Jumat, 11 Desember 2015

Hakikat Pengetahuan



HAKIKAT PENGETAHUAN

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Dr. H. M. Abdul Fattah Santoso, M.Ag











Disusun oleh:
SEBASTIAN WISNU AJI  (G000140137)
KELAS C
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
            Manusia dibekali akal dan pikiran sehingga manusia memiliki pengetahuan yang tidak di miliki oleh makhluk lain di dunia ini. Pengetahuan memang identik dengan ilmu, tak jarang para ilmuwan sering menggunakan kedua kata tersebut secara bersamaan maupun berdampingan. Mengenai pengertian pengetahuan, terdapat banyak sekali pendapat beberapa ahli, baik ahli filsuf barat ataupun filsuf muslim. Para ilmuwan barat mayoritas berpendapat bahwa pengetahuan itu hanya pada sesuatu yang dapat di buktikan dengan indera, tetapi para ilmuwan muslim, beranggapan bahwa pengetahuan itu tidak hanya terbatas pada hal yang bisa di indera saja, tetapi hal yang tak bisa di indera pun bisa dinamakan pengetahuan jika diterangkan dalam wahyu.
Di dalam perspektif islam, banyak ayat Al qur’an yang menerangkan tentang pengetahuan mengenai alam ini, terdapat pula perintah agar manusia menggunakan akalnya untuk memahami kekuasaan Allah SWT. Kemajuan teknologi saat ini dihasilkan dari pengetahuan yang di ciptakan manusia melalui usahanya, tentu saja berkat kemampuan manusia itu sendiri dalam memahami isi Al Qur’an. Banyak ilmuwan islam yang telah menyumbangkan pengetahuanya dalam memajukan agamanya, seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Imam Ghazali dan lain sebagainya. Biar bagaimanapun pengetahuan akan selalu berkembang dan akan ada pengetahuan-pengetahuan baru di masa yang akan datang.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian pengetahuan menurut perspektif islam?
2. Apa sumber pengetahuan?
3. Bagaimana metode untuk mendapatkan pengetahuan dan cara kerjanya?
4. Apa hakikat pengetahuan?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian pengetahuan menurut perspektif islam.
2. Mengetahui sumber pengetahuan.
3. Mengetahui  metode untuk mendapatkan pengetahuan dan cara kerjanya.
4. Mengetahui hakikat pengetahuan.


BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian pengetahuan dan Hakikat Pengetahuan
Pengetahuan (knowledge) adalah sesuatu yang diketahui langsung dari pengalaman, berdasarkan panca indra, dan diolah oleh akal budi secara spontan. Pengetahuan masih pada tataran inderawi dan spontanitas, belum ditata melaui metode yang jelas. Pada intinya, pengetahuan bersifat spontan, subjektif dan intuitif. Pengetahuan berkaitan erat dengan kebenaran, yaitu kesesuaian antara pengetahuan yang dimiliki manusia dengan realitas yang ada pada objek. Namun, kadang-kadang kebenaran yang ada dalam pengetahuan masih belum tertata rapi, belum teruji secara metodologis. Orang melihat gunung meletus, itu pengetahuan. Orang merasakan gempa, lalu lari tunggang langgang ke luar rumah, itu pengetahuan. Pengetahuan masih sering bercampur dengan insting.
Ilmu (sains) berasal dari bahasa latin scientin yang berarti knowledge. Ilmu dipahami sebagai proses penyelidikan yang berdisiplin tertentu. Ilmu bertujuan untuk meramalkan dan memahami gejala-gejala alam. Meramalkan tidak lain sebuah proses. Meramalkan bisa saja melalui penafsiran. Ilmu sebenarnya juga sebuah pengetahuan, namun telah melalui proses penataan yang sistematis. Ilmu telah memiliki metodologi yang andal. Ilmu dan pengetahuan sering kali dikaitkan, hingga membentuk dunia ilmiah. Gabungan ilmu dan pengetahuan selalu terjadi di ranah penelitian apapun. Ilmu tanpa pengetahuan tentu sulit terjadi. Pengetaahuan yang disertai ilmu, jelas akan lebih esensial.
Ilmu pengetahuan ialah ilmu pengetahuan yang telah diolah kembali dan disusun secara metodis, sistematis, konsisten, dan koheren. Inilah ciri-ciri ilmu pengetahuan, yang membedakan degan pengetahuan biasa. Agar pengetahuan menjadi ilmu, maka pengetahuan tadi harus dipilih (menjadi suatu bidang tertentu dari kenyataan) dan disusun secara metodis, sistematis, serta konsisten. Pengetahuan dan ilmu pengetahuan tentu berkaitan dengan realitas.orang yang mempelajari pengetahuan dan ilmu pengetahuan akan menelususri realitas secara cermat. Hakikat kenyataan atau realiats memang bisa didekati dari sisi ontologi dengan dua macam sudut padang yaitu kuantitatif dan kualitatif.[1]
Kata ilmu berasal dari bahasa Arab ‘ilm (‘alima-ya’lamu-‘ilm), yang berarti pengetahuan (al-ma’rifah), kemudian berkembang menjadi pengetahuan tentang hakikat sesuatu yang dipahami secara mendalam.2 Dari asal kata ‘ilm ini selanjutnya di-Indonesia-kan menjadi ‘ilmu’ atau ‘ilmu pengetahuan.’ Dalam perspektif Islam, ilmu merupakan pengetahuan mendalam hasil usaha yang sungguh-sungguh (ijtihād) dari para ilmuwan muslim (‘ulamā’/mujtahīd) atas persoalanpersoalan duniawī dan ukhrāwī dengan bersumber kepada wahyuAllah.
Al-Qur’ān dan al-Hadīts merupakan wahyu Allah yang berfungsi sebagai petunjuk (hudan) bagi umat manusia, termasuk dalam hal ini adalah petunjuk tentang ilmu dan aktivitas ilmiah. Al-Qur’ān memberikan perhatian yang sangat istimewa terhadap aktivitas ilmiah. Terbukti, ayat yang pertama kali turun berbunyi ; “Bacalah, dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang telah menciptakan”. Membaca, dalam artinya yang luas, merupakan aktivitas utama dalam kegiatan ilmiah.
Di samping itu, kata ilmu yang telah menjadi bahasa Indonesia bukan sekedar berasal dari bahasa Arab, tetapi juga tercantum dalam al-Qur’ān. Kata ilmu disebut sebanyak 105 kali dalam al-Qur’ān. Sedangkan kata jadiannya disebut sebanyak 744 kali. Kata jadian yang dimaksud adalah; ‘alima (35 kali), ya’lamu (215 kali), i’lām (31 kali), yu’lamu (1 kali), ‘alīm (18 kali), ma’lūm (13 kali), ‘ālamīn (73 kali), ‘alam (3 kali), ‘a’lam (49 kali), ‘alīm atau ‘ulamā’ (163 kali), ‘allām (4 kali), ‘allama (12 kali), yu’limu (16 kali), ‘ulima (3 kali), mu’allām (1 kali), dan ta’allama (2 kali).5
Selain kata ‘ilmu, dalam al-Qur’ān juga banyak disebut ayat-ayat yang, secara langsung atau tidak, mengarah pada aktivitas ilmiah dan pengembangan ilmu, seperti perintah untuk berpikir, merenung, menalar, dan semacamnya. Misalnya, perkataan ‘aql (akal) dalam al-Qur’ān disebut sebanyak 49 kali, sekali dalam bentuk kata kerja lampau, dan 48 kali dalam bentuk kata kerja sekarang. Salah satunya adalah :”Sesungguhnya seburuk-buruk makhluk melata di sisi Allah adalah mereka (manusia) yang tuli dan bisu, yang tidak menggunakan akalnya”. Kata fikr (pikiran) disebut sebanyak 18 kali dalam al-Qur’ān, sekali dalam bentuk kata kerja lampau dan 17 kali dalam bentuk kata kerja sekarang. Salah satunya adalah; “…mereka yang selalu mengingat Allah pada saat berdiri, duduk maupun berbaring, serta memikirkan kejadian langit dan bumi”.7 Tentang posisi ilmuwan, al-Qur’ān menyebutkan: “Allah akan meninggikan derajat orang-orang beriman dan berilmu beberapa derajat”.
Di samping al-Qur’ān, dalam Hadīts Nabi banyak disebut tentang aktivitas ilmiah, keutamaan penuntut ilmu/ilmuwan, dan etika dalam menuntut ilmu. Misalnya, hadits-hadits yang berbunyi; “Menuntut ilmu merupakan kewajiban setiap muslim dan muslimah” (HR. Bukhari-Muslim).
Besarnya perhatian Islam terhadap ilmu pengetahuan, menarik perhatian Franz Rosenthal, seorang orientalis, dengan mengatakan: ”Sebenarnya tak ada satu konsep pun yang secara operatif berperan menentukan dalam pembentukan peradaban Islam di segala aspeknya, yang sama dampaknya dengan konsep ilmu. Hal ini tetap benar, sekalipun di antara istilah-istilah yang paling berpengaruh dalam kehidupan keagamaan kaum muslimin, seperti “tauhîd” (pengakuan atas keesaan Tuhan), “al-dîn” (agama yang sebenar-benarnya), dan banyak lagi kata-kata yang secara terus menerus dan bergairah disebutsebut. Tak satupun di antara istilah-istilah itu yang memiliki kedalaman dalam makna yang keluasan dalam penggunaannya, yang sama dengan kata ilmu itu.[2]
B. Sumber pengetahuan
Pengetahuan diperoleh  dari sumber yang lebih dari satu. Yaitu sumber empirisme, rasionalisme, intuisi dan wahyu.
1. Empirisme menyatakan bahwa manusia memperoleh pengetahuan dengan pengalaman yang dialaminya. Teori ini bersifat inderawi jadi antara satu dengan yang lain memiliki perbedaan. Akal dalam teori ini hanyalahmengelola konsep gagasan inderawi saja dan tidak dikedepankan. Jhon locke (1632-1704) mengemukakan teori tabula rasa. Maksudnya manusia pada awalnya kosong kemudian pengalaman mengisi kekosongan tersebut sehingga menjadi pengetahuan. Pengalaman di dapat dari indera yang awalnya sederhana menjadi sangat komplek jadi sekomplek apapun pengetahuan akan dapat kembali pada sumbernya yaitu indera. Jadi pengetahuan yang tidak dapat di indera bukan pengetahuan yang benar karena indera adalah sumber pengetahuan. Teori ini menjadi lemah karena indera manusia memiliki keterbatasan.
2. Rasionalisme menjelaskan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diukur dan diperoleh dari akal. Teori ini membenarkan pemakaian indera untuk memperoleh pengetahuan akan tetapi harus di olah dengan akal. Jadi sumber kebenarannya adalah akal. Di sini juga dapat mengetahui tentang konsep-konsep pengetahuan yang abstrak. Namun toeri ini memiliki kelemahan karena data-data tidak selalu sempurna sehingga akal tidak dapat menmukan pengetahuan yang benar-benar sempurna.
3. Intuisi menerangkan bahwa pengetahuan diperoleh dari pemikiran tingkat tinggi. Kegiatan intuisi dan analisis bisa saling membantu untuk menemukan kebenaran. Mereka yang menggunakan intuisi biasanya memperoleh pengetahuan dengan perantara hati bukan indera maupun akal. Sehingga teori ini menggunakan metode perenungan yang mendalam untuk mencari kebenaran.
4. Sumber yang terakhir adalah wahyu yang menjelaskan bahwa pengetahuan di peroleh langsung dari Tuhan melalui perantara Nabi. Pengetahuan yang seperti ini tidak memerlukan waktu untuk berfikir ataupun merenung. Pengetahuan didapatkan kemudian dikaji lebih lanjut sehingga dapat meningkatkan keyakinan tentang kebenarannya. Berbeda dengan ilmu pengetahuan yang melakukan penelitian terlebih dahulu baru kemudian mendapat pengetahuan dan di ketahui kebenarannya.Wahyu Allah (agama) berisikan pengetahuan, baik mengenai kehidupan seseorang yang terjangkau oleh pengalaman, maupun yang mencakup masalah transedental, seperti latar belakang dan tujuan penciptaan manusia, dunia, dan segenap isinya serta kehidupan di akhirat nanti.[3] 
C. Metode dan cara kerja metode untuk memperoleh pengetahuan
Pembicaraan tentang sumber, sarana, dan metode ilmu pengetahuan dalam Filsafat Ilmu dikenal dengan epistemologi atau teori ilmu pengetahuan, yang di dalamnya selalu membicarakan dua hal, apa itu pengetahuan? dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan? yang pertama terkait dengan teori dan isi ilmu, sedangkan yang kedua berkenaan dengan metodologi. Terkait dengan pertanyaan pertama, apa itu pengetahuan? epistemologi Islam menjawab bahwa pengetahuan ilmiah adalah segala sesuatu yang bersumber dari alam fisik dan non-fisik. Dengan demikian Paradigma anthroposentris bertolak belakang dengan paradigma teosentris.Anthroposentris berasal dari kata anthropoid (manusia) dan centre (pusat). Dengan demikian anthroposentris adalah paradigma yang menempatkan manusia sebagai pusat segala pengalamannya, dan manusialah yang menentukan segalanya. Sedangkan teosentris berasal dari kata theo (tuhan) dan centre (pusat), yakni paradigma yang menempatkan Tuhan sebagai pusat dan sumber segala kehidupan.
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani episteme yang berarti knowledge atau science. Secara sederhana diartikan menjadi jelas bahwa sumber pengetahuan dalam Islam adalah alam fisik yang bisa diindra dan alam metafisik yang tidak bisa diindera seperti Tuhan, malaikat, alam kubur, alam akhirat. Alam fisik dan alam non-fisik sama bernilainya sebagai sumber ilmu pengetahuan dalam Islam. Hal ini sangat berbeda dengan epistemologi Barat yang hanya mengakui alam fisik sebagai sumber ilmu pengetahuan. Dengan demikian, sesuatu yang bersifat non-indrawi, non-fisik, dan metafisik tidak termasuk ke dalam obyek yang dapat diketahui secara ilmiah.
Berkenaan dengan problema epistemologi yang kedua, bagaimana ilmu pengetahuan diperoleh? Terdapat perbedaan antara Islam dan Barat. Dalam epistemologi Islam, ilmu pengetahuan bisa dicapai melalui tiga elemen; indra, akal, dan hati. Ketiga elemen ini dalam praktiknya diterapkan dengan metode berbeda.
1. Indra untuk metode observasi (bayānī)
Dengan panca indra, manusia mampu menangkap obyek-obyek indrawi melalui observasi.
2. Akal untuk metode logis atau demonstratif (burhānī)
Dengan menggunakan akal manusia dapat menangkap obyek-obyek spiritual (ma’qūlāt) atau metafisik secara silogistik, yakni menarik kesimpulan tentang hal-hal yang tidak diketahui dari hal-hal yang telah diketahui. Dengan cara inilah akal manusia, melalui refleksi dan penelitian terhadap alam semesta, dapat mengetahui Tuhan dan hal-hal gaib lainnya
3. Hati untuk metode intuitif (‘irfānī)
Melalui metode intuitif atau eksperensial (dzauq) sebagaimana dikembangkan kaum sufi dan filosof iluminasionis (isyrāqiyah), hati akan mampu menangkap obyek-obyek spiritual dan metafisik.
Antara akal dan intuisi, meskipun sama-sama mampu menangkap obyek-obyek spiritual, keduanya memiliki perbedaan fundamental secara metodologis dalam menangkap obyek-obyek tersebut. Sebab sementara akal menangkapnya secara inferensial, intuisi menangkap obyek-obyek spiritual secara langsung, sehingga mampu melintas jantung yang terpisah lebar antara subyek dan obyek. Jika ilmu pengetahuan dalam Islam bisa dicapai melalui tiga sumber/alat; indra, akal budi, dan hati, maka dalam epistemologi Barat, pengetahuan ilmiah hanya bisa diraih melalui indra dan akal.
Penggunaan kedua alat ini sebagai sumber ilmu pengetahuan didahului konflik tajam ilmuwan Barat selama kurang lebih dua abad. Konflik tersebut tercermin dalam dua aliran filsafat, yakni Rasionalisme dan Empirisme. Rasionalisme yang dipelopori Rene Descartes (1596-1650) berpandangan bahwa sumber pengetahuan yang dipandang memenuhi syarat ilmiah adalah akal budi. Akal merupakan satusatunya sumber pengetahuan yang benar. Pengetahuan yang diperoleh melalui akal tidak mungkin salah. Sementara itu empirisme berpendapat bahwa sumber satu-satunya pengetahuan manusia adalah pengalaman indrawi, yakni pengalaman yang terjadi melalui dan berkat bantuan panca indra. Dalam pandangan kaum empiris, panca indra memainkan peranan penting dibanding akal budi karena; pertama, semua proposisi yang diucapkan manusia merupakan hasil laporan dari pengalaman. Kedua, manusia tidak memiliki konsep atau ide apapun tentang sesuatu kecuali yang didasarkan pada apa yang diperoleh dari pengalaman. Ketiga, akal budi hanya bisa berfungsi apabila memiliki acuan ke realitas atau pengalaman.
Konflik antara pendukung rasionalisme dan empirisme akhirnya bisa didamaikan oleh Immanuel Kant dengan melakukan sintesis terhadap keduanya, yang kemudian disebutkan dengan kritisisme atau rasionalisme kritis. Menurut Kant terdapat dua unsur penting yang ikut melahirkan pengetahuan manusia, yaitu; pancaindra dan akal budi.
Semua pengetahuan manusia tentang dunia bersumber dari pengalaman indrawi.  Namun akal budi ikut menentukan bagaimana manusia menangkap fenomina di sekitarnya, karena dalam akal budi sudah ada “kondisi-kondisi” tertentu yang memungkinkan manusia menangkap dunia sebagaimana adanya. Kondisi-kondisi tersebut mirip dengan kacamata yang dipakai seseorang ketika melihat berbagai obyek di sekitarnya. Kacamata itu sangat mempengaruhi pengetahuan orang tersebut tentang obyek yang dilihat.[4]
            Menurut john hopers dalam bukunya An Introduction To Philosophical Analisys mengemukakan ada enam alat untuk memperoleh pengetahuan:
1. Pengalaman indera
Orang sering merasa bahwa pengindraan adalah alat yang paling vital dalam memperoleh pengetahuan. Memang dalam hidup manusia tampaknya pengindraan adalah satu-satunya alat untuk mencerap segala objek yang ada di luar diri manusia. Karena terlalu menekankan pada kenyataan, paham demikian dalam filsafat disebut realisme. Relaisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa semua yang dapat diketahui hanya kenyataan. Jadi, pengetahuan berawal dari kenyataan yang dapat diindrai.
2. Nalar
            Nalar adalah salah satu corak berpikir dengan menggabungkan dua pemikiran atau lebih dengan maksud untuk mendapatkan pengetahuan baru. Asas-asas pemikiran:
      Principium Identitas = sesuatu itu mesti sama dengan dirinya sendiri/asas kesamaan (A=A).
      Principium Contradictionis = dua paham yang bertentangan, tidak mungkin benar dalam waktu yang bersamaan (asas pertentangan).
      Principium Tertii Exclusi = apabila dua pendapat yang berlawanan tidak mungkin keduanya benar dan tidak mungkin keduanya salah (asas tidak ada kemungkinan ketiga).
3. Otoritas
            Otoritas adalah kekuasaan yang sah yang dimiliki oleh seseorang dan diakui oleh kelompoknya yang memiliki kewibawaan. Pengetahuan yang diperoleh melalui otoritas ini biasanya tanpa di uji lagi, karena orang yang telah menyampaikanya mempunyai kewibawaan tertentu. Jadi kesimpulanya adalah bahwa pengetahuan karena adanya otoritas terjadi melalui wibawa seseorang, sehingga orang lain mempunyai pengetahuan.
4. Intuisi
Intuisi adalah suatu kemampuan yang ada pada diri manusia melalui proses kejiwaan tanpa suatu rangsangan atau stimulus mampu untuk membuat pernyataan berupa pengetahuan. Peran intuisi sebagai sumber pengetahuan adalah kemampuan dalam diri manusia yang dapat melahirkan pernyataan-pernyantaan berupa pengetahuan. Pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi tidak dapat di buktikan seketika atau melalui kenyataan karena pengetahuan ini muncul tanpa adanya pengetahuan terlebih dahulu.
5. Wahyu
            Wahyu adalah berita yang disampaikan oleh Tuhan kepada Nabi-Nya untuk kepentingan umatnya. Wahyu merupakan pengetahuan tuhan yang disampaikan kepada umatnya, yaitu manusia. Pengetahuan ini disampaikan melalui nabi-nabi yang diutus sepanjang zaman. Agama merupakan pengetahuan bukan saja mengenai kehidupan sekarang yang terjangkau pengalaman, namun juga mencakup masalah-masalah yang bersifat transedental seperti latar belakang penciptaan manusia dan hari kemudian di akhirat nanti. Agama dimulai dari rasa percaya dan lewat pengkajian, selanjutnya selanjutnya kepercayaan itu bisa meningkat atau menurun.
6. Keyakinan
            Keyakinan adalah kemampuan yang ada pada diri manusia yang diperoleh melalui kepercayaan. Sesungguhnya  sumber pengetahuan antara wahyu dan keyakinan ini susah untuk dibedakan secara jelas, karena keduanya menetapkan bahwa alat yang dipergunakan adalah keyakinan. Perbedaanya barangkali keyakinan terhadap wahyu yang secara dogmatik diikutinya adalah peraturan yang berupa agama. adapun keyakinan melalui kemampuan kejiwaan manusia merupakan pematangan dari kepercayaan. Karena kepercayaan itu bersifat dinamis mampu menyesuaikan dengan keadaan yang sedang terjadi, sedangkan keyakinan itu sangat statis, kecuali ada bukti-bukti yang akurat dan cocok buat kepercayaanya.[5]
           
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
            Kata Pengetahuan sering dipakai bersamaan dengan  istilah ilmu, sehingga orang sering menyebutnya dengan ilmu pengetahuan. Ilmuwan barat dan ilmuwan muslim berbeda pendapat dalam memahami pengetahuan, ilmuwan barat menganggap ilmu itu hanya sebatas pada sesuatu yang nyata dan dapat dibuktikan dengan indera (tangible). Sedangkan ilmuwan muslim beranggapan pengetahuan itu tidak hanya sebatas pengetahuan yang nyata, tapi juga mencakup pengetahuan yang tak nyata, atau tidak bisa di indera dan hanya bisa diyakini dengan keimanan (Intangible). Pengetahuan dapat diperoleh melalui pengalaman indra, otoritas, nalar, intuisi, wahyu, dan keyakinan.
B. Saran
            Pengetahuan merupakan sesuatu yang akan terus berkembang. Manusia harus menggunakan indera maupun intuisinya untuk terus mempelajari ciptaan Allah SWT sesuai batas kemampuan manusia itu sendiri. Mencari pengetahuan harus di dasari dengan keimanan yang kuat agar tak terjerumus ke dalam pemikiran yang bertentangan dengan ajaran agama, karena tak semua pengetahuan dapat di indera oleh manusia.  Terkadang pengetahuan itu bersifat abstrak, dan hanya iman lah yang bisa untuk memahaminya.










DAFTAR PUSTAKA

Slamet Raharjo, “Hakikat Ilmu Pengetahuan” http://www.kompasiana.com/  diakses tanggal 1 oktober 2015
Mohammad Kosim. 2008. “Ilmu Pengetahuan Dalam Islam (Perspektif Filosofis-Historis)”ejournal.stainpamekasan.ac.id/index.php/tadris/article/view/232/223, 2008 diakses tanggal 4 Oktober 2015
Sahrahman & Nazeli Rahmatina, ”Dasar-Dasar Filosofis Pendidikan Islam Hakikat Kebenaran Dan Pengetahuan Nilai Kebaikan Dan Keindahan”, repository.iain-antasari.ac.id diakses tanggal 28 september 2012
Idzam Fautanu, Idzam. 2012. Filsafat ilmu teori dan aplikasi, Jakarta: Referensi



[1] Slamet raharjo, Hakikat Ilmu Pengetahuan, http://www.kompasiana.com/slamet.rahardjo/hakikat-ilmu-pengetahuan_54f80fa0a33311f2608b4a0f, yang dikutip dari buku karangan Endraswara Swardi,”Filsafat ilmu”, 2012
[2] Mohammad Kosim, “ILMU PENGETAHUAN DALAM ISLAM (Perspektif Filosofis-Historis)” ejournal.stainpamekasan.ac.id/index.php/tadris/article/view/232/223, 2008
[3] Sahrahman & Nazeli Rahmatina, Dasar-Dasar Filosofis Pendidikan Islam Hakikat Kebenaran Dan Pengetahuan Nilai Kebaikan Dan Keindahan, repository.iain-antasari.ac.id/ yang dikutip dari Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, opcit, hal. 94-110
[4] Mohammad Kosim, “ILMU PENGETAHUAN DALAM ISLAM (Perspektif Filosofis-Historis)” ejournal.stainpamekasan.ac.id/index.php/tadris/article/view/232/223, 2008

[5] Prof. Dr. Idzam Fautanu, MA, Filsafat ilmu teori dan aplikasi, Referensi, 2012, hal 68-71

Kemajuan Ipteks Islam dalam bidang Kedokteran



BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Bidang Kedokteran Dan Farmasi
            Jauh sebelum peradaban islam berkembang pesat, khususnya dibidang kedokteran. Nabi Muhammad SAW telah mengabarkan kepada umat islam semuanya tentang masalah itu. Atsar dari Nabi yang telah bersabda “Wahai hamba-hamba Allah, sesungguhnya Allah tidak menurunkan suatu penyakit kecuali Dia juga menurunkan obatnya, kecuali satu (penyakit) yaitu penyakit tua”[1]. Hadits itu menunjukkan bahwa dalam ajaran islam, masalah kesehatan yang berhubungan dengan pengobatan atau kedokteran sangat diperhatikan.
Arti kedokteran dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan dokter atau pengobatan penyakit.[2] Cikal bakal ilmu medis sudah ada sejak dahulu kala. Sejumlah peradaban mesir kuno dan yunani kuno sudah mulai mengembangkan dasar-dasar ilmu kedokteran dengan cara sederhana. Ketika era kegelapan mencengkram Barat pada abad pertengahan, perkembangan ilmu kedokteran diambil alih dunia Islam yang tengah berkembang pesat di Timur Tengah. Menurut Ezzat Abouleish, seperti halnya ilmu-ilmu yang lain, perkembangan kedokteran Islam melalui tiga periode pasang surut.

Periode pertama, dimulai dengan gerakan penerjemahan literature kedokteran dari Yunani dan bahasa lainnya ke dalam bahasa Arab yang berlangsung pada abad ke-7 hingga abad ke-8 Masehi. Periode kedua, proses transfer ilmu kedokteranyang berlangsung pada abad ke-7 dan ke-8 membuahkan hasil pada abad ke-9 M hingga ke-13 M, dunia kedokteran Islam berkembang begitu pesat. Dan pada periode inilah mulai dibangnnya Rumah Sakit (RS) dan sekolah kesehatan sehingga muncullah tokoh-tokoh baru kedokteran Islam. Periode ketiga, setelah abad ke-13 M, ilmu kedokteran yang dikembangkan sarjana-sarjana Islam mengalami masa stagnasi. Perlahan kemudian surut dan mengalami kemunduran, seiring runtuhnya era kejayaan Islam di abad pertengahan.[3]

Perkembangan pengobatan atau kedokteran mengalami warna baru yang dikenal dengan nama “pengobatan islam (KEDOKTERAN ISLAM)” artinya sistem pengobatan yang didasarkan pada penemuan beberapa rahasia yang disebutkan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits nabawi dalam pengobatan dan kesehatan.Sesungguhnya imam Bukhari telah mengumpulkan hadits yang khusus membahas tentang penyakit dan tata cara pengobatanya dalam shahih-nyayang terdiri dari sembilan puluh satu hadits dalam dua tema. Dalam hadits tersebut menyebutkan beberapa penyakit seperti sakit kepala, pusing, sakit mata, kusta, demam, diare, radang paru-paru, wabah penyakit menular, digigit serangga (kalajengking) dan dipatuk ular.[4]
Menurut Dr. Ezzat Abbouleish MD ilmu kedokteran itu tak lahir dalam waktu semalam. Menurutnya ada tiga periode pasang surut perkembangan kedokteran islam. Periode pertama adalah pada abad 7 hingga 8 M. Pada masa itu terjadi penerjemahan buku-buku Yunani dan bahasa asing lainya kedalaman bahasa arab. Diantara para tokoh penerjemah pada waktu itu adalah Jurjis ibnu Bakhtis, Yuhanna ibu Masawaya, serta Hunain ibnu Ishak.Penerjemahan itu tak hanya dilakukan oleh para ahli yang menganut islam saja, akan tetapi juga orang kristen yang ditunjuk untuk menerjemahkan karya-karya itu. Periode kedua terjadi proses transfer ilmu pada abad 7 dan 8 M yang membuahkan hasil pada abad ke 9 hingga 13 M. Pada periode ini, muncul para ilmuwan muslim yang berkontribusi dalam kedokteran hingga saat ini, mereka adalah Al-Razi, Al-Zahrawi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dan lain sebagainya. Periode ketiga ilmu kedokteran islam mengalami kemunduran seiring dengan runtuhnya era kejayaan islam di abad pertengahan atau setelah abad 13.[5]
Sekalipun memiliki identitas yang berdiri sendiri, farmasi berkembang dibawah ilmu kedokteran islam, terutama di awal abad 9 di Baghdad, ibukota dinasti Abbasiyah. Disinilah obat-obat bius dan rempah-rempah dari Asia dan Afrika tersedia dan kebutuhan pengobatan mendapat perhatian lebih karena hubunganya yang dekat dengan instalasi militer.[6]
Farmasi atau apotik adalah ilmu obat dengan berbagai macamnya yang berupa tumbuh-tumbuhan, hewan dan mineral. Untuk meramu obat-obat ini menuntut penguasaan pengetahuan tentang ilmu tumbuh-tumbuhan, hewan, mineral dan kimia. Asal kata shaidalah (farmasi) adalah dari kalimat varmxa dari bahasa Fir’aun yang berarti menyajikan obat dari ramuan. Sedangkan asal kata shaidaliyah atau ajzakhanah (apotik) adalah kata ibotika dari bahasa Yunani yang berarti tempat menyimpan. Ia adalah nama kuno untuk wilayah Abu Tig yang berada di mesir jauh, yang dijadikan sebagai tempat penyimpanan minyak wangi dan obat-obatan oleh bangsa mesir kuno.[7]
Farmasi dalam artian Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah cara dan teknologi pembuatan obat serta cara penyimpanan, penyediaan, dan penyalurannya sedangkan kefarmasian yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan farmasi; perihal farmasi itu sendiri.[8] Imam Muslim dalam shahihnya meriwayatkan bahwa Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wassalam, bersabda: “Setiap penyakit ada obatnya dan apabila obat yang tepat diberikan untuk penyakit tersebut, maka ia akan melenyapkannya, Insya Allah”. Juga diriwayatkan dari Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah bersabda: “Allah tidak menurunkan suatu penyakit kecuali Dia menurunkan obatnya”. Demikian jua dalam riwayat lain seperti Imam Ahmad dan dalam riwayat Ibn Majah, An Nasa’I, Al-Hakim dan Ibn Hiban terdapat ungkapan yang senada. Dari ungkapan tersebut makamembuktikan bahwa segala pengobatan untuk segala jenis penyakit di dunia ini telah disediakan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dan memberikan kesempatan pada manusia untuk bereksplorasi dan pencarian obat-obatan yang sesuai dengan penyakitnya.

Dengan seperti itu membuktikan bahwa kekuasaan Allah dalam menciptakan penyakit dan melenyapkan penyakit. Sehingga upaya penyembuhan harus dilakukan manusia, tetapi masalah hasil akhir hanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang mengetahui dan menentukan.

Ibn Qoyim Al Juziyah menyatakan bawa “Upaya penyembuhan merupakan bagian dari takdir yang ditentukan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sehingga sangat mungkin suatu penyakit yang sama diobati dengan obat yang sama tidak menghasilkan tingkat kesembuhan yang sama”.[9]

Hadits-hadits tersebut juga membuktikan bahwa menjadi tanggung jawab manusia (khususnya farmasi) untuk berusaha melakukan penemuan-penemuan untuk pengobatan-pengobatan bagi penyakit-penyakit yang belum dapat disembuhkan seperti AIDS atau mungkin penyakit lain yang Insya Allah akan di berikan obatnya kemudian.

“Katakanlah wahai Muhammad: Perhatikanlah (telitilah) apa-apa yang ada di langit dan di bumi”. QS. Yunus (10): 101. Pada bagian lain “Bacalah dan Tuhan-mulah Yang Maha Pemurah, yang mengajari (manusia) dengan perantaraan qalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. QS. Al-‘Alaq(96): 3-5.

Dari kandungan Al-Qur’an ini tergambar bahwa pengembangan sains merupakan tugas manusia, karena terus meneliti untuk mendapatkan ilmu baru adalah sebuah kewajiban bagi manusia untuk terus belajar dari apa yang diperoleh dari hasil kajian itu.

Oleh karena itu, Allah memberikan manusia kemampuan berfikir dan bekerja untuk menghasilkan teknologi baru dari apa yang mereka dapat dari kajian ilmiah. Ilmu genetika molekuler dan kedokteran ditandai oleh perkembangan yang sangat luar biasa penghasil ilmu baru dan teknologi pengobatan yang canggih dari hasil kajian berbagai pakar kedokteran.[10]

B. TOKOH ISLAM DALAM BIDANG KEDOKTERAN DAN CAPAIANNYA
1.      AR-RAZI (ABU BAKAR AR-RAZI)
Abu Bakar Ar-Razi dilahirkan di Provinsi Rayy, Iran pada tahun 240 H (854 M). Tentang tahun wafatnya, ada dua pendapat, pendapat yang pertama (menurut Ibnu Katsir dalam “Al-Bidayah) disebutkan bahwa Ar-Razi wafat pada tahun 311 H (923 M).[11]
Abu Bakar Ar-Razi atau Zakaria Ar-Razi atau di Barat lebih dikenal dengan sebutan Rhazes merupakan dokter muslim terbesar dan guru besar Islam dalam ilmu kedokteran bagi dunia Islam dan Eropa.Beliau menulis buku keurang lebih ada 56 buku bidang kedokteran.
Buku yang telah dibuat oleh Ar- Razi:
a.       Kitab Al-Hawi, merupakan buku ensiklopedia kedoktean yang meliputi semua ilmu pengetahuan kedokteran Arab, Yunani, dan India. Untuk mengetahui tentang kebenaran buku ini, kita cukup mendengarkan komentar obyoktif seorang orientalis Jerman, Zigrid Hunke berikut : Perpustakaan fakultas kedokteran di Universitas Paris sejak lima ratus tahun yang lalu tidak ada buku-buku yang lain, selain Al-Hawi. Al Hawi terdiri dari sepuluh juz, masing-masing berisi tentang pengobatan masing-masing anggota badan.
b.      Kitab Ath-Thib Al-Manshuri. Dalam buku ini Ar-Razi menjelaskan tentang anatomi tubuh manusia, termasuk anatomi kerangka manusia dan susunan urat saraf serta anatomi pembuluh darah dan tenggorokan.
c.       Kitab Ath-Thib Al Muluki. kitab ini berisi tentang cara mengobati berbagai macam penyakit yang menyerang manusia dengan cara pengobatan helbal lewat makanan.
d.      Kitab Al-Asrar. Buku ini berisi tentang obat-obatan secara medis dan cara serta teknik pencampurannya.
e.       Kitab Al-Jadari wa Al-Hishbah. Buku ini berisi penjelasan tentang penyakit cacar dan bagaimana cara mendiagnosanya sejak dini dan membedakannya dengan penyakit cacar air. Buku ini sudah dicetak lebih dari 40 kali dalam bahasa Inggris pada tahun 1498 s.d 1866 M.
f.       Kitab Man La Yahdhuruhu Ath-Thabib. Buku ini berisi tentang pertolongan pertama pada kecelakaan sebelum dibawa ke dokter.
g.      Kitab Manafi Al-Aghdziyah. Dalam buku ini dijelaskan tentang pengaruh makanan bagi kesehatan secara umum serta bahayanya dalam keadaan mengudap penyakit tertentu. Buku ini merupakan buku kedokteran pertama dalam bidang makanan.
h.      Kitab Qoshas wa hikayat Al- Mardho. Kitab ini berisi tentang kisah penelitiannya dalam masa hidupnya.
Karya Ar- Razi Dalam  Bidang Kedokteran dan Farmasi:
a.       Ar-Razi menemukan pengaruh faktor kejiwaan dalam mengobati berbagai penyakit pada anggota tubuh.
b.      Ar-Razi merupakan pelopor dalam bidang klinik kedokteran dan orang yang pertama kali melakukan eksperimen pengobatan kepada hewan sebelum dipraktikan kepada manusia.
c.       Ar-Razi adalah orang yang mampu membedakan antara penyakit cacar biasa dengan cacar air yang hampir serupa pada dua gejala ini.
d.      Ar-Razi adalah dokter yang pertama kali membedakan antara mulas di usus kecil dengan gangguan usus besar.
e.       Ar-Razi adalah orang yang paling unggul dalam bidang kedokteran dan operasi mata.
f.       Ar-Razi berhasil menemukan benang jahit untuk operasi yang terbuat dari bahan selaput hewan.
g.      Ar-Razi adalah orang yang pertama kali menjelaskan penggunaan perban gypsum pada pengobatan patah tulang.

2.      AL-KINDI
Abu Yusuf Bin Ishaq Bin Ash-Shabah Bin Imran Bin Al-Asy’ats Bin Qais. Ia lahir di Kufah pada tahun 188 H (804 M) dan wafat pada tahun 260 H (874 M).[12]Al-Kindi adalah seorang ilmuwan besar muslim dalam bidang kedokteran dan pemilik salah satu pemikiran terbesar yang dikenal sepanjang peradaban manusia.
Al Kindi mengarang buku yang berjudul Ar- Rasail Ath-Tabbiyah Al-Ihda wa Al-Isyrin. Dalam buku ini memuat beberapa cara pembedahan.
3.      AZ ZAHRAWI
Nama lengkap beliau adalah Abu Al Qosim Khalaf bin abbas Az-Zahrawi. Beliau larir di Az-Zahra pada tahun 325 H (936 M) dan meninggal pada tahun 404 H (1013 M).
Beliau mengarang kitab yang berjudul Ath-Tashrifi Man Ajazaan At- Ta’lif. Buku ini berisi mengenai ensiklopedia kedokteran yang terdiri dari 30 juz dan dilengkapi dengan lebih dari 200 macam peralatan dan perlengkapan bedah.

4.      IBNU SINA
Dia bernama lengkap Abu Ali Al-Husin bin Abdullah bin Sina. Dilahirkan di desa Avansa dekat provinsi Bukhara-sekarang Uzbekistan, Persia pada tahun 370 H (980 M) dari seorang ayah asli Balkan, wafat pada tahun 428 H (1037 M) di Hamdzan-sekarang Iran, dalam usia 58 tahun.[13]
Ibnu Sina telah hafal Al-Qur’an dalam usia 10 tahun, dia dikenal dengan gelar “Asy-Syaikh Ar-Ra’is”, karena kemampuan ilmunya dan ketokohannya. Oleh orang-orang Eropa dan Barat, nama dia dikenal dengan sebutan Avicenna.
Ibnu Sina adalah ilmuwan terbesar kedua di bidang kedokteran, setelah Ar-Razi. Dia juga dikenal sebagai filsuf terbesar muslim yang pemikirannya paling banyak berpengaruh di Barat. Bahkan sebagian buku menyebut dia dengan gelar “Amirul Athibba’” (pemimpim para dokter). Ibnu Sina diakui sebagai orang terbesar yang pernah dimiliki dunia.
Penemuan-Penemuan Ibnu Sina Di bidang Kedokteran
a.       Dalam Cara Pengobatan. Ibnu Sina adalah orang yang pertama kali menemukan cara pengobatan bagi orang sakit dengan cara menyuntikkan obat ke bawah kulit.
b.      Menulis kitab al Qonun. Kitab ini terdiri dari 5 juz yang berisi tentang anatomi, tugas kerja anggota tubuh, karakteristik penyakit, kesehatan dan pengobatan.
c.       Dalam Mengobati Orang yang Tercekik Kerongkongannya. Ibnu Sina membuat penemuan dari pipa udara yang terbuat dari emas dan perak, kemudian diamasukkan ke dalam mulut dan diteruskan ke kerongkongan untuk mengobati orang yang tercekik dan sulit bernafas.  Dia diakui sebagai orang yang pertama kali dalam sejarah yang mampu memaparkan penyakit tenggorokan dan sebab-sebanya. Dalam Mengobati Penyakit Dalam.
d.      Ibnu Sina adaalah orang pertama kali yang mampu mendiagnosa secara akurat antara peradangan pada paru-paru dan pembengkakan pada hati. Dia adalah orang yang pertama kali berhasil mengobati kram pada perut yang disebabkan oleh faktor psikologis. Dia pulalah yang mampu membedakan antara mulas pada ginjal dan mulas pada lambung. Dalam Hal Penyakit yang Menjadi Benalu (parasitic).Ibnu Sina adalah orang yang pertama kali menemukan cacing Ancylostoma atau yang disebut cacing lingkar. Ini berarti Ibnu Sina telah mendahului dokter ahli dari Italia yang menemukan cacing jenis ini, karena dokter dari Italia itu baru menemukannya pada tahun 1838 M, atau sembilan abad setelah masa Ibnu Sina.

6.      IBNUL BAITHAR
Nama lengkap dia adalah Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad Al-Baithar Dhiauddin Al-Maliqi Al-Andalusi. Lahir pada tahun 589 H (1193 M) di sebuah perkampungan bernama Malaga yang terletak di sebelah selatan Andulusia, dan wafat pada tahun 646 H (1248 M) di kota Damaskus, Syiria dalam usianya ke lima puluh sembilan.
Karya utama Al-Baithar adalah Kitab AlJami fi Adwiya Al-Mufrada. Kitab ini merupakan sebuah karya botanical terkemuka dalam bahasa Arab. Berisi kumpulan ramuan obat-obatan. Buku ini pada hakikatnya, adalah yang terpenting selama seluruh periode dari Dioscorides sampai abad ke-16. Buku ini adalah suatu karya ensiklopedi tentang ramuan obat-obatan. Mengungkapkan lebih dari 1.400 obat-obatan medical.
Karya monumental Al-Baithar yang kedua adalah Kitab Al-Mughani fil Adwiya Al-Mufrada. Merupakan sebuah materia medica-pengajaran tentang obat-obatan dan khasiatnya. Buku ini berisi 20 bab, termasuk yang menguaraikan ramuan untuk sakit kepala, telinga, mata, untuk kosmetika, ramuan untuk demam, penangkal racun, dan ramuan obat-obatan yang paling sederhana.
7.      IBNU RUSYD
Nama lengkapnya adalah Abu Al-Walid Muhammad bin Abu Qasim bin Abu Al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Rusyd. Dikalangan orang Barat ia lebih dikenal dengan sebutan Averroes. Lahir pada tahun 520 H (1126 M), dan wafat pada tahun 595 H (1198 M). Dia mendapatkan gelar “Asy-Syarih Al-A’zham” atau penerjemah besar. Oleh Sarton (sejarawan ilmu), ia pernah dipuji dengan penilaian sebagai berikut : Ketenaran Ibnu Rusyd dalam filsafat hamper menutupi penemuan dan prestasinya di dunia kedokteran. Padahal, sebenarnya ia adalah seorang dokter ternama pada masanya. Ibnu Rusyd dikenal sebagai bintang intelektual muslim berkebangsaan Spanyol yang paling cemerlang selama abad-abad pertengahan.
Karya-karya Ibnu Rusyd antara lain :
a.       Kitab “Al-Kulliyat fi At-Thib”. Sebuah buku ensiklopedi kedokteran yang mencapai tujuh jilid. Di dalam buku tersebut diterangan tentang jenis-jenis penyakit dan obatnya, pembedahan, a peredaran darah.
b.      Juga dalam beberapa bukunya, Ibnu Rusyd telah menjelaskan susunan mata. Dia juga menyebutkan suatu realita ilmiah yang berisikan bahwa manusia hanya akan terkena penyakit cacar sekali dalam seumur hidup. Dia pernah bekomentar tentang anatomi, “Siapa yang mempelajari tentang anatomi, keimanannya kepada Allah akan bertambah”.


BAB III
       PENUTUP

          A. SIMPULAN
Kedokteran Islam adalah  sistem pengobatan yang didasarkan pada penemuan beberapa rahasia yang disebutkan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits nabawi dalam pengobatan dan kesehatan. Dalam islam juga membahas mengenai ilmu farmasi. Farmasi adalah ilmu obat dengan berbagai macamnya yang berupa tumbuh-tumbuhan, hewan dan mineral, serta cara dan teknologi pembuatan obat lengkap dengan penyimpanan, penyediaan, dan penyalurannya.
Sejarah kedokteran islam dimulai pada Periode pertama, dimulai dengan gerakan penerjemahan literature kedokteran dari Yunani dan bahasa lainnya ke dalam bahasa Arab yang berlangsung pada abad ke-7 hingga abad ke-8 Masehi. Periode kedua, proses transfer ilmu kedokteranyang berlangsung pada abad ke-7 dan ke-8 membuahkan hasil pada abad ke-9 M hingga ke-13 M, Periode ketiga, setelah abad ke-13 M, ilmu kedokteran yang dikembangkan sarjana-sarjana Islam.
Islam berhasil mencetak dokter dan ahli dalam bidang kesehatan, antara lain adalah Abu Bakar Ar-Razi, Al Kindi, Az-Zahrawi, Ibnu Sina.
B. SARAN
Berdasarkan Uraian diatas, kita sebagai umat muslim seharusnya lebih giat dalam mendalami ilmu agama dan ilmu pengetahuan. Ilmu agama dan Ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah ilmu yang dapat berjalan bersama. maka dari itu, umat muslim wajib untuk mempelajarinya demi kesuksesan dunia dan akhirat.



  

  

DAFTAR PUSTAKA

Sains Islam: Perkembangan Farmakologi di Era Khilafah. 2011. (online) republika.co.id, diakses pada tanggal 11 November 2015
Ahmad, Fuad Basya. 2015.Sumbangan keilmuan islam pada dunia, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
Tim Penulis Dosen UMS. 2014. Studi Islam 3, Surakarta: Lembaga Pengembangan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (LPIK) universitas Muhammadiyah Surakarta
Nasim, Butt. 1991. SAINS & Masyarakat Islam, Terjemahan oleh Masdar Hilmy.1996.Bandung: Pustaka Hidayah
Jumin, Hasan Basri. 2012. Sains dan Teknologi dalam Islam. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada





[1]Prof. Dr. Ahmad Fuad Basya, Sumbangan keilmuan islam pada dunia, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015, 363
Hadits itu terdapat dalam HR. Abu Dawud, 3855, AT Tirmidzi 2038 dan Ibnu Majah 3436, dari usamah bin Syuraik At-Tirmidzi berkata “Hadits ini adalah hasan shahih”
[2] Kamus Besar Bahasa Indonesia offline, di akses pada 13 november 2015.
[3] Sudarno Shobron. 2014. studi islam 3. Surakarta: LPIK. halaman 372.
[4]Prof. Dr. Ahmad Fuad Basya, Sumbangan keilmuan islam pada dunia, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015), hal 362
[5]Tim Penulis Dosen UMS, Studi Islam 3, (Surakarta: LPIK universitas Muhammadiyah Surakarta, 2014), hal 371-375
[6]Masdar Hilmy, SAINS & Masyarakat Islam, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996, hal. 118 (yang diterjemahkan dari buku Science and muslim Society karangan Nasim Butt, terbitan tahun 1991)
[7]Prof. Dr. Ahmad Fuad Basya, Sumbangan keilmuan islam pada dunia, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015), hal 412
[8] Kamus Besar Bahasa Indonesia offline, di akses pada 12 november 2015.
[9]Tim Penulis Dosen UMS, Studi Islam 3, (Surakarta: LPIK universitas Muhammadiyah Surakarta, 2014), hal 340.
[10] Hasan Basri Jumin. Sains dan Teknologi dalam Islam. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2012)  Halaman 33.
[11] Ahmad Fuad Basya. Sumbangan keilmuan islam pada dunia, (Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, 2015) halaman 377
[12] Ahmad Fuad Basya. Sumbangan keilmuan islam pada dunia, (Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, 2015) halaman 376
[13] Ahmad Fuad Basya. Sumbangan keilmuan islam pada dunia, (Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, 2015) halaman 380.