ANJURAN BELAJAR MENURUT Q.S AT-TAUBAH AYAT 122
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tafsir Tarbawi
Dosen Pengampu: Drs. Najmuddin Zuhdi, M.Ag
Disusun oleh:
SEBASTIAN WISNU AJI (G000140137)
AMRON SUJARWO (G000140021)
KELAS B (Tarbiyah)
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Surat at-Taubah ayat 122 merupakan surat
yang turun di Madinah. Surat itu turun ketika Rasulullah Saw memerintahkan
pasukan untuk mengikuti perang. Banyak sekali orang yang mengajukan diri kepada Nabi Saw untuk ikut
berperang, kemudian turunlah ayat ini yang memerintahkan kepada mereka untuk
sebagian memperdalam ilmu agama. Mereka yang memperdalam ilmu agama agar dapat
memberikan peringatan kepada kaum mereka apabila mereka telah kembali dari
peperangan.
Seandainya
mereka semua ikut pergi berperang, maka dikhawatirkan tak ada yang memperdalam
ilmu agama. Maka sejak masa Rasulullah Saw, masa Khulafa urrayidin hingga masa
bani umayah dan Abbasiyah banyak bermunculan para ulama. Banyak sahabat nabi
yang memperdalam ilmu agama, seperti Ibnu Abbas dan sahabat lainya, selain
memimpin pemerintahan dan perang para khulafa urrasyidin juga memiliki ilmu
agama yang baik. Hingga bermunculan ulama pada masa Umayah dan Abbasiyah seperti,
Imam Abu Hanifah, Imam Maliki, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal dan masih
banyak ulama yang lain.
Hingga saat ini umat islam dianjurkan
memperdalam ilmu agama. Menuntut ilmu sangat penting dalam ajaran islam, karena
perbuatan tanpa didasari dengan ilmu maka perbuatan itu akan sia-sia. Selain
itu, dengan ilmu kita dapat memperingatkan orang lain jika mereka menyimpang
dari ajaran agama. Manusia dikaruniai akal dan pikiran yang tidak dimiliki
makhluk lain agar dapat mempelajari ilmu apapun. Alangkah ruginya manusia jika
tidak dapat memanfaatkan anugerah itu dengan sebaik-baiknya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penafsiran Q.S at-Taubah
ayat 122 menurut Tafsir al Maraghi, Tafsir Al Mishbah dan Tafsir Al Azhar?
2. Apa nilai pendidikan yang terkandung dalam Q.S
at-Taubah ayat 122?
C. Tujuan
1. Mengetahui penafsiran Q.S at-Taubah
ayat 122 menurut Tafsir al Maraghi, Tafsir Al Mishbah dan Tafsir Al Azhar.
2.
Mengetahui nilai pendidikan yang terkandung dalam Q.S at-Taubah ayat
122.
BAB II
PEMBAHASAN
۞وَمَا
كَانَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةٗۚ فَلَوۡلَا نَفَرَ مِن كُلِّ
فِرۡقَةٖ مِّنۡهُمۡ طَآئِفَةٞ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ
قَوۡمَهُمۡ إِذَا رَجَعُوٓاْ إِلَيۡهِمۡ لَعَلَّهُمۡ يَحۡذَرُونَ ١٢٢
Artinya: “Tidak sepatutnya bagi
mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari
tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya” (at-Taubah: 122)
A.
Penafsiran Q.S at-Taubah ayat 122 Menurut Tafsir Al Maraghi
1. Penafsiran kata-kata sulit
Nafara : Berangkat
Perang
Laula : kata-kata
yang berarti anjuran dan dorongan melakukan sesuatu yang disebutkan sesudah
kata-kata tersebut, apabila hal itu terkjadi di masa yang akan datang. Tetapi laula
juga berarti kecaman atas meninggalkan perbuatan yang disebutkan sesudah
kata itu, apabila merupakan hal yang telah lewat. Apabilang hal yang dimaksud
merupakan perkara yang mungkin dialami, maka bisa juga laula, itu
berarti perintah mengerjakannya.
Al-Firqah : Kelompok
Besar.
Ath-Tha’ifah : Kelompok
Kecil.
Tafaqqaha : Berusaha
keras untuk mendalami dan memahami suatu perkara dengan susah payah untuk
memperolehnya.
Andzarahu :
Menakut-nakuti dia.
Hadzirahu : Berhati-hati
terhadapnya.
2. Pengertian Secara Ijmal (umum)
Ayat ini menerangkan kelengkapan dari hukum-hukum yang menyangkut
perjuangan. Yakni, hukum mencari ilmu dan mendalami agama. Artinya, bahwa
pendalaman ilmu agama itu merupakan cara berjuang dengan menggunakan hujjah dan
penyampaian bukti-bukti, dan juga merupakan rukun terpenting dalam menyeru
kepada iman dan menegakkan sendi-sendi Islam. Karena perjuangan yang
menggunakan pedang itu sendiri tidak disyari’atkan kecuali untuk menjadi
benteng dan pagar dari da’wah tersebut, agar tidak dipermainkan oleh
tangan-tangan ceroboh dari orag-orang kafir munafik.
Menurut riwayat Al-Kalabi dari Ibnu ‘Abbas, bahwa dia mengatakan,
“setelah Allah mengecam keras terhadap orang-orang yang tidak menyertai
Rasulullah dalam peperangan, maka tidak seorang pun diantara kami yang tinggal untuk tidak menyertai bala
tentara atau utusan perang untuk selama-lamanya. Hal ini benar-benar mereka
lakukan, sehingga tinggalah Rosulullah sendiri. Maka, turunlah wahyu:
وَمَا كَانَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةٗۚ
Tidaklah patut bagi orang-orang mu’min, dan juga tidak dituntut
supaya mereka seluruhnya beerangkat menyertai setiap utusan peering yang keluar
menuju medan perjuangan. Karena, perang itu sebenarnya fardhu qifayah, yang
apabila telah dilaksanakan oleh sebagian maka gugurlah yang lain, bukan fardhu
‘ain,yang wajib dilakukan setiap orang. Perang barulah menjadi wajib,
apabila Rosulullah sendiri keluar dan mengerahkan kaum mu’minin menuju medan
perang.
Mengapa tidak segolongan saja, atau
sekelompok kecil saja yang berangkat ke medan tempur dari tiap-tiap golongan
besar kaum Mu’minin seperti penduduk suatu negeri atau suatu suku, dengan
maksud supaya orang-orang mu’min seluruhnya dapat mendalami agama mereka.
Yaitu, dengan cara orang yang tidak berangkat dan tinggal di kota (Madinah),
berusaha keras untuk memahami agama, yang Wahyu-Nya turun kepada Rosulullah
saw. Hari demi hari, berupa ayat-ayat, maupun yang berupa hadits-hadits dari
Nabi SAW. Yang mnerangkan Ayat-ayat tersebut, baik dengan perkataan maupun perbuatan.
Dengan demikian, maka diketahuilah hukum dengan hikmahnya, dan menjadi jelas
hal yang masih muj’mal dengan adanya perbuatan Nabi tersebut. Disamping
itu orang yang mendalami agama memberi peringatan kepada kaumnya yang pergi
perang menghadapi musuh, apabila mereka telah kembali kedalam kota.
Artinya, agar tujuan utama dari orang-orang yang mendalami agama
itu karena ingin membimbing kaumnya, mengajari mereka dan memberi peringatan
kepada mereka tentang akibat kebodohan dan tidak mengamalkan apa yang mereka
ketahui, dengan harapan supaya mereka takut kepada Allah dan berhati-hati
terhadap akibat kemaksiatan, disamping agar seluruh kaum Mu’minin mengetahui
agama mereka, mampu menyebarkan da’wahnyadan membelanya, serta menerangkan
rahasia-rahasiaNya kepada seluruh umat manusia. Jadi, bukan bertujuan supaya
memperoleh kepemimpinan dan kedudukan yang tinggi serta mengungguli kebanyakan
orang-orang lain, atau atau bertujuan memperoleh harta dan meniru orang zalim
dan para penindas dalam berpakaian, berkendaraan maupun dalam persaingan
diantara sesame mereka.
Ayat tersebut merupakan isyarat tentang kewajibannya dalam
pendalaman agama dan bersedia mengajarkannya ditempat-tempat pemukiman serta
memahamkan orang-orang lain kepada agama, sebanyak yang dapat memperbaiki
keadaan mereka. Sehingga, mereka tak bodoh lagi tentang hukum-hukum agama
secara umum yang wajib diketahui oleh setiap Mu’minin.
Orang-orang yang beruntung, dirinya memperoleh kesempatan untuk
mendalami agama dengan maksud seperti ini, mereka mendapat kedudukan yang
tinggi disisi Allah swt, dan tidak kalah tingginya dari kalangan pejuang yang
mengorbankan harta dan jiwa dalam meninggikan kalimat Allah SWT. Membela agama
dan ajaran-Nya. Bahkan , mereka boleh jadi lebih utama dari para pejuang pada selain
situasi ketika mempertahankan agma menjadi Wajib’ain bagi setiap orang.
B.
Penafsiran Q.S at-Taubah ayat 122 Menurut
Tafsir Al Azhar
Dengan
susun kalimat Falaulaa, yang berarti diangkat naiknya, maka Tuhan
telah menganjurkan pembagian tugas. Seluruh orang yang beriman diwajibkan
berjihad dan diwajibkan pergi berperang menurut kesanggupan masing-masing, baik
secara ringan maupun berat. Maka dengan ayat ini Tuhan pun menuntun, hendaklah
jihad itu dibagi kepada jihad bersenjata dan jihad memperdalam ilmu pengetahuan
dan pengertian tentang agama. Jika yang pergi ke medan perang itu bertarung
nyawa dengan musuh, maka yang tinggal digaris belakang memperdalam pengertian
(Fiqh) tentang agama. Sebab tidaklah pula kurang penting jihad yang mereka
hadapi. Ilmu agama wajib diperdalam. Dan tidak semua orang akan sanggup
mempelajari seluruh agama itu secara ilmiah. Ada pahlawan di medan perang
dengan pedang di tangan dan ada pula pahlawan digaris belakang merenung kitab.
Keduanya penting dan keduanya isi mengisi. Suatu hal yang terkandung dalam ayat
ini yang musti kita perhatikan yaitu alangkah baiknya keluar dari tiap-tiap golongan
itu, diantara mereka ada satu kelompok, supaya mereka memperdalam
pengertian tentang agama.
Jika
dilihat sepintas, seakan-akan ada perlawanan diantara ayat 42 yang menerangkan
bahwa kalau seruan peperangan (nafir) telah datang, hendaklah pergi berperang,
biar ringan atau berat, muda ataupun tua, bujang atau sugah berkeluarga dengan
ayat 122 diatas. Sebab ayat 122 ini dijelaskan bahwa tidaklah baik jika orang
yang beriman itu turut semuanya. Padahal tidaklah kedua ayat ini bertentangan atau berlawanan dan tidak pula
terjadi nasikh-mansukh. Sebab di ayat
122 ini masih jelas diterangkan bahwa golongan-golongan itu
keluar apabila panggilan sudah datang. Mereka semuanya datang kepada Rasulullah
untuk mendaftarkan dirinya. Tetapi hendaklah dari golongan-golongan yang banyak
itu, yang di waktu itu datang berbondong kepada Rasulullah, ada satu kelompok (Thaifatun),
yang bersungguh-sungguh memperdalam pengetahuanya dalam hal agama.
Tegasnya
adalah bahwa semua golongan itu harus berjihad, turut berjuang. Tetapi
Rasulullah kelak membagi tugas mereka masing-masing. Ada yang berjihad ke garis
muka dan ada yang berjihad di garis belakang. Sebab itu maka kelompok kecil
yang memperdalam pengetahuanya tentang agama itu adalah sebagian daripada jihad
juga.
Ayat
ini adalah tuntunan yang jelas sekali tentang pembagian pekerjaan di dalam
melaksanakan seruan perang. Alangkah baiknya keluar dari tiap golongan-golongan
itu, yaitu golongan kaum beriman yang besar bilanganya, yang berintikan
penduduk kota madinah dan kampung-kampung sekelilingnya. Dari golongan yang
besar itu adakan satu kelompok (cara sekarangnya suatu panitia), atau komisi
atau satu dan khusus, yang tidak terlepas dari ikatan golongan besar itu, dalam
rangka berperang. Tugas mereka adalah memperdalam pengertian, penyelidikan
dalam soal-soal keagamaan belaka.
Boleh
dikatakan bahwa selama zaman Rasulullah Saw masih hidup, keadaan selalu dalam keadaan
perang. Cara sekarangnya adalah selalu berevolusi. Musuh-musuh mengepung dari
segala penjuru. Maka ayat ini memberi tuntunan jangan lengah tentang nilai apa
yang sebenarnya diperjuangkan. Yang diperjuangkan adalah agama.
Zaman
modern seperti sekarang inipun telah membuktikan lebih dalam lagi kebenaran
ayat 122 ini. Zaman modern adalah zaman specialisasi, kejurusan dan kekhususan
suatu ilmu. Ilmu-ilmu agama islam sendiri mempunyai bidang-bidang khusus
sendiri. Jarang seorang ulama yang ahli dalam segala ilmu. Sebab itu maka
pengertian terhadap cabang-cabangnya wajiblah diperdalam.
Pada
ujung ayat 122 intinya adalah kewajiban dari kelompok yang tertentu memperdalam
faham agama itu, yaitu supaya dengan pengetahuan mereka yang lebih dalam,
mereka dapat memberikan peringatan dan ancaman kepada kaum mereka sendiri
apabila mereka kembali pulang supaya kaum itu berhati-hati. Dengan adanya ujung
ayat ini nampaklah tugas yang berat dari ulama dalam islam.
C. Penafsiran
Q.S at-Taubah ayat 122 Menurut Tafsir Al Mishbah
Anjuran
demikian gencar, pahala yang demikian besar bagi yang berjihad serta kecaman
yang sebelumnya ditujukan kepada yang enggan, menjadikan kaum beraiman
berduyun-duyun dan dengan penuh semangat maju ke medan juang. Ini tidak pada
tempatnya, karena ada arena perjuangan lain yang harus dipikul.
Sementara ulama menyebut riwayat yang menyatakan bahwa ketika Rasul
SAW,tiba kembali ke Madinah. Beliau mengutus pasukan yang terdiri dari beberapa
orang ke beberapa daerah. Banyak sekali yang ingin terlibat dalam pasukan kecil
itu. Sehingga jika diperuntukan, maka tidak akan tinggal di Madinah bersama
Rasul kecuali beberapa gelintir orang saja. Ayat ini menurut kaum muslimin
untuk membagi tugas dengan menegaskan bahwa tidak sepatutnya bagi orang-orang
mukmin yang selama ini dianjurkan agar bergegas menuju medan perang pergi
semua ke medan perang sehingga tidak tersisa lagi yang melaksanakan
tugas-tuga yang lain. Jika memang tidak ada panggilan yang bersifat mobilisasi
umum maka mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan yakni kelompok
besar diantara mereka beberapa orang dari golongan itu untuk
bersunguh-sungguh memeperdalam pengetahuan tentang agama sehingga mereka
dapat memperoleh manfaat untuk diri mereka dan untuk orang lain dan juga
untuk memeberi peringatan kepada kau mereka yang menjadi kaum mereka yang
menjadi anggota pasukan yang ditugaskan Rosulullah SAW. Itu apabila nanti
setelah selesainyatugas, mereka yakni anggota pasukan itu telah kembali kepada
mereka yang memperdalam pengetehuan itu, supaya mereka yang jauh dari
Rosulullah SAW. Karena tugasnya dapat berhati-hati
dan menjaga diri mereka.
Menurut al-Biqa’i, kata tha ifah dapat berarti satu atau dua
orang. Adajuga yang tidak menentukan jumlah tertentu, namun yang jelas ia lebih
kecil dari firqah yang bermakna sekelompok manusia yang berbeda
dengan kelompok yang lain. Karena itu, satu suku atau bangsa, masing-masing
dapat dinamai firqah.
Kata liyatafaqqahu terbilang
dari kata fiqh yakni pengetahuan yang mendalam menyangkut hal-hal yang sulit
dan tersembunyi. Bukan sekedar pengetahuan. Penambahan huruf ta pada
kata tersebut mengandung makna kesungguhan upaya, yang dengan keberhasialan
upaya itu para pelaku menjadi pakar-pakar dalam bidangnya. Demikian kata
tersebut mengundang kaum muslimin untuk menjadi pakar-pakar pengetahuan.
Kata fiqh disini bukan terbatas pada apa yang diistilahkan
dalam disiplin ilmu agama dengan ilmu fiqh, yakni pengetahuan tentang
hukum-hukum agama islam yang bersifat praktis dan yang diperoleh melalui
penalaran terhadap dalil-dalil yang rinci. Tetapi kata itu mencakup segala
macam pengetahuan mendalam. Pengaitan tafaqquh (pengetahuan mendalam
itu) dengan agama, sepertinya hanya untuk menggaris bawahi tujuan pendalaman
itu, bukan dalam arti pengetahuan dalam ilmu agama. Pembagian tentang disiplin
ilmu-ilmu agama dan ilmu umum belum dikenal pada masa turunnya Al-Qur’an bahkan
tidak diperkenalkan oleh Allah swt. Al-Qur’an tidak membedakan ilmu. Ia tidak
mengenal ilmu agama dan ilmu umum, karena semua ilmu bersumber dari Allah swt.
Yang di perkenalkannya adalah ilmu yang diperoleh dengan usaha manusian kasby
(acquired knowledge) dan ilmu merupakan anugerah Allah swt tanpa usaha
manusia (ladunny/perennial).
Kita tidak dapat berkata bahwa karena ayat ini hanya menyatakan bahwa
cukup thaifah yang dapat berarti satu dua orang yang menuntut dan
memperdalam ilmu, maka selebihnya harus menjadi anggota pasukan yang bertugas
perang. Memang, boleh jadi ketika turun ayat ini demikin itu halnya, tetapi ini
bukan berarti bahwa setiap saat hingga kini harus demikian. Apalagi tujuan
utama ayat ini adalah menggambarkan bagaimana seharusnya tugas-tugas dibagi
sehingga tidak semua mengerjakan satu jenis pekerjaan saja. Karena itu juga,
kita tidak dapat berkata bahwa masyarakat islam kini atau bahkan pada zaman
Nabi saw hanya melakukan dua tugas pokok, yaitu perang dan menuntut ilmu agama.
Tidak! Sungguh banyak tugas lain, dan setiap masyarakat bekewajiban membagi
diri guna memenuhi semua kebutuhannya.
Ayat ini menggaris bawahi pentingnya memperdalam ilmu dan
menyebarluaskan informasi yang benar. Ia tidak kurang penting dari upaya
mempertahankan wilayah. Bahkan pertahanan wilayah berkaitan erat dengan
kemampuan informasi serta kehandalan ilmu pengetahuan atau seumber daya
manusia. Sementara ulama menggaris bawahi persamaan redaksi ajuran/perintah
menyangkut kedua hal tersebut. Ketika berbicara soal perang, redaksi ayat 120
dimulai dengan menggunakan istilah maakana, demikian juga ayat ini yang
berbicara tentang pentingnya memperdalam ilmu dan menyebarkan informasi.
Di atas, ketika menjelaskan ayat 115 surat ini telah dikemukakan
pandangan asy-Sya’rawi tentang arti
maakana. Jika demikian, ayat 115 dan ayat 120 yang lalu bermaksud
menyatakan bahwa tidak ada kemampuan untuk penduduk Madinah meninggalkan
Rosulullah sendiri di Madinah. Tidak ada juga kemampuan bagi seluruh kaum
muslimin untuk pergi berperang tanpa ada yang tinggal memperdalam ilmu dan
menyebarkan informasi. Jadi, kalua kemampuan itu tidak ada, berarti mereka
tidak dapat mengelak dari perintah tersebut,sehingga mau tidak-mau harus
terlaksana. Maka dari itu disini para ulama bertemu ketika menyatakan bahwa
redaksi tersebut digunakan untuk memerintahkan sesuatu dengan sungguh-sungguh.
Tertera diatas bahwa yang dimaksud dengan orang yang memperdalam
pengetahuan demikian juga memberi perintah adalah mereka yang
tinggal bersama Rosulullah. Dan tidak mendapat tugas sebagai anggota pasukan,
sedang yang diberi perintah adalah anggota pasukan yang keluar melaksanakan
tugas yang dibebankan rosulullah. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Ada juga ulama antara lain Ibnu Jarir at-thabari, yang membalik
pengertian diatas. Menurutnya, yang memperdalam pengetahuan adalah
anggota pasukan yang ditugaskan Nabi saw. Dengan perjuangan dan kemenangan
menghadapi musuh yang mereka raih. Mereka memperoleh pengetahuan tentang
kebenaran Islam serta pembelaan Allah swt. Terhadap agamaNya. Dan dengan
demikian, jika mereka kembali kepada kelompok yang tidak ikut bersama mereka
yakni yang tinggal bersama Nabi saw di Madinah, mereka yang pergi berjuang itu
akan menyampaikan bencana yang menimpa musuh-musuh Allah yang membangkang
perintahNya dan memperingatkan mereka tentang kuasa Allah, agar yang tingggal
bersama Rosulullah, berhati hati dalam sikap dan kelakuan mereka. Sayyid
Quthubtermasuk yang mendukung pendapat At Thabari. Secara panjang lebar dan
dalam beberapa halaman pakar ini mengemukakan analisisnya. Antara lain ia
menulisbahwa kelirulah siapa yang menduga bahwa orang-orang yang tidak ikut
berperang, berjihad atau bergerak dinamis, adalah yang bertugas memperdalam
pengetahuan. Tidak sejalan dengan ciri agama Islam. Pergerakan adalah ciri
agama Islam karena itu Islam tidak dapat dipahami kecuali oleh mereka yang
bergerak, mereka yang berjuang untuk membumikannya dalam kenyataan hidup.
Pengalaman menunjukan bahwa mereka yang tidak terlibat dan menyatu dalam
pergerakan agama ini, tidak memahaminya, walau ia berkonsentrasi penuh
mempelajarinya dari buku-buku dengan cara yang dingin. Fiqh agama ini,
tulisannya lebih jauh, tidak muncul kecuali dari arena perjuangan, bukannya
dipetik dari seorang pakar yang duduk di saat pergerakan menjadi wajib, tidak
juga dari mereka yang kini berdiam diri menghadapi buku-buku dan kertas-kertas.
Demikin antara lain Sayyid Quthub.
Pendapat ini sepertinya sedikit dipaksakan, apalagi tidaklah pada
tempatnya menamai pengalaman mereka yang terlibat dalam perang atau kemenangan
yang mereka raih sebagai upaya tafaqquh fid din ( memperdalam pengetahuan
agama).
Ayat ini menggaris bawahi terlabih dahulu motivasi bertafaqquh/
memperdalam pengetahuan bagi mereka yang dianjurkan keluar, sedang motivasi
utama mereka yang berperang bukanlah tafaqquh. Ayat ini tidak berkata
bahwa hendaklah jika mereka pulang mereka bertafaqquh, tetapi berkata “untuk
memberi peringatang kepada kaum merka apabila mereka telah kembali kepada
mereka, supaya mereka berhati-hati. Peringatan itu hasil Tafaqquh. Itu
tidak mereka peroleh pada saat terlibat dalam perang, karena yang terlibat
ketika itu pastilah sedemikian sibuk menyusun setrategi dan menghalang
serangan, mempertahankan diri sehingga tidak mungkin ia dapat bertafaqquh
memperdalam pengetahuan. Memeng harus diaakui, bahwa yang bermaksud
memperdalam pengetahuan agama harus memahami arena, serta memperhatikan
kenyataan yang ada, tetapi itu tidak berarti tidak dapat dilakukanoleh mereka
yang tidak terlibat dalam perang. Bahkan tidak keliru jika dikatakan bahwa yang
tidak terlibat dalam perang itulah yang lebih mampu menarik pelajaran,
mengembangkan ilmu dari pada mereka yang terlibat langsung dalam perang.
D. Nilai
pendidikan yang terkandung dalam Q.S at-Taubah: 122
Surat
at-Taubah ayat 122 merupakan ayat yang menjelaskan tentang pentingnya menuntut
ilmu agama. Nilai pendidikan yang terkandung dalam ayat itu adalah sebagai
berikut:
1. Kewajiban
mendalami agama dan kesiapan untuk mengajarkannya.
Maksudnya, tidaklah patut bagi orang-orang mukmin, dan
juga tidak dituntut supaya mereka seluruhnya berangkat menyertai setiap utusan
perang yang keluar menuju medan perjuangan. Karena menuntut ilmu itu merupakan
suatu kewajiban sehinnga menuntut ilmu mempunyai derajat yang sangat tinggi.
sehingga di sejajarkan dengan orang yang perang dijalan Allah.
2. Hasil dari
pembelajaran itu tidak hanya untuk dirinya sendiri tetapi diharapkan mampu
untuk menyampaikan terhadap orang lain.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menuntut
ilmu merupakan salah satu bentuk jihad
dijalan allah swt, khususnya memperdalam ilmu agama. Tujuan dari menuntut ilmu
agama adalah untuk memberikan peringatan
kepada sesama muslim agar selalu berhati-hati dan tidak menyimpang dari ajaran
agama. Selain itu memperdalam ilmu agama guna mengajarkanya kepada orang lain
agar sampai kepada keturunan kita nanti.
DAFTAR PUSTAKA
M. Quraish Shihab. 2002. TAFSIR AL-MISHBAH Pesan, Kesan, dan
keserasian Al-Qur’an Volume 5, Jakarta: Lentera Hati
Ahmad Mustafa Al-Maragi. 1992. Terjemah Tasir Al-Maragi Juz
10-11-12, Semarang: CV Toha Putra
Hamka. 1965. Al- Azhar Juzu’ XI, Jakarta: Yayasan Nurul
Islam
Terimakasih..
BalasHapusTafsir al misbah at Taubah ayat 122 ini ada dihalaman berapa ya?
Terimakasih sekali lagi