HAKIKAT PENGETAHUAN
Disusun Untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam
Dosen Pengampu:
Dr. H. M. Abdul Fattah Santoso, M.Ag
Disusun oleh:
SEBASTIAN WISNU
AJI (G000140137)
KELAS C
FAKULTAS AGAMA
ISLAM
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH SURAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia dibekali akal dan pikiran
sehingga manusia memiliki pengetahuan yang tidak di miliki oleh makhluk lain di
dunia ini. Pengetahuan memang identik dengan ilmu, tak jarang para ilmuwan
sering menggunakan kedua kata tersebut secara bersamaan maupun berdampingan.
Mengenai pengertian pengetahuan, terdapat banyak sekali pendapat beberapa ahli,
baik ahli filsuf barat ataupun filsuf muslim. Para ilmuwan barat mayoritas
berpendapat bahwa pengetahuan itu hanya pada sesuatu yang dapat di buktikan
dengan indera, tetapi para ilmuwan muslim, beranggapan bahwa pengetahuan itu
tidak hanya terbatas pada hal yang bisa di indera saja, tetapi hal yang tak
bisa di indera pun bisa dinamakan pengetahuan jika diterangkan dalam wahyu.
Di dalam perspektif islam, banyak ayat Al
qur’an yang menerangkan tentang pengetahuan mengenai alam ini, terdapat pula
perintah agar manusia menggunakan akalnya untuk memahami kekuasaan Allah SWT.
Kemajuan teknologi saat ini dihasilkan dari pengetahuan yang di ciptakan
manusia melalui usahanya, tentu saja berkat kemampuan manusia itu sendiri dalam
memahami isi Al Qur’an. Banyak ilmuwan islam yang telah menyumbangkan
pengetahuanya dalam memajukan agamanya, seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Imam
Ghazali dan lain sebagainya. Biar bagaimanapun pengetahuan akan selalu
berkembang dan akan ada pengetahuan-pengetahuan baru di masa yang akan datang.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian pengetahuan menurut
perspektif islam?
2. Apa sumber pengetahuan?
3. Bagaimana metode untuk mendapatkan
pengetahuan dan cara kerjanya?
4. Apa hakikat pengetahuan?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian pengetahuan
menurut perspektif islam.
2. Mengetahui sumber pengetahuan.
3. Mengetahui metode untuk mendapatkan pengetahuan dan cara
kerjanya.
4. Mengetahui hakikat pengetahuan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian pengetahuan dan Hakikat Pengetahuan
Pengetahuan (knowledge) adalah sesuatu yang diketahui langsung dari
pengalaman, berdasarkan panca indra, dan diolah oleh akal budi secara spontan.
Pengetahuan masih pada tataran inderawi dan spontanitas, belum ditata melaui
metode yang jelas. Pada intinya, pengetahuan bersifat spontan, subjektif dan
intuitif. Pengetahuan berkaitan erat dengan kebenaran, yaitu kesesuaian antara
pengetahuan yang dimiliki manusia dengan realitas yang ada pada objek. Namun,
kadang-kadang kebenaran yang ada dalam pengetahuan masih belum tertata rapi,
belum teruji secara metodologis. Orang melihat gunung meletus, itu pengetahuan.
Orang merasakan gempa, lalu lari tunggang langgang ke luar rumah, itu
pengetahuan. Pengetahuan masih sering bercampur dengan insting.
Ilmu (sains) berasal dari bahasa latin scientin yang berarti
knowledge. Ilmu dipahami sebagai proses penyelidikan yang berdisiplin tertentu.
Ilmu bertujuan untuk meramalkan dan memahami gejala-gejala alam. Meramalkan
tidak lain sebuah proses. Meramalkan bisa saja melalui penafsiran. Ilmu
sebenarnya juga sebuah pengetahuan, namun telah melalui proses penataan yang
sistematis. Ilmu telah memiliki metodologi yang andal. Ilmu dan pengetahuan
sering kali dikaitkan, hingga membentuk dunia ilmiah. Gabungan ilmu dan pengetahuan
selalu terjadi di ranah penelitian apapun. Ilmu tanpa pengetahuan tentu sulit
terjadi. Pengetaahuan yang disertai ilmu, jelas akan lebih esensial.
Ilmu pengetahuan ialah ilmu pengetahuan yang telah diolah kembali
dan disusun secara metodis, sistematis, konsisten, dan koheren. Inilah
ciri-ciri ilmu pengetahuan, yang membedakan degan pengetahuan biasa. Agar
pengetahuan menjadi ilmu, maka pengetahuan tadi harus dipilih (menjadi suatu
bidang tertentu dari kenyataan) dan disusun secara metodis, sistematis, serta
konsisten. Pengetahuan dan ilmu pengetahuan tentu berkaitan dengan
realitas.orang yang mempelajari pengetahuan dan ilmu pengetahuan akan
menelususri realitas secara cermat. Hakikat kenyataan atau realiats memang bisa
didekati dari sisi ontologi dengan dua macam sudut padang yaitu kuantitatif dan
kualitatif.[1]
Kata ilmu berasal dari bahasa Arab ‘ilm (‘alima-ya’lamu-‘ilm), yang
berarti pengetahuan (al-ma’rifah), kemudian berkembang menjadi pengetahuan
tentang hakikat sesuatu yang dipahami secara mendalam.2 Dari asal kata ‘ilm ini
selanjutnya di-Indonesia-kan menjadi ‘ilmu’ atau ‘ilmu pengetahuan.’ Dalam
perspektif Islam, ilmu merupakan pengetahuan mendalam hasil usaha yang
sungguh-sungguh (ijtihād) dari para ilmuwan muslim (‘ulamā’/mujtahīd) atas
persoalanpersoalan duniawī dan ukhrāwī dengan bersumber kepada wahyuAllah.
Al-Qur’ān dan al-Hadīts merupakan wahyu Allah yang berfungsi sebagai
petunjuk (hudan) bagi umat manusia, termasuk dalam hal ini adalah petunjuk
tentang ilmu dan aktivitas ilmiah. Al-Qur’ān memberikan perhatian yang sangat
istimewa terhadap aktivitas ilmiah. Terbukti, ayat yang pertama kali turun
berbunyi ; “Bacalah, dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang telah menciptakan”. Membaca,
dalam artinya yang luas, merupakan aktivitas utama dalam kegiatan ilmiah.
Di samping itu, kata ilmu yang telah menjadi bahasa Indonesia bukan
sekedar berasal dari bahasa Arab, tetapi juga tercantum dalam al-Qur’ān. Kata
ilmu disebut sebanyak 105 kali dalam al-Qur’ān. Sedangkan kata jadiannya
disebut sebanyak 744 kali. Kata jadian yang dimaksud adalah; ‘alima (35 kali),
ya’lamu (215 kali), i’lām (31 kali), yu’lamu (1 kali), ‘alīm (18 kali), ma’lūm
(13 kali), ‘ālamīn (73 kali), ‘alam (3 kali), ‘a’lam (49 kali), ‘alīm atau
‘ulamā’ (163 kali), ‘allām (4 kali), ‘allama (12 kali), yu’limu (16 kali),
‘ulima (3 kali), mu’allām (1 kali), dan ta’allama (2 kali).5
Selain kata ‘ilmu, dalam al-Qur’ān juga banyak disebut ayat-ayat yang,
secara langsung atau tidak, mengarah pada aktivitas ilmiah dan pengembangan
ilmu, seperti perintah untuk berpikir, merenung, menalar, dan semacamnya.
Misalnya, perkataan ‘aql (akal) dalam al-Qur’ān disebut sebanyak 49 kali,
sekali dalam bentuk kata kerja lampau, dan 48 kali dalam bentuk kata kerja
sekarang. Salah satunya adalah :”Sesungguhnya seburuk-buruk makhluk melata di
sisi Allah adalah mereka (manusia) yang tuli dan bisu, yang tidak menggunakan
akalnya”. Kata fikr (pikiran) disebut sebanyak 18 kali dalam al-Qur’ān, sekali
dalam bentuk kata kerja lampau dan 17 kali dalam bentuk kata kerja sekarang.
Salah satunya adalah; “…mereka yang selalu mengingat Allah pada saat berdiri,
duduk maupun berbaring, serta memikirkan kejadian langit dan bumi”.7 Tentang
posisi ilmuwan, al-Qur’ān menyebutkan: “Allah akan meninggikan derajat
orang-orang beriman dan berilmu beberapa derajat”.
Di samping al-Qur’ān, dalam Hadīts Nabi banyak disebut tentang aktivitas
ilmiah, keutamaan penuntut ilmu/ilmuwan, dan etika dalam menuntut ilmu.
Misalnya, hadits-hadits yang berbunyi; “Menuntut ilmu merupakan kewajiban
setiap muslim dan muslimah” (HR. Bukhari-Muslim).
Besarnya
perhatian Islam terhadap ilmu pengetahuan, menarik perhatian Franz Rosenthal,
seorang orientalis, dengan mengatakan: ”Sebenarnya tak ada satu konsep pun yang
secara operatif berperan menentukan dalam pembentukan peradaban Islam di segala
aspeknya, yang sama dampaknya dengan konsep ilmu. Hal ini tetap benar, sekalipun
di antara istilah-istilah yang paling berpengaruh dalam kehidupan keagamaan
kaum muslimin, seperti “tauhîd” (pengakuan atas keesaan Tuhan), “al-dîn” (agama
yang sebenar-benarnya), dan banyak lagi kata-kata yang secara terus menerus dan
bergairah disebutsebut. Tak satupun di antara istilah-istilah itu yang memiliki
kedalaman dalam makna yang keluasan dalam penggunaannya, yang sama dengan kata
ilmu itu.[2]
B. Sumber
pengetahuan
Pengetahuan diperoleh dari
sumber yang lebih dari satu. Yaitu sumber empirisme, rasionalisme, intuisi dan
wahyu.
1. Empirisme
menyatakan bahwa manusia memperoleh pengetahuan dengan pengalaman yang
dialaminya. Teori ini bersifat inderawi jadi antara satu dengan yang lain
memiliki perbedaan. Akal dalam teori ini hanyalahmengelola konsep gagasan
inderawi saja dan tidak dikedepankan. Jhon locke (1632-1704) mengemukakan teori
tabula rasa. Maksudnya manusia pada awalnya kosong kemudian pengalaman mengisi
kekosongan tersebut sehingga menjadi pengetahuan. Pengalaman di dapat dari
indera yang awalnya sederhana menjadi sangat komplek jadi sekomplek apapun
pengetahuan akan dapat kembali pada sumbernya yaitu indera. Jadi pengetahuan
yang tidak dapat di indera bukan pengetahuan yang benar karena indera adalah
sumber pengetahuan. Teori ini menjadi lemah karena indera manusia memiliki
keterbatasan.
2. Rasionalisme
menjelaskan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang
benar diukur dan diperoleh dari akal. Teori ini membenarkan pemakaian indera
untuk memperoleh pengetahuan akan tetapi harus di olah dengan akal. Jadi sumber
kebenarannya adalah akal. Di sini juga dapat mengetahui tentang konsep-konsep
pengetahuan yang abstrak. Namun toeri ini memiliki kelemahan karena data-data
tidak selalu sempurna sehingga akal tidak dapat menmukan pengetahuan yang
benar-benar sempurna.
3. Intuisi
menerangkan bahwa pengetahuan diperoleh dari pemikiran tingkat tinggi. Kegiatan
intuisi dan analisis bisa saling membantu untuk menemukan kebenaran. Mereka
yang menggunakan intuisi biasanya memperoleh pengetahuan dengan perantara hati
bukan indera maupun akal. Sehingga teori ini menggunakan metode perenungan yang
mendalam untuk mencari kebenaran.
4. Sumber
yang terakhir adalah wahyu yang menjelaskan bahwa pengetahuan di peroleh
langsung dari Tuhan melalui perantara Nabi. Pengetahuan yang seperti ini tidak
memerlukan waktu untuk berfikir ataupun merenung. Pengetahuan didapatkan
kemudian dikaji lebih lanjut sehingga dapat meningkatkan keyakinan tentang
kebenarannya. Berbeda dengan ilmu pengetahuan yang melakukan penelitian
terlebih dahulu baru kemudian mendapat pengetahuan dan di ketahui
kebenarannya.Wahyu Allah (agama) berisikan pengetahuan, baik mengenai kehidupan
seseorang yang terjangkau oleh pengalaman, maupun yang mencakup masalah
transedental, seperti latar belakang dan tujuan penciptaan manusia, dunia, dan
segenap isinya serta kehidupan di akhirat nanti.[3]
C.
Metode dan cara kerja metode untuk memperoleh pengetahuan
Pembicaraan tentang sumber, sarana, dan metode
ilmu pengetahuan dalam Filsafat Ilmu dikenal dengan epistemologi atau teori
ilmu pengetahuan, yang di dalamnya selalu membicarakan dua hal, apa itu pengetahuan?
dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan? yang pertama terkait dengan teori
dan isi ilmu, sedangkan yang kedua berkenaan dengan metodologi. Terkait dengan
pertanyaan pertama, apa itu pengetahuan? epistemologi Islam menjawab bahwa
pengetahuan ilmiah adalah segala sesuatu yang bersumber dari alam fisik dan
non-fisik. Dengan demikian Paradigma anthroposentris bertolak belakang dengan
paradigma teosentris.Anthroposentris berasal dari kata anthropoid (manusia) dan
centre (pusat). Dengan demikian anthroposentris adalah paradigma yang
menempatkan manusia sebagai pusat segala pengalamannya, dan manusialah yang
menentukan segalanya. Sedangkan teosentris berasal dari kata theo (tuhan) dan
centre (pusat), yakni paradigma yang menempatkan Tuhan sebagai pusat dan sumber
segala kehidupan.
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani
episteme yang berarti knowledge atau science. Secara sederhana diartikan menjadi
jelas bahwa sumber pengetahuan dalam Islam adalah alam fisik yang bisa diindra
dan alam metafisik yang tidak bisa diindera seperti Tuhan, malaikat, alam
kubur, alam akhirat. Alam fisik dan alam non-fisik sama bernilainya sebagai
sumber ilmu pengetahuan dalam Islam. Hal ini sangat berbeda dengan epistemologi
Barat yang hanya mengakui alam fisik sebagai sumber ilmu pengetahuan. Dengan demikian,
sesuatu yang bersifat non-indrawi, non-fisik, dan metafisik tidak termasuk ke
dalam obyek yang dapat diketahui secara ilmiah.
Berkenaan dengan problema epistemologi yang
kedua, bagaimana ilmu pengetahuan diperoleh? Terdapat perbedaan antara Islam
dan Barat. Dalam epistemologi Islam, ilmu pengetahuan bisa dicapai melalui tiga
elemen; indra, akal, dan hati. Ketiga elemen ini dalam praktiknya diterapkan
dengan metode berbeda.
1. Indra
untuk metode observasi (bayānī)
Dengan panca indra, manusia mampu menangkap
obyek-obyek indrawi melalui observasi.
2. Akal
untuk metode logis atau demonstratif (burhānī)
Dengan menggunakan akal manusia dapat menangkap
obyek-obyek spiritual (ma’qūlāt) atau metafisik secara silogistik, yakni menarik
kesimpulan tentang hal-hal yang tidak diketahui dari hal-hal yang telah
diketahui. Dengan cara inilah akal manusia, melalui refleksi dan penelitian
terhadap alam semesta, dapat mengetahui Tuhan dan hal-hal gaib lainnya
3. Hati
untuk metode intuitif (‘irfānī)
Melalui metode intuitif atau eksperensial
(dzauq) sebagaimana dikembangkan kaum sufi dan filosof iluminasionis (isyrāqiyah),
hati akan mampu menangkap obyek-obyek spiritual dan metafisik.
Antara akal dan intuisi, meskipun sama-sama
mampu menangkap obyek-obyek spiritual, keduanya memiliki perbedaan fundamental
secara metodologis dalam menangkap obyek-obyek tersebut. Sebab sementara akal
menangkapnya secara inferensial, intuisi menangkap obyek-obyek spiritual secara
langsung, sehingga mampu melintas jantung yang terpisah lebar antara subyek dan
obyek. Jika ilmu pengetahuan dalam Islam bisa dicapai melalui tiga sumber/alat;
indra, akal budi, dan hati, maka dalam epistemologi Barat, pengetahuan ilmiah
hanya bisa diraih melalui indra dan akal.
Penggunaan kedua alat ini sebagai sumber ilmu
pengetahuan didahului konflik tajam ilmuwan Barat selama kurang lebih dua abad.
Konflik tersebut tercermin dalam dua aliran filsafat, yakni Rasionalisme dan Empirisme.
Rasionalisme yang dipelopori Rene Descartes (1596-1650) berpandangan bahwa
sumber pengetahuan yang dipandang memenuhi syarat ilmiah adalah akal budi. Akal
merupakan satusatunya sumber pengetahuan yang benar. Pengetahuan yang diperoleh
melalui akal tidak mungkin salah. Sementara itu empirisme berpendapat bahwa
sumber satu-satunya pengetahuan manusia adalah pengalaman indrawi, yakni
pengalaman yang terjadi melalui dan berkat bantuan panca indra. Dalam pandangan
kaum empiris, panca indra memainkan peranan penting dibanding akal budi karena;
pertama, semua proposisi yang diucapkan manusia merupakan hasil laporan dari pengalaman.
Kedua, manusia tidak memiliki konsep atau ide apapun tentang sesuatu kecuali
yang didasarkan pada apa yang diperoleh dari pengalaman. Ketiga, akal budi
hanya bisa berfungsi apabila memiliki acuan ke realitas atau pengalaman.
Konflik antara pendukung rasionalisme dan
empirisme akhirnya bisa didamaikan oleh Immanuel Kant dengan melakukan sintesis
terhadap keduanya, yang kemudian disebutkan dengan kritisisme atau rasionalisme
kritis. Menurut Kant terdapat dua unsur penting yang ikut melahirkan
pengetahuan manusia, yaitu; pancaindra dan akal budi.
Semua pengetahuan manusia tentang dunia
bersumber dari pengalaman indrawi. Namun
akal budi ikut menentukan bagaimana manusia menangkap fenomina di sekitarnya,
karena dalam akal budi sudah ada “kondisi-kondisi” tertentu yang memungkinkan
manusia menangkap dunia sebagaimana adanya. Kondisi-kondisi tersebut mirip
dengan kacamata yang dipakai seseorang ketika melihat berbagai obyek di sekitarnya.
Kacamata itu sangat mempengaruhi pengetahuan orang tersebut tentang obyek yang
dilihat.[4]
Menurut john hopers dalam bukunya An
Introduction To Philosophical Analisys mengemukakan ada enam alat untuk
memperoleh pengetahuan:
1.
Pengalaman indera
Orang sering merasa bahwa pengindraan adalah
alat yang paling vital dalam memperoleh pengetahuan. Memang dalam hidup manusia
tampaknya pengindraan adalah satu-satunya alat untuk mencerap segala objek yang
ada di luar diri manusia. Karena terlalu menekankan pada kenyataan, paham
demikian dalam filsafat disebut realisme. Relaisme adalah suatu paham yang
berpendapat bahwa semua yang dapat diketahui hanya kenyataan. Jadi, pengetahuan
berawal dari kenyataan yang dapat diindrai.
2. Nalar
Nalar adalah
salah satu corak berpikir dengan menggabungkan dua pemikiran atau lebih dengan
maksud untuk mendapatkan pengetahuan baru. Asas-asas pemikiran:
Principium Identitas = sesuatu itu mesti sama dengan dirinya
sendiri/asas kesamaan (A=A).
Principium Contradictionis = dua paham yang bertentangan, tidak mungkin
benar dalam waktu yang bersamaan (asas pertentangan).
Principium Tertii Exclusi = apabila dua pendapat yang berlawanan tidak
mungkin keduanya benar dan tidak mungkin keduanya salah (asas tidak ada
kemungkinan ketiga).
3.
Otoritas
Otoritas adalah kekuasaan yang sah
yang dimiliki oleh seseorang dan diakui oleh kelompoknya yang memiliki
kewibawaan. Pengetahuan yang diperoleh melalui otoritas ini biasanya tanpa di
uji lagi, karena orang yang telah menyampaikanya mempunyai kewibawaan tertentu.
Jadi kesimpulanya adalah bahwa pengetahuan karena adanya otoritas terjadi
melalui wibawa seseorang, sehingga orang lain mempunyai pengetahuan.
4.
Intuisi
Intuisi adalah suatu kemampuan yang ada pada
diri manusia melalui proses kejiwaan tanpa suatu rangsangan atau stimulus mampu
untuk membuat pernyataan berupa pengetahuan. Peran intuisi sebagai sumber
pengetahuan adalah kemampuan dalam diri manusia yang dapat melahirkan
pernyataan-pernyantaan berupa pengetahuan. Pengetahuan yang diperoleh melalui
intuisi tidak dapat di buktikan seketika atau melalui kenyataan karena
pengetahuan ini muncul tanpa adanya pengetahuan terlebih dahulu.
5. Wahyu
Wahyu adalah berita yang disampaikan
oleh Tuhan kepada Nabi-Nya untuk kepentingan umatnya. Wahyu merupakan
pengetahuan tuhan yang disampaikan kepada umatnya, yaitu manusia. Pengetahuan
ini disampaikan melalui nabi-nabi yang diutus sepanjang zaman. Agama merupakan
pengetahuan bukan saja mengenai kehidupan sekarang yang terjangkau pengalaman,
namun juga mencakup masalah-masalah yang bersifat transedental seperti latar
belakang penciptaan manusia dan hari kemudian di akhirat nanti. Agama dimulai
dari rasa percaya dan lewat pengkajian, selanjutnya selanjutnya kepercayaan itu
bisa meningkat atau menurun.
6.
Keyakinan
Keyakinan adalah kemampuan yang ada
pada diri manusia yang diperoleh melalui kepercayaan. Sesungguhnya sumber pengetahuan antara wahyu dan keyakinan
ini susah untuk dibedakan secara jelas, karena keduanya menetapkan bahwa alat
yang dipergunakan adalah keyakinan. Perbedaanya barangkali keyakinan terhadap
wahyu yang secara dogmatik diikutinya adalah peraturan yang berupa agama.
adapun keyakinan melalui kemampuan kejiwaan manusia merupakan pematangan dari
kepercayaan. Karena kepercayaan itu bersifat dinamis mampu menyesuaikan dengan
keadaan yang sedang terjadi, sedangkan keyakinan itu sangat statis, kecuali ada
bukti-bukti yang akurat dan cocok buat kepercayaanya.[5]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kata Pengetahuan sering dipakai
bersamaan dengan istilah ilmu, sehingga
orang sering menyebutnya dengan ilmu pengetahuan. Ilmuwan barat dan ilmuwan
muslim berbeda pendapat dalam memahami pengetahuan, ilmuwan barat menganggap
ilmu itu hanya sebatas pada sesuatu yang nyata dan dapat dibuktikan dengan
indera (tangible). Sedangkan ilmuwan muslim beranggapan pengetahuan itu tidak
hanya sebatas pengetahuan yang nyata, tapi juga mencakup pengetahuan yang tak
nyata, atau tidak bisa di indera dan hanya bisa diyakini dengan keimanan (Intangible).
Pengetahuan dapat diperoleh melalui pengalaman indra, otoritas, nalar, intuisi,
wahyu, dan keyakinan.
B. Saran
Pengetahuan merupakan sesuatu yang akan terus
berkembang. Manusia harus menggunakan indera maupun intuisinya untuk terus
mempelajari ciptaan Allah SWT sesuai batas kemampuan manusia itu sendiri.
Mencari pengetahuan harus di dasari dengan keimanan yang kuat agar tak
terjerumus ke dalam pemikiran yang bertentangan dengan ajaran agama, karena tak
semua pengetahuan dapat di indera oleh manusia.
Terkadang pengetahuan itu bersifat abstrak, dan hanya iman lah yang bisa
untuk memahaminya.
DAFTAR PUSTAKA
Slamet Raharjo, “Hakikat Ilmu Pengetahuan” http://www.kompasiana.com/ diakses tanggal 1 oktober 2015
Mohammad Kosim. 2008. “Ilmu Pengetahuan Dalam Islam (Perspektif
Filosofis-Historis)”ejournal.stainpamekasan.ac.id/index.php/tadris/article/view/232/223,
2008 diakses tanggal 4 Oktober 2015
Sahrahman & Nazeli Rahmatina, ”Dasar-Dasar Filosofis
Pendidikan Islam Hakikat Kebenaran Dan Pengetahuan Nilai Kebaikan Dan
Keindahan”, repository.iain-antasari.ac.id diakses tanggal 28 september
2012
Idzam Fautanu, Idzam. 2012. Filsafat ilmu teori dan aplikasi,
Jakarta: Referensi
[1] Slamet
raharjo, Hakikat Ilmu Pengetahuan, http://www.kompasiana.com/slamet.rahardjo/hakikat-ilmu-pengetahuan_54f80fa0a33311f2608b4a0f,
yang dikutip dari buku karangan Endraswara Swardi,”Filsafat ilmu”, 2012
[2] Mohammad
Kosim, “ILMU PENGETAHUAN DALAM ISLAM (Perspektif Filosofis-Historis)”
ejournal.stainpamekasan.ac.id/index.php/tadris/article/view/232/223, 2008
[3]
Sahrahman & Nazeli Rahmatina, Dasar-Dasar Filosofis Pendidikan Islam
Hakikat Kebenaran Dan Pengetahuan Nilai Kebaikan Dan Keindahan,
repository.iain-antasari.ac.id/ yang dikutip dari Prof. Dr. Amsal Bakhtiar,
Filsafat Ilmu, opcit, hal. 94-110
[4] Mohammad
Kosim, “ILMU PENGETAHUAN DALAM ISLAM (Perspektif Filosofis-Historis)” ejournal.stainpamekasan.ac.id/index.php/tadris/article/view/232/223,
2008
[5] Prof.
Dr. Idzam Fautanu, MA, Filsafat ilmu teori dan aplikasi, Referensi, 2012, hal
68-71