan ashar dikerjakan pada waktu dzuhur atau maghrib dengan isya’ dikerjakan pada waktu maghrib.
c.    Para ulama’ sepakat bahwa menjama’ shalat juga merupakan rukhsah, keringanan dari Allah SWT.[2]
3.    Cara Melaksanakan Jama’ shalat
Cara melaksanakan shalat jama’ yang dilaksanakan pada akhir waktu (Jama’ takhir) secara tegas tidak ditentukan, apakah dhuhur dulu baru asar ataukah sebaliknya. Demikian pula dengan shalat malam, apakah magrib dulu baru isya’ maupun sebaliknya. Kedua hadits yang diriwayatkan dari anas bin Malik dan Muadz bin Jabal, tidak kita dapati pengertian bagaimana cara melaksanakan shalat jama’. Dengan demikian, jama’ takhir itu dapat dilakukan Dhuhur dulu baru Asar maupun sebaliknya jika melakukan shalat jama’ takhir Dhuhur dan Asar. Bila melakukan shalat jama’ takhir antara Magrib dan Isya’, maka boleh mendahulukan Magrib dulu baru Isya, maupun sebaliknya.[3]
4.    Sebab-sebab diperbolehkannya menjama’ shalat
a.    Karena berada di Arafah dan Muzdalifah (ketika haji)
Ketika sedang haji di Arafah, di Mina dan Muzdalifah. Tetapi sebagian ulama hanya memperbolehkan shalat qashar, tidak dijama’, karena sebagian haditsnya hanya menyebutkan di Mina 2 rakaat (Mutafaq Alaih, dari Ibnu Umar dan Abdurrahman bin Yazid ra) tapi sebagiannya lagi berpendapat jama’ dan qashar karena dalam hadits lain menyebutkan selama haji 10 hari di Makkah, Nabi SAW mengerjakan 2 rakaat – 2 rakaat hingga kembali ke Madinah (mutafaq Alayh, dari Anas ra) Jama’ taqdim dilakukan ketika berada di Arafah, sedangkan jama’ ta’khir dilakukan ketika berada di Muzdalifah. 
b.    Karena dalam safar (bepergian)
Ketika bepergian jauh sebagai musafir (HR. Abu Dawud, dari Muadz bin Jabal) termasuk ketika akan pergi jauh untuk berperang. Hal ini didasarkan pada laporan Anas bin Malik ra bahwa : Saya pernah shalat dzuhur bersama Rasulullah SAW di Madinah empat rakaat, dan saya shalat Ashr bersama beliau di Dzul- Hulayfah dua rakaat.
c.    Karena hujan
Dasarnya adalah hadits dari Ibnu Abbas ra bahwa : “Rasulullah SAW pernah menjama’ shalatnya antara Dzuhur dengan ashar dan antara Maghrib dengan isya’ di Madinah dalam keadaan tidak takut  dan tidak hujan.” (HR. Jamaah kecuali al-Bukhari sebagian riwayat menyebutkan “dalam keadaan tidak takut dan tidak safar.” (HR. Muslim, 2/151: 1662; Abu Dawud, Al Nasai, dll) sehingga komentar Malik (1/144: 330) bahwa “menurut saya, waktu itu sedang hujan” sedangkan al-Bukhari (2/374:510 memuat komentar Ayyub ”mungkin waktu itu pada malam yang hujan”).      
d.   Karena sakit atau udzur yang menuntut istirahat total, atau keadaan lain yang benar – benar menyulitkan.
Dasar yang digunakan oleh mayoritas ulama’ sama dengan dalil sebelumnya yakni : Rasulullah SAW pernah menjama’ shalatnya dalam kondisi takut, tidak hujan, atau tidak safar (HR. Muslim, 2/151: 1662-1663, Abu Dawud, al-Nasai, dari Ibn ‘Abbas ra).
Meskipun ada dalil yang membolehkan shalat Jama’ tanpa uzur, akan tetapi dianjurkan untuk tetap shalat pada waktunya masing-masing. Perlu dicatat dalam hadits tentang jama’ shalat bukan dalam perjalanan itu tidak dilakukan dengan qashar, jadi hanya jama’ saja. Ada yang berpendapat bahwa jama’ yang dimaksud dalam hadits itu adalah mengerjakan shalat Dhuhur maupun magrib pada akhir waktu dan melakukan shalat berikutnya, yaitu Asar dan Isya’ diawal waktu (shuri). Dalam melakukan jama’ bukan dalam perjalanan ini kalau kemantapan kebolehanya jangan dijadikan kebiasaan, karena hanya karena keinginan. Jadi hanya dalam keadaan yang sangat memerlukan seperti orang sakit, takut mengalami madharat apabila tidak melakukan jama’.[4]
e.    Karena hajat (ada keperluan).
B.       Sholat Qashar
1.    Pengertian Shalat Qasar
Qashar berasal dari bahasa arab yang artinya “pendek” atau “ringkas”. Sedangkan yang dimaksud dengan shalat qashar adalah : shalat yang diringkas, yaitu diantara shalat fardlu yang lima yang mestinya empat rakaat diringkas menjadi dua rakaat. Jadi shalat yang boleh diqashar adalah shalat dzuhur dan ashar dan isya’. Sedangkan shalat subuh dan maghrib tidak dapat diqashar.[5]
2.    Dasar hukum Shalat Qashar
`tBur öÅ_$pkç Îû È@Î6y «!$# ôÅgs Îû ÇÚöF{$# $VJxîºtãB #ZŽÏWx. Zpyèyur 4 `tBur ólãøƒs .`ÏB ¾ÏmÏF÷t/ #·Å_$ygãB n<Î) «!$# ¾Ï&Î!qßuur §NèO çmø.ÍôムßNöqpRùQ$# ôs)sù yìs%ur ¼çnãô_r& n?tã «!$# 3 tb%x.ur ª!$# #Yqàÿxî $VJŠÏm§ ÇÊÉÉÈ #sŒÎ)ur ÷Läêö/uŽŸÑ Îû ÇÚöF{$# }§øŠn=sù ö/ä3øn=tæ îy$uZã_ br& (#rçŽÝÇø)s? z`ÏB Ío4qn=¢Á9$# ÷bÎ) ÷LäêøÿÅz br& ãNä3uZÏFøÿtƒ tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿx. 4 ¨bÎ) tûï͍Ïÿ»s3ø9$# (#qçR%x. ö/ä3s9 #xrßtã $YZÎ7B ÇÊÉÊÈ
Artinya : Apabila kamu berjalan jauh di bumi, maka tidak menngapa  kamu mengqashar shalat, jika kamu khawatir akan diganggu oleh orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu adalah musuh yang nyata bagi kamu.(Q.S An-Nisa (4) : 100)  Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah Mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.
Menurut pendapat Jumhur arti qashar di sini ialah: sembahyang yang empat rakaat dijadikan dua rakaat. Mengqashar di sini ada kalanya dengan mengurangi jumlah rakaat dari 4 menjadi 2, yaitu di waktu bepergian dalam keadaan aman dan ada kalanya dengan meringankan rukun-rukun dari yang 2 rakaat itu, yaitu di waktu dalam perjalanan dalam keadaan khauf. dan ada kalanya lagi meringankan rukun-rukun yang 4 rakaat dalam keadaan khauf di waktu hadhar.
Sabda Nabi SAW :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ الصَّلَاةُ أَوَّلُ مَافُرِضَتْ رَكْعَتَيْنِ فَأُقِرَتْ صَلَاةً السَّفَرَوَأًتِمَّتْ صَلَاةُ الْحَضَرِ (متفق عليه)
Artinya : Dari Aisyah r.a berkata : pertama kali diwajibkan shalat itu dua rakaat. Kemudian ia ditetapkan pada shalat shaffar dan disempurnakan shalatnya orang yang tidak bepergian (Mutafaq Alaih)
Dari ayat dan hadist di atas menunjukkan bolehnya mengqashar (meringkas) shalat bagi orang bepergian. Para ulama’ bersepakat bahwa orang musafir boleh mengqasahar shalat itu merupakan suatu keringanan dari Allah. Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat masalah berapa jarak yang ditempuh seorang musafir, sehingga diperbolehkan untuk mengqashar shalat. Ada yang berpendapat bahwa boleh mengqashar shalat jika sudah bepergian dengan jarak minimal 1 farsakh, ada juga yang berpendapat 3 farsakh bahkan ada yang sampai 16 farsakh.
Jika jarak 1 mil = 1847 meter, maka minimal jarak tempuh untuk 3 mil adalah 3 x 1847 meter = 5541 meter = 1 farsakh. Tetapi hadits lain yang biasa dijadikan pendukung 1 farsakh atau 3 mil ini sangat lemah sehingga tidak bisa dijadikan sebagai hujjah sehingga lebih aman dan hati-hati jika memilih jarak minimal 3 farsakh atau 16.623 meter. Tetapi menurut mayoritas ulama seperti Al Bukhari, Imam Syafi’i, Malik, Ahmad dan lainya, bahwa jarak minimal yang diperbolehkan bagi musafir untuk menqashar shalatnya adalah perjalanan sehari semalam dengan jarak minimal 4 burud (1 burud = 4 farsakh) atau setara dengan 16 farsakh (88.656 Km) dan dibulatkan menjadi 89 Km.[6]
3.    Cara melaksanakan shalat Qashar
Bila seorang ingin mengqashar shlalat, maka shalat yang berjumlah empat rakaat hanya dikerjakan dalam dua rakaat saja. Caranya tidak berbeda dengan shalat-shalat wajib lainnya, hanya saja pada akhir rakaat kedua langsung membaca atau Tsyahud akhir dan kemudian salam.
Menjama’ dan menqashar shalat termasuk rukhsah (kelonggaran/ keringanan) yang deiberikan oleh Allah kepada hambanya karena adanya kondisi yang menyullitkan bila shalat dilakukan dalam keadaan biasa. Rukhsah ini merupakan shadaqah dari Allah yang sangat dianjurkan untuk diterima dengan penuh ketawadlu’an. 
C.      Sholat Dalam Keadaan Darurat
1.    Sholat dalam keadaan sakit
Barangsiapa berhalangan karena sakit hingga ia tak dapat berdiri mengerjakan shalat fardhu, maka ia diperbolehkan shalat dengan duduk. Bila tidak mampu mengerjakan dengan duduk, maka ia diperbolehkan shalat dengan berbaring. Cara pelaksanaan shalatnya adalah di waktu ruku’ dan sujud cukuplah dengan menundukkan kepala. Hanya saja pada waktu sujud hendaklah menundukkan kepala itu lebih rendah daripada waktu ruku’. Firman Allah Swt:
tûïÏ%©!$# tbrãä.õtƒ ©!$# $VJ»uŠÏ% #YŠqãèè%ur 4n?tãur öNÎgÎ/qãZã_ tbr㍤6xÿtGtƒur Îû È,ù=yz ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur $uZ­/u $tB |Mø)n=yz #x»yd WxÏÜ»t/ y7oY»ysö6ß $oYÉ)sù z>#xtã Í$¨Z9$# ÇÊÒÊÈ  
Artinya:  (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.
                        Jadi mengenai cara shalat orang yang tak dapat berdiri atau duduk, ialah dengan berbaring, dan kalau tidak bisa berbaring, maka sambil terlentang dengan kedua kaki diarahkan ke kiblat sekedar kemampuanya. Dan inilah yang dianggap paling baik.[7] Hadits Nabi SAW: Dari Umran bin Husayyin, katanya: saya menderita penyakit bawasir, lalu saya tanyakan kepada Nabi SAW: bagaimana caranya shalat? Jawab beliau: Shalatlah dengan berdiri, jikalau tidak dapat hendaklah dengan duduk dan jikalau tidak dapat juga maka dengan berbaring (H.R Jama’ah kecuali Muslim).
2.    Sholat diatas kendaraan
                        Dibolehkan mengerjakan shalat Fardhu diatas kendaraan, walaupun kendaraan itu berjalan secara tidak beraturan atau berubah arah  seperti kapal dan sebagainya. Maka apabila tidak dapat dilakukan dengan berdiri karena keadaan yang tidak mengijinkan, maka shalat dapat dilakukan dengan duduk. Hal itu di dasarkan pada hadits Nabi Saw:
Dari Maimunah bin Muhran, dari Ibnu Umar, ia berkata:Nabi SAW pernah ditanya: Bagaimana caranya aku shalat diperahu? Ia menjawab: Shalatlah di perahu dengan berdiri, kecuali apabila kamu takut tenggelam. (H.R Daruqtni dan Al hakim)
                        Shalat diatas kendaraan boleh dilakukan dengan menghadap kearah mana saja sesuai dengan arah tujuan kendaraan dengan berdiri. Jika tidak bisa berdiri, maka bisa dilakukan menurut keadaan yang memungkinkan. Perahu dan unta bisa disamakan dengan kereta api, mobil motor kapal terbang dan sebagainya.[8]
3.    Sholat Khauf (dalam keadaan bahaya)
                        Shalat khauf adalah shalat dikala kita menghadapi ketakutan baik dikala menghadapi musuh atau diserang musuh.[9] Menurut Imam Ahmad, mengenai shalat khauf ini ada enam atau tujuh hadits yang memuat tata cara palaksanaanya. Ibnul Qayyim mengatakan bahwa pada dasarnya ada enam cara yang dapat dijadikan sebagai panduan, tetapi sebagian ulama memperbanyak tata cara pelaksanaanya hingga melebihi enam tata cara pelaksanaan. Yang menyebabkan terjadi demikian karena jika ada perbedaan sedikit dalam redaksi riwayat, hal itu dianggap sebagai suatu cara tersendiri.[10]
a.    Cara shalat khauf sendirian
Jika kita hendak melakukan shalat khauf sendirian, dibolehkan kita melakukan sebagaiman biasa yakni mengerjakan dua rakaat. Dan jika kita telah sangat takut, hendaklah dikerjakan yang satu rakaat menurut kemungkinan yang ada, yakni: sambil berjalan atau berkendaraan baik menghadap kiblat atau tidak. Rukun-rukun shalat khauf boleh dikerjakan dengan isyarat saja (isyarat mata atau kepala atau hati).[11] Firman Allah:
÷bÎ*sù óOçFøÿÅz »w$y_̍sù ÷rr& $ZR$t7ø.â ( !#sŒÎ*sù ÷LäêYÏBr& (#rãà2øŒ$$sù ©!$# $yJx. Nà6yJ¯=tæ $¨B öNs9 (#qçRqä3s? šcqãKn=÷ès? ÇËÌÒÈ  
Artinya: “Jika kamu dalam Keadaan takut (bahaya), Maka Shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. kemudian apabila kamu telah aman, Maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”
b.    Cara shalat khauf secara berjama’ah
Bila kita hendak melakukan shalat khauf secara berjama’ah maka sifatnya (caranya) adalah menurut apa yang telah diterangkan oleh Alqur’an dan perbuatan Rasulullah SAW sendiri. Rasulullah SAW telah memberikan beberapa contoh bagaimana malakukan shalat khauf dengan berjama’ah. Diantaranya adalah ada yang dikerjakan dengan dua rakaat dan ada pula yang dikerjakan dengan satu rakaat saja.[12]
Dari Jabir ia berkata: “Aku pernah mengikuti shalat khauf bersama Rasulullah SAW, kemudian beliau mengatur barisan kami menjadi dua shaf di belakangnya, sementara musuh berada diantara kami dan diarah kiblat. Kemudian Rasulullah SAW takbir dan kamipun takbir semuanya, lalu Rasulullah SAW ruku’ dan kamipun ruku’ bersama. kemudian Rasulullah SAW mengangkat kepalanya dari ruku’ lalu kamipun mengangkat kepala kami semuanya. Kemudian Rasulullah SAW turun hendak sujud dan diikuti oleh shaf yang pertama, sedangkan shaf yang kedua tetap berdiri menghadap musuh, lalu setelah Nabi SAW selesai sujud bersama shaf yang pertama, maka shaf kedua maju dan shaf pertama mundur, kemudian nabi SAW ruku’dan kamipun ruku’ semuanya. Kemudian Nabi SAW mengangkat kepalanya dari ruku’ dan kamipun mengangkat kepala semuanya. Kemudian Nabi SAW turun sujud bersama shaf yang dibelakangnya (yaitu shaf yang kedua dalam rakaat yang pertama sedangkan shaf yang kedua berdiri kearah dan jurusan musuh, maka tatkala Nabi SAW selesai sujud lalu mereka (shaf pertama dan kedua ikut sujud kemudian Nabi SAW salam dan kamipun salam semuanya. (HR. Ahmad, Muslim, Ibnu Majah dan Nasa’i).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Shalat jama’ adalah menggabungkan atau mengerjakan dua shalat fardhu dalam satu waktu shalat, yaitu dhuhur dengan ashar dan magrib dengan isya’. Apabila mengerjakan shalat jama’ antara dhuhur dengan asar di waktu dhuhur, magrib dengan isya’ di waktu magrib maka disebut jama’ taqdim. Jika sebaliknya, yakni menjama’ shalat dhuhur dan asar di waktu asar dan magrib dengan isya’ diwaktu isya’, maka dinamakan jama’ takhir. Sedangkan shalat subuh, tidak boleh dijama’ dengan shalat apapun. Beberapa penyebab diperbolehkanya melaksanakan shalat jama’ adalah Karena berada di Arafah dan Muzdalifah (ketika haji), Karena dalam safar (bepergian), Karena hujan, Karena sakit atau udzur dan Karena hajat (ada keperluan).
Shalat qashar adalah meringkas shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat saja. Shalat yang boleh di qashar adalah shalat Dhuhur, Asar dan Isya’, sedangkan shalat subuh dan magrib tidak dapat di qashar. Shalat qashar merupakan keringanan yang diberikan oleh Allah Swt. kepada orang yang sedang dalam bepergian (musafir).
Selain shalat jama’ dan qashar, Allah Swt. juga memberikan keringanan kepada umat islam. bagi orang yang sakit dan tidak dapat mengerjakan shalat dengan berdiri, maka diperbolehkan mengerjakan shalat dengan duduk, dan jika tidak bisa maka boleh dengan berbaring. Bagi orang yang sedang berada di atas kendaraan yang berjalan dan tak tentu arahnya, diperbolehkan untuk mengerjakan shalat dengan berdiri, jika tidak memungkinkan maka boleh dilakukan dengan duduk sesuai dengan arah kendaraan melaju, walaupun berubah arahnya. Bagi orang yang sedang berperang maupun sedang berada dalam ketakukan, maka boleh melakukan shalat sendiri maupun shalat berjama’ah. Shalat khauf boleh dilakukan diatas kendaraan menggunakan isyarat saja, boleh shalat satu atau dua rakaat. Sedangkan jika berjama’ah maka ada beberapa cara yang dapat digunakan sesuai dengan hadits Nabi SAW.


DAFTAR PUSTAKA

Tim LPIK UMS. 2014. Serial Al Islam dan Kemuhammadiyahan AL UBUDIYAH, Surakarta: Lembaga Pengembangan Al Islam dan Kemuhammadiyahan (LPIK) Universitas Muhammadiyah Surakarta
Tim Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 2003. Fatwa-fatwa Tarjih: Tanya Jawab Agama 1, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah
Tim Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 2004. Fatwa-fatwa Tarjih: Tanya Jawab Agama 3, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah
PP Muhammadiyah. 2014. Himpunan Putusan Tarjih, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah
Jamaluddin, Syakir. 2013. Shalat Sesuai Tuntunan Nabi Saw mengupas kontroversi hadits sekitar shalat, Yogyakarta: LPPI UMY
Sayyid Sabiq. 2006. Fiqih Sunnah, Jakarta: Pena Pundi Aksara



                [1] Tim LPIK UMS, Serial Al Islam dan Kemuhammadiyahan AL UBUDIYAH, Surakarta: Lembaga Pengembangan Al Islam dan Kemuhammadiyahan (LPIK) Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2014, cet. 4, hlm. 134
                [2] Tim LPIK UMS, Serial Al Islam dan Kemuhammadiyahan AL UBUDIYAH, Surakarta: Lembaga Pengembangan Al Islam dan Kemuhammadiyahan (LPIK) Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2014, cet. 4, hlm. 134
                [3] Tim Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Fatwa-fatwa Tarjih: Tanya Jawab Agama 1, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2003, hlm. 60
                [4] Tim Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Fatwa-fatwa Tarjih: Tanya Jawab Agama 3, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2004, hlm. 86
                [5] Tim LPIK UMS, Serial Al Islam dan Kemuhammadiyahan AL UBUDIYAH, Surakarta: Lembaga Pengembangan Al Islam dan Kemuhammadiyahan (LPIK) Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2014, cet. 4, hlm. 133
                [6] Syakir Jamaluddin, Shalat Sesuai Tuntunan Nabi Saw mengupas kontroversi hadits sekitar shalat, Yogyakarta: LPPI UMY, 2013, hlm. 165
                [7] Tim LPIK UMS, Serial Al Islam dan Kemuhammadiyahan AL UBUDIYAH, Surakarta: Lembaga Pengembangan Al Islam dan Kemuhammadiyahan (LPIK) Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2014, cet. 4, hlm. 138
                [8] Tim LPIK UMS, Serial Al Islam dan Kemuhammadiyahan AL UBUDIYAH, Surakarta: Lembaga Pengembangan Al Islam dan Kemuhammadiyahan (LPIK) Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2014, cet. 4, hlm. 138-139
                [9] Ibid, hlm. 139
                [10] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006, hlm 419 terjemahan dari Fiqhus sunnah, Darul Fath Nor Hasanuddin
                [11] Tim LPIK UMS, Serial Al Islam dan Kemuhammadiyahan AL UBUDIYAH, Surakarta: Lembaga Pengembangan Al Islam dan Kemuhammadiyahan (LPIK) Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2014, cet. 4, hlm. 139
                [12] Tim LPIK UMS, Serial Al Islam dan Kemuhammadiyahan AL UBUDIYAH, Surakarta: Lembaga Pengembangan Al Islam dan Kemuhammadiyahan (LPIK) Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2014, cet. 4, hlm. 140